Bagi kebanyakan orang yang pernah menyimak kisah Mahabharata, dari mana pun sumbernya, mereka pasti akan tahu dengan sosok antagonis, Sengkuni. Sengkuni dalam pandangan banyak orang digambarkan sebagai seorang yang sangat cerdas dan licik, yang mana karena kombinasi keduanya, ia telah mengantarkan terjadinya perang saudara pada Dinasti Kuru.
Tidak ada satu pun yang menyangkal bahwa orang yang pandai memainkan sihir pada dadu ini memang sosok yang teramat licik. Kelicikannya juga telah meracuni seluruh pandangan dan sikap dari pemangku kekuasaan pada Kerajaan Hastinapura. Mereka tidak sadar bahwa budaya licik itu kian menjangkiti lingkungan mereka, sehingga imbasnya mereka selalu mudah memaklumi segala bentuk kezaliman.
Mungkin saja, jarang ada yang mengungkap kenapa Sengkuni bisa menjadi sosok yang selicik ini. Dan berdasarkan penuturan dari Mbah Nun, bibit kelicikan Sengkuni itu mulai tumbuh akibat kezaliman penguasa Hastinapura pada saat memaksa Puteri Gandari (adik dari Sengkuni) untuk menikahi Prabu Destrarastra dari kerajaan Hastinapura.
Dan sebagai bentuk protesnya atas kezaliman ini, Puteri Gandari pun telah berkomitmen untuk menutup pandangannya dengan seikat kain agar ia juga merasakan kebutaan pandangan dan kebutaan mata hati, seperti yang dialami oleh calon suaminya.
Sementara itu, para keluarga Puteri Gandari yang lain, karena faktor kehormatan Kerajaan Hastinapura, mereka ber-101 orang itu harus dikurung di dalam penjara. Dan tidak ketinggalan dari 101 orang itu, adalah saudara sulung dari Puteri Gandari, Sengkuni.
Selama mendekam dalam ruang tahanan, mereka pun tidak berhenti mendapatkan kezaliman dari penguasa kerajaan. Salah satu bentuk kezaliman itu adalah, setiap hari, masing-masing dari mereka hanya mendapatkan makanan sebutir nasi.
Dalam pandangan mereka, tidak mungkin mereka akan mampu bertahan hidup jika yang mereka makan setiap harinya hanyalah sebutir nasi. Secara tidak langsung, mereka menganggap, hal itu adalah upaya untuk menyiksa dan “menghabisi” mereka secara perlahan.
Mereka, yakni Sengkuni dan seluruh keluarganya yang mendekam di dalam penjara ini pun pada akhirnya berunding, untuk menentukan siapa salah seorang diantara mereka yang harus bertahan hidup demi menegakkan harga diri keluarga itu.
Hasil dari perundingan itu pun memutuskan bahwa anak tertua dari mereka yang bernama Sengkuni itulah yang harus bertahan hidup dari 101 orang di antara mereka. Sementara keluarga lainnya harus merelakan jatah satu butir nasinya dan kematian dirinya di dalam penjara. Mereka pun satu per satu mati dalam keadaan kelaparan. Sementara tubuh mereka, karena alasan harus mempertahankan hidup, akan dimakan oleh Sengkuni.
Tak dapat dibayangkan bagaimana kondisi psikologis Sengkuni pada saat itu. Karena sangat terpaksa, ia harus memakan 101 butir nasi yang berlaukkan bangkai dari keluarganya itu. Sehingga, barangkali inilah yang kemudian membentuk karakternya menjadi sesosok yang terkenal culas sedunia. Keculasan yang lahir akibat adanya ketidakadilan pada dirinya dan seluruh keluarganya.
***
Sengkuni adalah seseorang yang sangat memahami kemampuan dirinya. Ia bukanlah sosok pendekar perkasa yang pilih tanding seperti halnya para pendekar yang ada di Hastinapura. Namun, ia sangat menyadari akan kemampuan dirinya yang lain, yakni berupa akal cerdas yang di atas rata-rata. Kecerdasan itulah yang akan ia gunakan untuk membalas dendam atas ketidakadilan para penguasa Hastinapura terhadap dirinya dan seluruh keluarganya.
Singkat cerita, begitu Sengkuni bebas dari penjara, ia berusaha mendekati jajaran elite kerajaan di Hastinapura. Cara termudah baginya untuk menggapai hal itu adalah dengan cara menjadi “pendidik” bagi para Kurawa, anak-anak dari adik kinasihnya, Gandari.
