Mataram is Love, Menyambut Sejuk Persaudaraan Fans PSIM, PSS, dan Persis Solo

Mataram Is Love, Menyambut Sejuk Persaudaraan Fans PSIM, PSS, dan Persis Solo (Unsplash.com)

Mataram Is Love, Menyambut Sejuk Persaudaraan Fans PSIM, PSS, dan Persis Solo (Unsplash.com)

Sepanjang malam di acara Tribute to Kretek yang dihelat di Asha Akasa, saya tidak bisa berhenti memeriksa timeline Twitter setiap 10 menit. Rasa haru dan bahagia sulit saya bendung ketika melihat fans PSIM Jogja, PSS Sleman, dan Persis Solo berikrar untuk berdamai. Sebuah impian yang lama sekali saya nantikan untuk terwujud. Mataram islah is real. Mataram is love.

Saya masih ingat betul bagaimana fans PSIM dan PSS sebetulnya pernah sangat mesra. Banyak memorabilia dan ingatan lama yang bisa dipanggil untuk menguatkan fakta itu. Namun, permusuhan itu nyatanya tidak bisa dibendung. Permusuhan yang berlangsung terlalu lama.

Hubungan mesra juga pernah terjalin antara fans PSIM dan Persis Solo. Dulu, kalau tidak salah ingat, sebelum reformasi, fans PSIM dengan bahagia menjemput rombongan suporter Persis Solo yang akan bertanding dengan PSS Sleman. Tidak ada permusuhan di perbatasan. Semua merasakan kebahagiaan yang sama ketika mendukung kesebelasan masing-masing. Mataram is love.

Namun, sekali lagi, permusuhan itu datang juga. Dendam semakin dalam ketika jatuh korban di masing-masing kubu. Setelah itu, dendam yang membara selalu ditanamkan dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Saya adalah salah satu suporter PSIM yang terpapar oleh kebencian itu. Kisah-kisah bentrok masa lalu seperti menjadi kisah pengantar tidur bagi kami yang hidupnya tidak bisa dipisahkan dari sepak bola.

Kakek, bapak, dan kakak saya adalah pendukung PSIM yang cukup militan. Sejak paguyuban suporter masih bernama PTLM hingga bersalin nama menjadi Brajamusti, mereka hampir tidak pernah absen menonton ke Mandala Krida. Sebuah pengalaman indah yang tentu saja diwariskan ke saya. Dan di sana, kebencian juga salah satunya.

Kami juga pernah dihujani tembakan gas air mata oleh polisi ketika laga PSIM vs PSS di Mandala Krida berakhir rusuh. Kepala saya pernah disabet rotan oleh polisi di perjalanan pulang dari menonton PSS vs PSIM di Maguwoharjo. Untung saja, petang itu, kepala saya masih dibalut helm. Jika tidak, mungkin saya sudah terkapar tak sadarkan diri.

Takaran kebencian yang sama juga saya tabung khusus untuk suporter Persis Solo. Gelombang dorongan untuk membenci sesama trah Mataram itu sangat kuat. Bahkan, seingat saya, jauh lebih kuat ketimbang kebencian saya kepada fans Sleman. Malahan, seiring waktu, kebencian kepada suporter Sleman mereda dengan cepat karena di lingkaran pertemanan, banyak orang Sleman yang sungguh baik hati. Waktu itu, nggak ada kesadaran bahwa Mataram is love.

Sebagai fans PSIM, momen hilangnya kebencian kepada suporter Persis Solo dan PSS terjadi di sebuah “ruang akademik”. Masih segar dalam ingatan, Fandom Indonesia membuat sebuah acara bertajuk Fandom Menulis. Saya mendapat undangan dari Fandom untuk menjadi peserta. Sebuah undangan yang mengubah hidup saya, baik dari sisi karier, maupun meredakan kebencian kepada suporter rival.

Panitia Fandom Menulis adalah suporter PSS Sleman. Beberapa di antaranya bahkan menemani lahirnya Sleman Football, salah satunya Mas Sirajudin Hasbi, CEO Fandom. Kebetulan, Sleman Football lahir di tahun yang sama dengan acara Fandom Menulis. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

Sebetulnya, waktu itu, saya sudah punya lagi kebencian kepada Sleman fans. Entah, rasa benci itu bisa dengan cepat menguap dan berubah menjadi respect. Terutama setelah mengamati dari dekat perkembangan Sleman Football, lalu mengenal perjuangan Brigata Curva Sud (BCS). Bagi saya, kerja cinta mereka untuk PSS bisa menjadi contoh untuk kerja-kerja yang sama bagi Brajamusti. Bagi saya, Mataram is love itu bakal melahirkan banyak hal positif. Salah satunya kolaborasi. 

Saking kagumnya, saya bahkan pernah menulis sebuah masukan untuk Brajamusti. Bahwa dengan terbukanya pintu perdamaian, Brajamusti bisa belajar banyak dari proses BCS. Namun, tulisan saya mungkin datang di waktu yang tepat. Saya dibenci beberapa teman Brajamusti. Untung, salah satu teman masa kecil, Mas Andry Priyanta pasang badan untuk membela saya. Jadi, sebagai suporter PSIM, saya pernah dibenci oleh teman sendiri dan fans rival. Kini, semuanya jadi pelajaran yang sungguh dalam.

