Kesenjangan nilai bonus atlet dan anggaran pembinaan gambarkan orientasi pemerintah yang mikirnya hasil tapi nggak mau ngurus proses.
Saya mengerti mengapa atlet sering dikultuskan dan dianggap heroik. Meskipun saya meyakini pekerjaan lain ada pula yang tak kalah keras menuntut perjuangan, kompetisi olahragalah yang secara simbolis memberi gambaran sangat lengkap soal apa itu “berjuang”. Segala determinasi, mentalitas, jatuh bangun, dst., dst. komplet tersaji lewat perjalanan para atlet menjadi juara.
Secara psikologis, pertandingan olahraga juga bisa dengan gampang membuat penonton terpengaruh dan merasakan energinya. Jika pada akhirnya atlet yang menang di kompetisi olahraga besar sampai dianggap menyatukan bangsa dan kemudian diberi apresiasi besar-besaran, saya maklum.
Apresiasi itu bentuknya bervariasi. Ada yang memberi sumbangan kata atau sekadar ikut menangis. Ada juga memberikan bonus materiil sederhana sampai yang besar-besaran. Yang terakhir ini kembali kita saksikan dilakukan pemerintah ketika ganda putri badminton Indonesia Greysia/Apriyani meraih medali emas Olimpiade Tokyo.
Tapi, ya sudah selayaknya hukum alam, adanya pengeluaran besar-besaran dari kas bersama mau nggak mau bikin pejuang di bidang lain jadi membanding-bandingkan. Pos Instagram sutradara Ifa Isfansyah ini contohnya. Berita insentif bombastis negara untuk para atlet yang menang Olimpiade membuat Ifa teringat sastrawan Eka Kurniawan yang pernah menolak hadiah uang Rp50 juta dari negara karena jumlahnya jomplang dibanding hadiah atlet Asian Games yang besarnya Rp250 juta-Rp1,5 miliar.
Pasti ada yang merasa Mas Ifa seperti orang yang kurang senang atas rejeki orang lain. Tenang saja, Mas Ifa, nggak perlu merasa jadi “orang paling dengki” sendirian. Sebab, kami penggemar bulu tangkis juga merasakan hal demikian ketika melihat cabang olahraga lain di Indonesia. Kami pun sama merasa kesenjangan ini adalah persoalan.
Dari membaca berita serta menggabungkannya dengan pengetahuan pribadi, saya langsung bisa menunjuk di mana masalahnya. Dalam berbagai berita, jelas sekali bahwa bonus uang diperlakukan sebagai booster agar atlet meraih prestasi tinggi. Ayo menang biar dapat uang, kurang lebih seperti diimbau begitu. Kelihatannya memang apresiatif, tapi sebenarnya bermasalah.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab melakukan pembinaan, membangun fasilitas, dan memfasilitasi bakat olahraga, pemerintah justru memosisikan dirinya sebagai pemberi hadiah. Orientasinya bukan lagi proses, tapi hasil. Nggak heran sesudah seremoni penuh gegap gempita, para atlet itu harus kembali ke kondisinya semula, tak punya gelanggang olahraga (GOR) bagus yang bahkan untuk latihan saja fasilitasnya pas-pasan.
Jadi, jangankan antara olahraga dan seni seperti yang disorot Mas Ifa, dalam pembinaan olahraga sendiri kesenjangannya begitu nyata. Kisah sedih cabor angkat besi yang dapat dana pembinaan pas-pasan misalnya, bisa dibaca di sini. Anda bayangkan, olahraga yang rutin memperoleh medali seperti angkat besi, pelatnasnya bahkan tak memiliki tempat latihan sendiri.
Keberadaan GOR bagus adalah impian saya sebagai penonton. Bukan hanya biar nyaman mengikuti pertandingan, dengan adanya GOR berstandar internasional, terutama di daerah, semakin besar peluang kami menyaksikan pertandingan internasional. Sebab, pihak penyelenggara di Indonesia juga akan lebih leluasa mengajukan penyelenggaraan turnamen dari level rendah hingga tinggi.
Dari sisi pemain, adanya GOR yang bagus juga membuat mereka lebih mudah menjangkau kompetisi internasional demi mengasah kemampuan dan bersaing dengan pemain-pemain sedunia. Apalagi tak semua klub punya pendanaan yang kuat untuk aktif mengirimkan pemain ke luar negeri.
Sedih sebenarnya. Selama bertahun-tahun badminton berprestasi, kebutuhan akan GOR yang bagus di daerah tetap saja belum terpenuhi. Masih saja ada cerita atlet berpotensi yang kesusahan ikut kompetisi “hanya” karena nggak punya biaya untuk berkompetisi di Ibu Kota. Sementara itu, dari cabor tetangga sudah ada kasak-kusuk pembangunan stadion baru. Hmmm.
