Memahami Primbon Jawa, Kitab Penentu Hari Baik untuk Pesta Perkawinan Hingga Bongkar Kandang Sapi

Memahami Primbon Jawa, Kitab Penentu Hari Baik terminal mojok

Memilih hari dan tanggal menjadi sesuatu yang teramat penting bagi masyarakat Jawa untuk menentukan acara-acara sakral. Misalnya saja ketika menentukan hari dan tanggal untuk pesta pernikahan, bersih desa, dan upacara adat lainnya. Tradisi menentukan hari sesuai primbon Jawa, hingga kini juga masih lestari di Kabupaten Gunungkidul, tempat saya tumbuh dan berkembang.

Seperti halnya beberapa hari yang lalu, bapak saya berencana untuk membongkar kandang sapinya. Beliau langsung bergegas mendatangi salah seorang sesepuh desa dan bertanya perihal dina becik (hari baik) untuk membongkar kandang sapi.

Iya, Gaes, bahkan untuk sekadar ngobrak-abrik kandang pun sebagian masyarakat di desa saya harus mendatangi sesepuh desa atau membuka kitab primbon Jawa. Tentu saja dengan harapan saat membongkar kandang sapi, para pekerja bisa selamat sentosa dan dijauhkan dari tragedi yang tidak diinginkan.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, khususnya Gunungkidul, ada beberapa bulan yang wajib dihindari saat membangun rumah atau kandang sapi. Menurut Primbon Betaljemur Adammakna (1980), beberapa bulan yang wajib dihindari saat ingin mendirikan sebuah bangunan adalah bulan Sura, Rabingulawal, dan Jumadilakir. Jika bulan-bulan tersebut digunakan untuk membangun rumah, dianggap akan mendatangkan mara bahaya seperti mendadak miskin hingga kehilangan sanak saudara.

Bahkan tidak hanya bulan, ada hari atau pasaran tertentu yang tidak boleh untuk bepergian. Hari atau pasaran yang dianggap dina ala (hari buruk) untuk melakukan perjalanan, di antaranya Rebo Legi, Kemis Pon, Selasa Wage, Akad Paing, dan Setu Kliwon. Konon, orang yang melakukan perjalanan atau bepergian pada hari itu akan ketiban sial dan menemui hal-hal ngeri.

Sebagai kawula muda yang kebetulan tinggal di tengah masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi, tentu saya tidak mengamini begitu saja dengan semua yang ditulis dalam buku primbon. Bukan persoalan meremehkan atau bersikap tidak acuh dengan adat dan kepercayaan, namun lebih kepada tidak sempat untuk selalu membuka buku primbon setiap ingin berbuat sesuatu.

Selain itu, banyaknya hari atau pasaran tertentu yang tidak membolehkan seseorang untuk bepergian, tentu sangat membuat saya insecure. Alasannya sederhana, mental saya tidak cukup tatag ketika harus selalu pamit cuti kerja pada hari Kemis Pon, Selasa Wage, dan Rebo Legi. Bukankah alasan itu cukup berbahaya bagi karier saya?

Terlepas dari percaya atau tidak percaya, faktanya buku primbon Jawa masih digunakan sebagai patokan hidup sebagian masyarakat desa sampai saat ini. Kegiatan sehari-hari masyarakat Gunungkidul dan petung Jawa seolah telah menjadi satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Hampir semua kegiatan-kegiatan penting di masyarakat seperti pesta perkawinan, rasulan, mitoni, hingga bongkar kandang sapi, hingga kini masih menggunakan petung Jawa.

Bagi masyarakat Jawa, primbon tak ubahnya seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika  (BMKG) yang kerap memberi informasi perihal keadaan cuaca dan peringatan dini berkenaan dengan risiko bencana alam. Dalam memberi informasi tentang cuaca, iklim, suhu, maupun risiko bencana alam, tentu tidak seratus persen sama persis. Ada beberapa ramalan atau dugaan cuaca yang terkadang meleset dari kenyataan.

Begitu pula primbon Jawa, tidak selamanya apa yang sudah tertulis akan benar-benar terjadi. Baik primbon Jawa maupun BMKG, hanya sebagai upaya untuk mengantisipasi kemungkinan peristiwa yang bisa saja terjadi. Selebihnya, bukankah Tuhan Yang Maha Rinci yang berhak menimbang, mengakurasi, dan menentukan peristiwa yang akan terjadi?

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version