MasterChef Indonesia, Ajang Pencarian Bakat yang Semakin Kehilangan Sentuhan

MasterChef Indonesia, Ajang Pencarian Bakat yang Semakin Kehilangan Sentuhan

MasterChef Indonesia, Ajang Pencarian Bakat yang Semakin Kehilangan Sentuhan (Unsplash.com)

Tak bisa dimungkiri bahwa MasterChef Indonesia (MCI) adalah salah satu ajang pencarian bakat paling megah di Indonesia. Kehadirannya masih sering dinanti-nantikan. Kompetisi memasak ini tengah berjalan di musim ke-10. Sebuah pertanda jika MCI yang sudah berusia 12 tahun masih sangat digemari.

Walaupun latar belakang peserta yang beragam dan sebagian besar bukan lulusan sekolah kuliner, mereka dituntut untuk memasak layaknya chef profesional. Dilengkapi dengan bumbu-bumbu ketegangan dan tekanan, membuat acara ini menarik untuk disimak.

Selain itu, menonton MasterChef Indonesia bisa menambah wawasan pemirsa seputar dunia kuliner dan memasak. Mulai dari nama bahan makanan yang aneh-aneh, makanan dari berbagai negara, hingga beragam teknik memasak ala profesional. Bahkan acara ini berhasil mengangkat popularitas chef atau koki sebagai profesi yang prestisius, lho.

Terlalu banyak drama yang nggak perlu

Seiring berjalannya waktu, MasterChef Indonesia seolah semakin kehilangan sentuhannya. Semakin banyak bumbu-bumbu drama yang nggak perlu. Kalau saya nggak salah ingat, dramatisasi ini mulai menjadi-jadi sejak musim ke-5 dan ekskalasinya terasa semakin meningkat di setiap musimnya.

Bagian paling menjengkelkan dari kompetisi ini adalah interview tunggal setiap peserta. Pada bagian ini mereka akan mengomentari performa peserta lain dan menceritakan kondisinya sendiri. Sayangnya, komentar yang dilontarkan cenderung toksik, bahkan terkesan nyinyir. Jarang sekali dijumpai komentar-komentar adem nan rendah hati atau kritik membangun untuk peserta lain. Seolah masing-masing peserta sedang berlomba-lomba menjadi jumawa dan antagonis.

Tak jarang pemirsa dibuat risih dengan mulut-mulut peserta yang julidnya ngalah-ngalahin ibu-ibu kompleks. Padahal yang nyinyir itu juga belum tentu bisa memasak lebih baik daripada lawannya. Dan akting judesnya itu lho, astaga kaku banget. Jatuhnya malah cringe. Semakin lama jelas terlihat jika peserta suka mencari-cari kesalahan lawannya untuk dicela. Sungguh cerminan kompetisi yang nggak sehat.

Entah diatur oleh script atau nggak, kita bisa bersepakat drama julid ini sudah terlalu berlebihan dan sangatlah nggak perlu. Belum lagi drama-drama percintaan, persahabatan, dan kubu-kubuan antarpeserta. Rasanya di setiap musim pola semacam itu selalu ada.

MasterChef Indonesia juga terasa semakin bertele-tele. Komentar dewan juri kerap terlalu personal alih-alih fokus pada hidangannya, walaupun masih bisa juga kita jumpai kritikan yang membangun. Kombinasi semua hal itu membuat MCI kian membosankan dan terasa lambat, tak ubahnya tayangan sinetron.

Baca halaman selanjutnya….

Kemampuan para peserta makin menurun

Dari 10 musim perjalanan MasterChef Indonesia, saya rasa musim ke-10 menjadi yang paling menurun kualitasnya. Pesertanya sungguh ajaib bahkan di luar nalar, baik tingkahnya maupun skill-nya. Lha, bayangin aja, masa sekelas MCI urusan platting nggak lebih baik dari cafe langganan mahasiswa?

Padahal visual memegang peranan penting selain rasa masakan. Sebagai penonton yang nggak bisa mencicipi masakan peserta, tentu saja kita hanya bisa menilai berdasarkan visual hidangannya. Tak mengherankan jika banyak orang di media sosial yang membanding-bandingkan kemampuannya dengan peserta MCI musim ini. Sebab, para peserta nampak kurang serius untuk berlaga di kompetisi memasak bergengsi ini.

Diperparah episode tantangan kepala kambing

Itu baru dari segi platting, dari segi kemampuan memasak pun sangat jomplang kalau dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya. Hidangan yang dimasak cenderung begitu-begitu saja. Bahkan beberapa kali peserta memasak hidangan yang di luar nalar. Dari semua keanehannya, barangkali episode tantangan kepala kambing jadi yang paling memprihatinkan.

Pada tantangan itu beberapa peserta kurang jeli dengan kebersihan. Hidangan yang disajikan ke dewan juri masih ada bulu-bulunya, lidahnya nggak dikupas, dan bagian giginya juga nggak dibersihkan dengan baik. Masih sangat wajar jika peserta gagal membuat hidangan yang enak, tapi apakah wajar jika hal dasar seperti kebersihan luput dari perhatian? Lulusan sekolah kuliner internasional pun masih bisa lalai. Saya jadi prihatin dengan nasib ketiga juri yang harus mencicipi makanan-makanan ajaib itu.

Saya paham betul, bahwa memasak dalam kondisi penuh tekanan seperti peserta MasterChef Indonesia sangat sulit. Namun, kita semua juga harus sadar bahwa acara ini adalah kompetisi. Maka sangat wajar jika pemirsa mengharapkan penampilan terbaik dari peserta MCI, yang notabene adalah orang-orang terpilih dari ratusan atau bahkan ribuan orang yang mengikuti audisi.

Rasanya kritik seperti ini bisa jadi bahan evaluasi untuk memperbaiki kualitas MCI ke depannya. Rasanya tak tepat untuk melontarkan nasihat pamungkas, “Kalau nggak suka nggak usah nonton.”

Kembalikan MasterChef Indonesia seperti dulu

Pada dasarnya MasterChef Indonesia adalah acara yang menarik sedari awal. Jika saja acara ini bisa kembali ke marwahnya sebagai kompetisi memasak bukannya kompetisi julid. Memang sah-sah saja memasukkan unsur dramatis agar suasana kompetisi semakin greget. Namanya saja entertainment, tentu harus ada unsur hiburannya.

Akan tetapi yang harus diingat adalah jangan sampai unsur hiburan itu mengaburkan esensi kompetisi ini. Kritik semacam ini sudah disampaikan sejak bertahun-tahun lalu lho oleh banyak penonton. Saya rasa segala drama tersebut semakin memuakkan dan terlalu berlebihan di musim ini. Jika kritikan dari masyarakat masih saja diabaikan, bukan nggak mungkin MasterChef Indonesia akan kehilangan satu per satu penontonnya.

Padahal cukup mengandalkan pedasnya komentar juri saja sudah membuat acara ini dramatis. Apalagi didukung oleh musik latar yang menegangkan. Tolonglah kurang-kurangin drama dan julid yang sudah kelewat batas itu. Nggak perlu adu bacot, cukup buktikan dengan karya yang memukau di setiap episodenya.

Kembalikan MasterChef Indonesia sebagaimana musim-musim awalnya, saat belum tercemar drama-drama toksik. Sebab, kami mau menonton kompetisi memasak, bukan drama sinetron!

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA MasterChef Indonesia Ngebosenin, Sudah Saatnya para Juara Diadu Kembali.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version