Media Online yang Kebanyakan Pasang Iklan Banget Itu Niat Menyuarakan Pendapat atau Nyari Duit Doang, sih?

Media Online yang Kebanyakan Pasang Iklan Banget Itu Niat Menyuarakan Pendapat atau Nyari Duit Doang, sih Terminal Mojok

Saat sedang nyantai memang paling benar itu bikin kopi, sedia rokok, plus baca-baca artikel atau berita di media online. Selain biar nggak ketinggalan informasi tentang apa yang terjadi, bisa juga ide untuk tulisan tiba-tiba muncul. Misalnya sesaat sebelum tulisan ini diketik, saya lagi iseng saja cari kabar update tentang bencana apa aja yang terjadi di pemukaan tahun 2021 ini.

Ketemunya berita bencana banjir di Kalimantan Selatan, yang kata orang nomor satu di Indonesia, penyebabnya curah hujan yang tinggi. Kemudian lanjut baca juga tentang komentar agak keras dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) daerah setempat yang mengeluh gara-gara banjir disebabkan oleh curah hujan doang. Pihak dari WALHI ini bilang kalau banjir nggak hanya itu penyebabnya.

Pengalihfungsian lahan jadi tambang dan jadi kebun kelapa sawit, yang memakan hampir 80%-an luas lahan, juga jadi salah satu penyebab banjir. Saya setuju, soalnya saat SD saya sudah diajari hal itu oleh guru IPS saya. Pelajaran SD, loh. Tulung~

Balik lagi ke apa yang kepingin saya tulis. Jadi, saat lagi asyik-asyiknya scroll buat baca kelanjutan berita, HP saya agak lag dan ceket-ceket. Saya kira perlu di-restart, akhirnya saya restart dulu. Setelahnya, saya buka lagi portal berita, eh masih saja. Setelah saya lihat-lihat dan amati secara teliti, wah, ternyata kanan-kiri, atas-bawah, dan di tengah, isinya iklan semua.

Pantas saja HP saya lag. Untuk mendownload data gambar-gambar iklan yang buanyak itu kan butuh ketahanan HP yang optimal dan juga kecepatan internet yang agak banter. Lah, internet saya ini kan sebulan hanya Rp100 ribu, hanya WiFi RT/RW. Jadi, wajar kalau HP jadi rada lemot untuk buka media online yang banyak iklannya.

Bagi saya, yang nggak wajar itu malah si media online yang pasang iklan banyak-banyak ini. Kalau omong idealnya kan media itu hadir untuk menyuarakan yang sebelumnya tak terucap. Orang yang mewakili yang tak terucap itu, tukang nulis yang punya kemampuan mumpuni dan tentunya dibayar atas hasil keringatnya.

Iya sih, wajar kalau nyari uang buat bayar penulis dari iklan-iklan yang ditempelin. Tapi mbok ya jangan kebanyakan juga iklannya. Saya bacanya kan jadi nggak nikmat. Baru baca sedikit, yang muncul iklan “Bagaimana agar laki-laki kuat di ranjang semalaman”. Baca sedikit lagi, ada lagi iklan “Bagaimana cara membesarkan anu” kan jingan tenan. Lagi mau coba serius baca, eh yang muncul begituan.

Belum lagi kalau iklan yang muncul kadang tiba-tiba kepencet. Tangan saya kan besar, walhasil, probabilitas kepencetnya iklan yang ditaruh hampir memenuhi layar dan hampir bikin konten atau beritanya nggak keliahatan, sering kepencet. Setelah kepencet, itu malah jadi link alternatif untuk download aplikasi tertentu. Iya, iklan yang itu. Toko-toko online itu, loh!

Baru mau fokus, eh diarahin ke Playstore. Nggak enak blas. Mbok ya kalau ngiklan yang wajar-wajar saja. Taruh di bagian paling bawah kek, atau di kanan, atau di kiri saja. Maruk banget sama duit. Iyaaa, saya tahu kalau kebutuhan buat bayarin ini dan itu agar medianya tetap jalan gede banget, tapi ya masak nggak ingat tujuan adanya media itu apaan?

Memang sih, saya harus coba realistis terhadap keadaan. Untuk saat ini sudah jarang ada orang, kelompok, atau instansi tertentu membuat sesuatu yang tujuannya murni untuk kesejahteraan masyarakat, menyuarakan pendapat, demi keadilan, dst. Kalaupun ada, ya paling hanya jadi sampingan doang. Yang penting view banyak, traffic gede, dan banyak yang nge-klik segala sesuatu yang ada di dalamnya.

Jika sudah banyak yang begitu, ya saya kepingin tanya saja sih, itu yang ditampilin untuk menyuarakan pendapat atau sekadar untuk menyumpal suara perut yang lagi keroncongan? Kalau memang untuk cari duit, ya ubahlah nama-nama yang mengatasnamakan rakyat itu. Ubah jadi Suara Weteng kek, atau ubah jadi Pikiran Perut kek, atau apalah gitu. Jangan sok pakai nama rakyat, nggak baik.

Tujuan atau moto perusahaannya ganti juga, demi memenuhi weteng masing-masing. Lebih jelas arahnya dan lebih jujur, serta terbuka. Fair-fairan saja gitu. Atau sekalian saja, ubah itu jadi media periklanan doang. Jadiin kayak V-Tube yang senengan bapak-bapak itu. Biar yang ngiklan dan nontonin iklannya jadi banyak. Simpel, kan?

Memang sih masih banyak media berkualitas lainnya. Tapi, mesin pencari kan pakai algoritma. Yang muncul ya hanya yang menguasai algoritma yang ditentukan gugel saja. Dan kebanyakan yang menguasai adalah media yang banyak iklannya. Nyari pakai keyword lain, yang muncul hanya media-media itu saja.

Media yang benar-benar berkualitas, kayaknya bakal nggak kebanyakan iklan, deh. Soalnya mereka lebih mementingkan isi dan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Jadi, media berkualitas nggak bakal kebanyakan taruh iklan yang keseringan mengganggu itu. Dan, walaupun saya nggak bisa nulis kayak di media-media itu, dan masih pemula dalam hal tulis menulis, saya masih bisa kok menilai mana media yang benar-benar media dan mana media yang benar-benar nggak niat bikin media.

BACA JUGA Apa yang Dipikirkan Penulis Pemula Saat Menulis Esai untuk Media Online? dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version