Mendengar istilah Hubungan Internasional, orang-orang pasti langsung terbayang para diplomat dengan jas rapi, bernegosiasi dalam peperangan di Timur Tengah, atau mungkin malah musyawarah di markas besar PBB. Padahal melarang orang makan daging anjing dan memperjuangkan hak-hak hewan sebagai makhluk hidup ternyata juga kerjaan anak HI, lho. Kok bisa?
Rupanya, kerja-kerja lembaga swadaya masyarakat atau yang bahasa kerennya Non-Government Organization(NGO) pencinta satwa yang kebanyakan berjejaring dengan NGO berskala global, juga merupakan produk dari kerja hubungan internasional. LSM pro-satwa di Indonesia rata-rata berafiliasi dengan NGO internasional, sehingga menjadi aktor baru dalam hubungan internasional yang menjalankan peran transnational advocacy.
Sekumpulan LSM di Indonesia yang berjejaring dengan beberapa NGO internasional pencinta satwa yang getol menyuarakan bahwa daging anjing bukan daging konsumsi pun akhirnya menggagas gerakan Dog Meat Free Indonesia (DMFI). Sebagai kampanye yang digagas NGO lintas negara, DMFI yang berpusat di Amerika Serikat juga memiliki peran advokasi di Indonesia untuk mengampanyekan larangan makan daging anjing di kalangan masyarakat Indonesia.
Selain itu, di level atas kampanye DMFI berperan menekan pemerintah Indonesia untuk lebih tegas menjalankan hukum tentang Hak Asasi Hewan, serta ditindaknya oknum masyarakat yang masih memperjualbelikan daging anjing maupun komoditas anjing sebagai barang konsumsi.
Proses advokasi transnasional dan jaringan internasional yang dilakukan oleh aliansi organisasi penyelamat satwa dalam dan luar negeri berwujud kampanye DMFI juga dibarengi dengan edukasi ke masyarakat Indonesia. Narasi kampanye yang dibangun pun berpusat pada ajakan kepada masyarakat Indonesia agar menghentikan kegiatan jual beli dan konsumsi daging anjing yang dapat berdampak buruk pada kesehatan serta dapat menjadi pemicu penyebaran penyakit rabies yang ada pada anjing.
Jalinan kerja sama dari berbagai organisasi dan aktivis penyayang satwa lintas negara melalui DMFI inilah yang ke depannya dapat memberikan dorongan kepada pemerintah untuk segera menghentikan praktik perdagangan daging anjing di Indonesia. Deretan organisasi baik lokal maupun internasional yang bersama-sama mendukung kampanye penolakan daging anjing di Indonesia antara lain Jakarta Animal Aid Network, Animal Friends Jogja, Change for Animal Foundation, Four Paws, Animal Asia, dan Humane Society International.
Selain kampanye dan edukasi, terdapat proses advokasi lain yang tak kalah penting. Rangkaian gerakan DMFI juga menggandeng beberapa artis dan tokoh publik Indonesia untuk melakukan penandatanganan petisi berskala internasional yang menyuarakan Indonesia bebas dari konsumsi daging anjing. Petisi ini bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait pemberantasan rabies di Indonesia.
Dalam ilmu Hubungan Internasional, konsep transnational advocacy merupakan hal yang mungkin terkesan remeh, namun sebenarnya justru banyak digunakan dalam berjejaring dengan dunia internasional. Apalagi isu tentang pemenuhan hak-hak satwa (animal welfare) juga menjadi isu global. Jaringan lintas negara ini dilakukan atas dasar advokasi atau pembelaan terhadap kekerasan terhadap satwa di seluruh dunia.
Dalam kasus penjualan daging anjing di Indonesia, proses advokasi ini dilakukan untuk menyelamatkan anjing sebagai satwa yang mengalami kekerasan, penyiksaan, dan pembantaian sebagai komoditas konsumsi. Advokasi ini dilakukan untuk mendorong pemerintah bertindak tegas dan membuat undang-undang secara spesifik untuk larangan penjualan daging anjing.
Proses ini dapat dikatakan sebagai hubungan politik yang dilakukan melalui DMFI, yang menghubungkan organisasi non-pemerintah internasional, LSM serta aktivis lokal, dengan pemerintah Indonesia. Upaya advokasi transnasional ini juga dilakukan negara-negara lain yang mengalami kasus serupa dengan Indonesia, untuk mendorong pemerintah setempat untuk menindak tegas dan memutus mata rantai perdagangan daging anjing di seluruh dunia.
Pepatah sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit bisa digunakan untuk menyebut perjuangan kawan-kawan di Dog Meat Free Indonesia. Perjuangan yang dimulai sejak tahun 2018 mulai membuahkan hasil di tahun 2021 ini. Dalam keterangan resminya, Dog Meat Free Indonesia menyatakan kasus penyelundupan 78 anjing (terdiri dari 68 anjing yang masih hidup serta 10 anjing yang sudah mati) yang ditindaklanjuti dengan proses pidana pelaku di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi yang pertama di Indonesia.
Dalam kasus ini, pihak Kejaksaan Negeri Kulon Progo menuturkan bahwa tersangka disangkakan melanggar pasal 89 ayat (2) Jo. Pasal 46 ayat (5) UU RI No. 41 tahun 2014 atas perubahan UU RI No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Adapun ancaman hukumannya adalah penjara antara 1 sampai 5 tahun dengan denda sedikitnya Rp150 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Penindakan tegas untuk kasus penyelundupan anjing dari Garut, Jawa Barat, menuju ke Jawa Tengah yang “sialnya” terjaring razia di Temon, Kulon Progo, ini menjadi angin segar bagi upaya perjuangan pemenuhan Hak Asasi Hewan. Khususnya kampanye penolakan daging anjing sebagai komoditas konsumsi yang disuarakan Dog Meat Free Indonesia yang merupakan usaha advokasi lintas negara dalam memperjuangkan isu global.
Meski gambaran dan cita-cita idealnya anak HI adalah jadi diplomat, bekerja di Kementerian Luar Negeri atau kantor Kedutaan, atau mungkin menjadi perwakilan Indonesia di PBB, tak ada salahnya berakhir menjadi pejuang pemenuh Hak Asasi Hewan. Kan tetap bisa berjejaring dengan dunia internasional dalam menyelamatkan dunia, tho?