Sengkuni telah menjalani perannya sebagai pendidik dengan “sangat baik”. Ketelatenannya dalam mendampingi anak-anak Prabu Destrarastra itu telah membentuk pribadi mereka menjadi pribadi yang angkuh, bengis, biadab, yang seakan mewarisi sifat para pendahulunya. Dan yang terpenting, mereka adalah anak-anak yang patuh terhadap seluruh arahan pamannya.
Sukses menjalankan perannya sebagai pendidik bagi para Kurawa, telah mengantarkan dirinya pada majelis elite di Kerajaan Hastinapura. Gagasan-gagasan briliannya yang tampak bernas seringkali menjadi rumusan yang menghiasi hasil keputusan rapat-rapat mereka. Pemikirannya yang sangat culas tampaknya banyak yang bersesuaian dengan pemikiran mayoritas pemangku kekuasaan kerajaan itu.
Singkat cerita, melalui pendekatannya pada para Kurawa dan Prabu Destrarastra, ia telah berhasil menjadi “raja” dalam setiap pengambilan keputusan pada sidang rapat kerajaan. Bahkan, orang sebijak Resi Bisma dan Mahapatih Widura pun seringkali kalah argumentasi ketika tengah berhadapan dengannya.
Kekalahan argumentasi tentang perihal kebenaran yang terjadi berulang kali itulah yang kemudian mengantarkan para Pandhawa harus terusir dari kerajaan Hastinapura. Momentum pengusiran ini, kelak akan menjadi cikal bakal benih peperangan diantara mereka akibat ambisi kekuasaan dan segala bentuk kezaliman itu.
***
Jika kita melihat lebih dalam mengenai asal muasal timbulnya sifat jahat dari Sengkuni ini, mungkin saja akan timbul sikap pemakluman pada diri kita atas segala tindakannya itu. Mengingat sebenarnya sifat jahatnya itu tidak lahir begitu saja. Akan tetapi, ia lahir sebab adanya tindak kezaliman dan kebiadaban yang telah dialamatkan oleh penguasa Hastinapura terhadap dirinya maupun seluruh keluarganya.
Sehingga timbul rasa dendam kesumat pada dirinya akibat kebiadaban yang melampaui batas itu. Ia menganggap bahwa kebiadaban para penguasa Hastinapura itu tak dapat dimaafkan lagi. Sehingga pilihannya hanyalah kehancuran bagi pihak yang telah melakukannya. Dan rupanya, kehancuran itulah yang menjadi pilihan bagi Sengkuni. Ia menghancurkan mereka dari dalam. Dia menanamkan bibit-bibit perpecahan dan kebencian di antara sesama.
Melihat potensi kecerdasan yang dimiliki Sengkuni ini, sebenarnya bisa saja ia memilih jalan lain. Misalnya, dengan menempuh jalan kebenaran dan kearifan yang akan ia ajarkan pada para Kurawa dan seluruh elite Kerajaan Hastinapura. Namun, dengan kondisi hati yang telah “hancur lebur” yang tak mampu ia rangkai kembali akibat trauma kebiadaban yang ia terima selama di penjara, telah menjadikannya lebih memilih jalan yang penuh kenaifan dan penuh dendam itu.
Api dendam yang berkobar di dalam dadanya ia sembunyikan dalam siasat rapinya yang seakan sesuai kebijakan para elite kerajaan Hastinapura. Tanpa mereka sadari bahwa siasatnya itu sebenarnya adalah bentuk sindiran atas kebiadaban mereka.
Bisa saja Begawan Byasa, sang pembuat cerita Mahabharata itu menyusunnya dengan alur yang sebaliknya. Misalnya, Sengkuni telah bersabar dan memaafkan ulah para pemangku kekuasaan yang durjana itu.
Namun rupanya, ia memilih alur cerita mengalir dengan cara yang lain. Dan sebenarnya, hal itu pun tetap dapat kita petik sebagai pelajaran kehidupan mengenai kelicikan yang lahir akibat kelicikan yang terjadi pada masa sebelumnya. Kezaliman yang timbul karena adanya kezaliman yang sebelumnya.
Kita memahami jika hal ini terus terjadi, maka ujungnya adalah penyesalan dan penderitaan yang tak berkesudahan. Seperti yang kita dapatkan dalam gambaran akhir cerita Mahabharata.
Kita bisa memutus rantai kezaliman dengan memilih untuk tidak melanjutkannya. Kita bisa memilih untuk terus menempa kesabaran diri menghadapi kezaliman. Tapi tentu saja itu tidak mudah, dan hal-hal baik di dunia tidak ada yang mudah.
BACA JUGA Begini Cara Toko Emas Menghitung Harga dan Ongkos dalam Jual Beli Perhiasan Emas dan tulisan Muhammad Adib Mawardi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.