Membedah Konsep Sawang Sinawang dalam Kehidupan Seorang Mahasiswa Tingkat Akhir

Mahasiswa UTM, sawang sinawang

Bagi masyarakat Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan konsep sawang sinawang. Kata-kata ini merupakan penggalan dari filosofi Jawa yang berbunyi “sejatine urip kui mung sawang sinawang” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bahwa hidup ini hanya tentang bagaimana kita melihat kehidupan.

Secara konsep memang terlihat sederhana, bagaimana cara kita melihat kehidupan orang lain dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Namun nyatanya tidak sesederhana itu, terdapat kedalaman makna yang terus saya gali.

Kerap kali rasa iri timbul saat melihat pencapaian-pencapaian yang dilalui orang lain membuat kita merasa bahwa hidup kita ini tidak berarti. Apalagi bagi mahasiswa semester akhir seperti saya dan kalian. Melihat keberhasilan orang lain bukannya turut bahagia malah dengki dan berakhir dengan membanding-bandingkan hidup kita dan mereka.

Di saat banyak teman-teman yang telah berfoto mengenakan toga, saya di sini masih berkelut dengan revisi. Pun di saat teman-teman mengupload instastory hari pertama kerja di kantor barunya, saya di sini masih antri untuk menunggu bimbingan dengan dosen.

Memang lebih mudah membicarakan keberhasilan orang dari sudut pandang kita sendiri. Toh kita nggak tahu seberapa banyak peluh yang mereka keluarkan untuk itu. Yang kita tahu hanya ekspresi bahagia mereka telah berhasil ke tahap tersebut.

Bahkan saya kerap merasa insecure atas pencapaian-pencapaian yang saya lakukan sejak mahasiswa baru hingga mahasiswa basi. Merasa bahwa prestasi ini hanya sekadar prestasi ecek-ecek belaka, tidak sebanding dengan hal-hal yang dicapai teman-teman saya.

Dari sini saya sebagai orang Jawa mencoba mempelajari bagaimana makna yang lebih dalam dari sawang sinawang ini. Saya yang awalnya melihat sesuatu hanya dari tampak depannya saja dan tidak pernah terpikir bagaimana sebenarnya yang terjadi. Setelah mencoba memahami, hal ini cukup membuat saya membuka mata.

Saat melihat teman satu jurusan saya yang telah melakukan seminar proposal duluan, saya mencoba melihat ke sisi yang lebih dalam. Ternyata memang selama ini dia mau berjuang menunggu dosen untuk bimbingan selama berjam-jam, mau ke sana ke mari untuk mengambil data pendahuluan, bahkan rela dimarahi berkali-kali karena berbeda pendapat dengan dosen pembimbing. Hal ini yang kemudian berbuah hasil ia seminar proposal duluan.

Di balik senyum gembira dan sedikit congkak akibat telah berhasil seminar proposal untuk skripsinya, tersimpan perasaan sedih dan gelisah mempertanyakan apakah kelak penelitiannya lancar.

Selama ini kita hanya menilai sesuatu berdasarkan orang lain. Mengukur tinggi standar kebahagiaan berdasarkan pencapaian orang lain. Namun tidak pernah berpikir tentang yang kita capai. Bahkan kamar kos yang semula terasa lapang, tiba-tiba menjadi sempit saat kita melihat kamar kos orang lain yang lebih luas.

Padahal di sana masih ada kawan-kawan yang tidur di kamar kos yang sempit demi menghemat pengeluaran bulanan mereka. Saat kita merasa iba melihatnya, sebaliknya justru mereka merasa nyaman dengan kamar kos tersebut.

Setiap orang memiliki cara bagaimana menunjukan kebahagiaan kepada orang lain dan menutupi perjuangan mereka. Pernah suatu ketika ada teman saya yang terheran-heran melihat gaya belajar saya yang cenderung santai namun tetap mendapat nilai sempurna.

Padahal mereka tidak pernah tahu, saat mereka sibuk nongkrong, saya justru sibuk mati-matian belajar dan review materi dari dosen. Hanya saja saya memilih untuk tidak menampakan hal itu, dan mencoba terlihat tetap santai saat ujian.

Hal yang serupa juga mungkin dilakukan oleh teman-teman saya yang telah “sukses”, mencoba memperlihatkan kebahagiaan tanpa mengeskpos bagian-bagian yang sedih. Toh kita semua mempunyai hak untuk memilih mana yang bisa dilihat publik dan mana yang tidak.

Memang benar adanya sawang sinawang itu, kita hanya melihat apa yang dilihat saja, tanpa tahu kebenaran di balik hal tersebut. Pun kita juga memilih menyembunyikan suatu kebenaran dan hanya memperlihatkan kebahagiaan.

Macam iklan saja, rumput tetangga lebih hijau, saat didekati ternyata hanya rumput sintetis, pantas saja lebih hijau. Apa yang kita lihat selama ini bisa jadi bukan yang sebenarnya, jadi daripada iri terus menerus alangkah lebih baik jika mulai bersyukur dengan apa yang telah kita dapatkan.

Toh sawang sinawang tidak mengajarkan tentang melihat dan dilihat saja, namun mencoba melihat jauh tentang apa yang ada di balik itu. Jadi jangan langsung menyimpulkan dari yang terlihat saja…

BACA JUGA Sebaik-baik Perawatan Wajah Adalah Cukup Cuci Muka atau tulisan Sri Pramiraswari Hayuning Ishtara lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version