Memahami Politisasi Sains dan Hal-hal yang Ditakutkan dari Prahara BRIN

Memahami Politisasi Sains dan yang Ditakutkan dari Prahara BRIN

Memahami Politisasi Sains dan yang Ditakutkan dari Prahara BRIN (pixabay.com)

Untuk memahami sentralisasi lembaga riset melalui BRIN menuai kontroversi, sebaiknya baca artikel ini. Benar, BRIN bukanlah kasus pertama tentang negara yang memaksa sentralisasi riset.

Politik dan sains merupakan dua hal yang bertentangan, namun saling membutuhkan. Paradoks tersebut belakangan ini gencar dibicarakan. Padahal, politik dan sains memiliki posisi yang saling menopang dalam berjalannya sebuah negara. Kok bisa keduanya saling menegasikan? Nah, mari bedah sama-sama..

Salah satu penyebab terpisahnya politik dan sains dimulai pada zaman pasca-Renaissance, yaitu Aufklarung. Terjadinya Aufklarung atau Zaman Pencerahan mengubah tatanan masyarakat dunia. Dalam masa tersebut, seluruh pemikiran mulai didasarkan pada data empiris dan ilmu pengetahuan (sains). Hasilnya bagi politik adalah kemunculan ideologi-ideologi baru seperti liberalisme dan nasionalisme, sedangkan bagi sains (ilmu pengetahuan) adalah berkembangnya penemuan baru dalam bidang IPTEK yang revolusioner dan memiliki manfaat hingga saat ini.

Hal lain yang muncul pada masa Aufklarung adalah alam pikiran modern yang memicu pemahaman seolah-olah pengetahuan adalah milik kekuasaan. Pemaparan Andrew Goss misalnya, penulis buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru tersebut menjelaskan bahwa pada masa kolonial pun, profesi antropolog, dokter, hingga pembuat peta dan ahli geofisika hanyalah tentakel dari kekuasaan kolonial.

Tidak hanya di Indonesia, masalah mengenai politik dan sains juga terjadi di Hungaria pada 2019 silam. Pemerintah Hungaria melalui Perdana Menteri Viktor Orban memaparkan bahwa tujuan dari pengambilalihan tersebut semata-mata untuk meningkatkan inovasi dalam penelitian ilmiah. Selain itu, Orban juga menegaskan pengambilalihan ini dilakukan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dari proyek penelitian yang didanai langsung oleh publik.

Hal ini memicu demonstrasi besar oleh ribuan akademisi dan ilmuwan di Budapest. Demonstran menganggap pengambilalihan tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang dapat mengancam kebebasan akademik dan independensi (otonomi) yang dimiliki oleh para ilmuwan. Adapun ancaman tersebut diawali oleh pemotongan anggaran oleh Menteri Inovasi dan Teknologi Hungaria László Palkovics.

Mengutip salah satu banner yang dituliskan oleh demonstran di Hungaria, bahwa “nasionalisasi bukanlah inovasi”. Tidak hanya terjadi di Hungaria, konflik antara politik dan sains juga terjadi di Amerika Serikat ketika Trump beserta jajaran staf pemerintahannya mengekang penelitian mengenai pemanasan global dan perubahan iklim. Lantaran Trump tidak mempercayai hal itu dan malah menegaskan bahwa isu climate change adalah konspirasi yang dibuat oposisi. Hadehhh.

Gimana? Dari beberapa contoh di atas, udah mulai paham, ya? Terutama mengenai kekhawatiran orang-orang ketika independensi ilmiah yang ada pada para ilmuwan dan akademisi itu terganggu.

Kembali ke Indonesia, pemerintah pusat telah mengeluarkan aturan mengenai penggabungan beberapa lembaga riset di lingkungan Kementerian pada tahun 2021 lalu. BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang digadang-gadang sebagai superbody riset sempat ramai menjadi perbincangan. Perbincangan tersebut muncul ketika proses peleburan puluhan lembaga riset berakibat pada ratusan peneliti yang kehilangan pekerjaan mereka.

Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro memaparkan bahwa di negara maju yang memiliki riset berkualitas justru melakukan desentralisasi riset ketimbang sentralisasi seperti yang dilakukan pemerintah pusat melalui BRIN.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto justru mengatakan bahwa riset dan inovasi harus digerakkan oleh ideologi bangsa agar benar-benar berdaulat, berdikari, dan bangga dengan jati diri kebudayaannya. Maka dari itu, sentralisasi melalui BRIN wajar dilakukan.

Kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya migrasi intelektual menjadi ramai diperbincangkan. Pasalnya, sebanyak 60 persen saintis diaspora setuju bahwa ada rasa kurang dihargai yang memicu keputusan saintis untuk bekerja di luar negeri. Selain ketersediaan bidang ilmu yang diinginkan, kelengkapan keperluan riset, ilmu yang lebih luas dan mendalam, juga pendanaan riset adalah fasilitas yang tersedia di luar negeri.

Apa sih sebenarnya definisi migrasi intelektual? Secara singkat, migrasi intelektual dapat diartikan sebagai proses perpindahan sumber daya manusia yang relatif memiliki level intelektual yang tinggi dari negara berkembang menuju negara maju. Gampangnya, migrasi intelektual ini kayak migrasi/perpindahan biasa. Bedanya, yang cabut ke luar adalah (kebanyakan) ilmuwan.

Model serupa mengenai migrasi intelektual sudah muncul sejak akhir 1960-an. Pertama kali diperkenalkan oleh British Royal Society ketika menjelaskan fenomena arus keluar ilmuwan dan teknolog ke Amerika dan Kanada pada 1950-an dan awal 1960-an. Pada masa itu, istilah yang digunakan bukan migrasi intelektual, tapi brain drain. Sama aja sih sebenernya.

Fenomena brain drain di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak 1980. Perkembangannya meningkat pada 1990-an sejak Habibie mengirimkan remaja-remaja potensial ke luar negeri. Pada saat yang sama pula, Amerika mengalami masa keemasan ekonomi dan dapat memberikan upah tinggi serta beragam insentif. Salah satunya green card bagi pekerja imigran yang ahli dan berprestasi.

Asep Ahmad Saefuloh dalam Fenomena Brain Drain Pada Sumber Daya Manusia Indonesia memaparkan bahwa migrasi kaum intelektual ini terjadi hampir di semua negara terutama negara miskin dan berkembang. Contohnya Albania pada 2005 memiliki 25 persen penduduk yang berada di luar negeri. Di Asia, negara berkembang (saat itu) seperti India, Cina, Pakistan, dan Filipina mengalami eksodus kaum intelektual ke Amerika dan Eropa Barat.

Bahkan Amerika yang memiliki hubungan luar negeri yang nggak harmonis sama Iran pun memiliki 220.000 migran Iran pada tahun 1991. Uniknya, 77 persen migran tersebut adalah migran terdidik. Bayangkan betapa menguntungkannya keadaan brain drain ini terhadap negara-negara maju.

Hal menarik yang perlu Anda ketahui tentang cara mengatasi brain drain atau migrasi intelektual dapat dilihat dari Taiwan. Keberhasilan Taiwan dalam membuat ilmuwan dari negaranya kembali ke tanah air adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, adanya stabilitas politik, dan beberapa kebijakan publik Taiwan yang menguntungkan para ilmuwan. Pendidikan berkelanjutan yang ditanam sejak dasar menjadi salah satu faktor kembalinya ilmuwan diaspora Taiwan.

Sebagai salah satu negara berkembang, Pemerintah Taiwan juga melihat potensi ilmuwan diaspora sebagai sumber daya penting. Keahlian ilmuwan tersebut kemudian digunakan oleh pejabat untuk merumuskan kebijakan pemerintah. Kementerian Pendidikan Taiwan juga melakukan perekrutan ribuan diaspora sebagai profesor maupun dosen tamu di kampus-kampus.

Sebenernya masih ada beberapa contoh tentang brain drain yang ditakutkan oleh masyarakat kita. Tapi, saya janji ini contoh yang terakhir supaya tulisan ini nggak jadi dua SKS mata kuliah di jurusan ilpol.

Contoh terakhir adalah Bangladesh. Pada 2014, Abdullah dan Hossain dalam Brain Drain: Economic and Social Sufferings for Bangladesh mengungkapkan bahwa isu mengenai migrasi intelektual di Bangladesh disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain kesempatan yang tidak memadai untuk penelitian dan studi yang lebih tinggi, kesulitan dalam mempertahankan standar kehidupan yang layak, kekacauan politik, dan hal-hal buruk lainnya.

Dari beberapa contoh tersebut, Anda bisa menyimpulkan bahwa politik dan sains merupakan dua hal yang saling berjalan beriringan. Ketika satu di antaranya melakukan intervensi, pada saat itu juga akan terjadi konflik. Kasus-kasus tersebut hanya sebagian dari berbagai macam fenomena migrasi intelektual atau brain drain. Yaa, semoga aja peleburan lembaga riset menuju BRIN kemarin dapat berbuah manis bagi kedua pilar, politik dan sains.

Penulis: Marshel Leonard Nanlohy
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version