Kalau sistem zonasi dianggap sebagai salah satu cara agar kualitas pendidikan bisa merata, jelas ada yang salah
Saya kerap mengingatkan hal ini pada kawan-kawan saya: jangan hakimi suatu situasi jika kalian belum menempatkan diri kalian pada situasi tersebut. Tapi saya tak menyangka kalau saya kena omongan sendiri.
Saya, pernah mendukung sistem penerimaan siswa berdasar zonasi. Sekarang, saya menolak sistem tersebut karena kena batunya sendiri.
Adik saya beberapa waktu lalu mendaftar di salah satu sekolah favorit di Wonogiri. Nahas, makin hari, pendaftar yang rumahnya lebih dekat makin banyak. Akhirnya, adik saya tertendang dan harus mendaftar di sekolah lain. Secara mutu sih, nggak jauh beda, tapi rasanya kok mangkel ya.
Rumah saya itu sebenarnya nggak jauh dari sekolah yang dituju. Hanya sekitar 2,5 kilometer. Tapi pendaftar yang lebih dekat jauh lebih banyak. Saya cuman bisa menerima meski jengkel, mau bagaimana lagi, itu aturannya.
Tapi gara-gara hal ini, saya jadi melihat sistem zonasi ini dengan lebih detil. Setelah 6 tahun sistem zonasi diberlakukan, kok saya merasa nggak ada perubahan yang signifikan.
Masih ada sekolah favorit
Secara kasar, sistem zonasi ini diterapkan biar tak ada lagi kasta. Tak ada lagi embel-embel sekolah favorit. Alasannya tentu saja agar kualitas pendidikan merata. Ini saya setuju, pake banget malah.
Selama masih ada sekolah favorit, artinya, akan ada sekolah tidak favorit yang kekurangan apa pun: ya dana, ya kualitas siswa, dan lain-lain. Kalau maksud zonasi adalah apa yang dipunya sekolah favorit itu dimiliki sekolah lain, barulah itu berhasil. Semua siswa, punya kans meraih kualitas yang dulunya hanya dipunya sekolah favorit.
Tapi, coba sekarang lihat, jujur-jujuran saja, kejadian nggak?
Saya sih ragu. Wong nyatanya, masih banyak orang sengaja pindah KK biar anaknya bisa makin dekat sama sekolah yang dianggap favorit. Sementara sekolah favorit makin bersolek, sekolah biasa-biasa saja tetap terlihat sama.
Baca halaman selanjutnya