Fandom Menulis sendiri menjadi sebuah prasasti bagi saya. Sebuah momen ketika saya duduk bersama dengan seorang fans Persis Solo. Namanya Mas Adi dan saya tidak akan pernah lupa dengan dirinya. Gimana mau lupa kalau sepanjang obrolan saya seperti dengan ngobrol dengan drummer NTRL, Eno. Senyumnya yang lebar dan gaya cekikikan Mas Adi khas sekali. Kami mengobrol banyak sore itu, salah satunya soal permusuhan. 

Kami pernah sama-sama tenggelam dalam kebencian. Sama-sama sangat bergairah ketika mendengarkan senior kami bercerita soal Insiden Kandang Menjangan. Tentang kejar-kejaran antara suporter PSIM dan Persis Solo di perbatasan, di daerah Prambanan. Padahal kami sama-sama trah Mataram. Mataram is love jadi sebatas angan.

Berkat Fandom Menulis juga, saya diajak oleh Mas Hasbi dan Mas Adit (founder Mojok) untuk berkunjung ke Solo. Sekali lagi, saya ketemu Mas Adi. Waktu itu, dia sudah bekerja di Tangerang dan kebetulan sedang pulang ke Solo. Maka, dia menyusul kami bertiga di warung martabak termasyhur milih anak Presiden yang ada di dekat mall Solo. 

Sore itu, saya harus pulang duluan ke Jogja karena ada suatu acara malam harinya. Mas Hasbi dan Mas Adit masih ada keperluan di Solo. Lantaran jam keberangkatan Prameks sudah sangat mepet, sementara jika memesan ojek online terlalu lama, Mas Adi menawarkan diri untuk mengantar saya ke stasiun.

Mas Adi membonceng saya menembus gerimis yang semakin rapat. Sepanjang 7 menit perjalanan ke stasiun kami sama-sama terdiam. Ketika sampai di stasiun dan turun dari sepeda motor, saya sempat berseloroh, “Seru ya, Mas. Fans PSIM dibonceng fans Persis Solo ke stasiun. Sama-sama kena hujan lagi. Romantis.”

Sebelum menjawab, senyum Mas Adi yang pertama muncul. Setelah itu, dia bilang, “Iya, Mas. Semoga bisa segera damai, ya.” Hujan mulai deras ketika Mas Adi pamit untuk pulang. Saya masih sempat melihatnya menerobos hujan tanpa mengenakan jas hujan. Terima kasih Mas Adi. Semoga kamu sehat selalu dan membaca tulisan ini. Mas Adi, sekarang Mataram islah dan damai itu akan segera terwujud. Mataram is love

Pengalaman-pengalaman di atas tidak akan pernah saya lupakan. Meski sempat kecewa dan lelah dengan semua ini, saya bersyukur tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa perdamaian itu bisa terjadi. Mungkin, 1 minggu yang lalu, saya masih sangat yakin akan butuh sangat lama perdamaian antara fans PSIM, PSS Sleman, dan Persis Solo bisa terjadi. Mengubah tradisi itu sama sulitnya mengubah diri sendiri.

Namun, ternyata, jalur Mataram is love itu terjadi lebih cepat dan saya sangat bahagia. Meski, semua ini, harus diawali oleh sebuah tragedi yang memilukan hati. Menghentak hati nurani kita semua. Semoga semua korban Tragedi Kanjuruhan diterima di sisi Tuhan dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kekuatan selamanya.

Yah, di 1 sisi, saya bahagia sekali Mataram islah is real. Meski di sisi lain, saya sedih perdamaian ini harus diawali dengan sebuah tragedi. Namun, apakah ini yang namanya jalan Tuhan? Saya tidak tahu. Satu hal yang saya yakini, meski tenggelam di dalam kebencian, ternyata hati nurani manusia tidak pernah lesap. Ia ada dan menunggu waktu untuk dibangkitkan. Ketika hati nurani itu bersatu dan punya kesadaran yang sama, yaitu kemanusiaan, persatuan dan kebahagiaan akan terwujud.

Perdamaian fans PSIM, PSS Sleman, dan Persis Solo akan dengan cepat disusul oleh perdamaian fans Persija Jakarta dan Persib Bandung. Berbarengan juga proses rekonsiliasi fans Arema dan Persebaya Surabaya. Dan bagi saya, inilah waktu yang tepat untuk menyatukan kesadaran.

Jujur, saya agak kesulitan menutup tulisan ini. Saya masih ingin menulis tentang indahnya perdamaian. Namun, satu hal yang pasti, seiring perdamaian yang sudah di depan mata, saya berdoa semua suporter sepak bola di Indonesia menyatukan kesadaran untuk mengirim kekuatan kepada fans Arema.

Membantu fans Arema tetap kuat dan tabah. Mengawal fans Arema memburu keadilan atas meninggalnya nawak-nawak. 

Akhir kata, sebagai suporter sepak bola, setiap dari kita pernah berbuat salah. Tentu saya salah satunya dan saya minta maaf dengan tulus kepada fans PSS dan Persis Solo. Kita sama-sama memburu keadilan dari kebusukan lembaga dan organisasi sepak bola di luar sana. Namun, jangan lupakan juga niatan melihat ke dalam diri sendiri. Masa depan yang lebih pasti dimulai dari kesadaran mengubah diri.

Dear fans sepak bola Indonesia, neng kene aku ngenteni koe. Awan bengi kok ora iso lali. Neng kene ayo damai dadi siji. Nek wis damai nyanyi rame-rame!

Mataram is love!

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version