Pada akhirnya, bonus secara besar-besaran menjadi jalan ninja pemerintah Indonesia agar kelihatan kontributif. Biayanya lebih murah ketimbang harus mengiringi proses pemain menjadi juara dengan menyiapkan hal yang fundamental. Kalau mau mencontohkan badminton, apa jadinya cabor ini jika prosesnya badminton tidak disokong penuh oleh swasta, baik untuk pembinaan, pengiriman pemain, bahkan pengadaan turnamen? Ada sih beberapa BUMN yang terlibat melakukan pembinaan, tapi ya nggak sekenceng swasta yang terbukti punya royalitas dan loyalitas hingga berdekade!
Jadi, mengapa negara2 kuat Olimpiade, tdk memberikan bonus jor2an kpd atlet peraih emas #Tokyo2020 ?
Ya karena negeri2 itu sudah berinvestasi jor2an pd pembibitan, pembinaan, bikin tempat latihan modern dan mahal, fasilitas kelas dunia, dan gaji besar kpd banyak atletnya. pic.twitter.com/VQe1fPq55O
— A. Ainur Rohman (@ainurohman) August 4, 2021
Badminton Indonesia memang dilindungi Dewi Fortuna, beruntung karena punya sejarah panjang, tradisi, dan sokongan konglomerat sehingga pendanaannya relatif mandiri. Kalau tidak, mungkin nggak ada ceritanya kita rutin bangga jadi WNI sampai menangis di depan di televisi saban beberapa tahun sekali.
Tapi bahkan sokongan pemerintah untuk badminton tak terlalu memuaskan. Februari tahun lalu Kabid Binpres PP PBSI Susy Susanti sendiri yang bilang, anggaran pelatnas bulu tangkis untuk persiapan Olimpiade lebih mirip orang mau ikut SEA Games. Dari pengajuan anggaran Rp40 miliar, yang dikucurkan Kemenpora hanya Rp14 miliar. Ingat, ini cabor satu-satunya yang rutin menyumbangkan emas selama beberapa dekade loh. Posisinya sudah pasti mereka akan diberi target emas.
Jika bulu tangkis saja dibegitukan, apalagi cabor lain yang privilesenya jauh di bawah. Jangankan terfasilitasi, beberapa cabor bahkan masih harus bergelut dengan dualisme kepemimpinan dan kepentingan politik. Sepertinya, di mata pemerintah semua cabor selain sepak bola memang dianggap sepele.
Jelas, kan? Pemerintah memang lain di depan, lain di belakang. Sementara mereka terlihat dermawan dengan memberi banyak bonus, pada prosesnya ya tetap mengesampingkan kepentingan atlet. Yah, kalau mengingat tabiat pemerintah yang suka melimpahkan proyek untuk kemudian dibayar belakangan, berharap penyedia jasa punya duit sekebon buat meng-cover, nggak heran sih. Meskipun nggak maklum juga.
Pada akhirnya, menanggapi pertanyaan soal bonus besar nggak bisa berakhir dengan melabeli orang lain sebagai tukang iri, atau menuding ada yang dianakemaskan. Bahkan untuk sepak bola yang kelihatan paling diperhatikan, masih ada selipan perasaan kasihan pada potensi mereka karena kekacauan manajemen dan campur aduk politik. Ketimbang melihatnya dengan kacamata sinis pada keberuntungan orang lain, saya memilih menilai kesenjangan ini akibat kondisi yang nggak ideal sejak dari proses.
Kalau saja tiap cabor di Indonesia terurus secara profesional, perolehan medali merata, dan nggak hanya cabor itu-itu saja yang jadi bintangnya, yakin deh pemerintah nggak bakal butuh bikin sesuatu yang bombastis demi kelihatan baik-baik saja. Hehe.
Apabila penggemar cabor lain saja bisa kesal pada sepak bola karena terus-terusan mendapat prioritas, wajar saja sektor lain di luar olahraga merasakan hal yang sama. Benturan semacam ini sungguh bikin nggak nyaman, apalagi konteksnya mereka sama-sama berjuang, baik itu menang kejuaraan maupun festival. Bahkan bagi saya yang sekadar menuliskan masalah bonus atlet pun terasa canggung karena terkesan iri atas pencapaian orang, dan lebih nyesss-nya lagi kok kayak nggak terima orang dapat rezeki lebih. Sebuah tuduhan yang bahkan belum dialamatkan pada saya, tapi sudah terbayangkan.
Foto: Selebrasi Greysia/Apriyani ketika memenangkan Indonesia Masters 2020. Foto oleh Adityadandito via Wikimedia Commons.
BACA JUGA Apriyani dan Pertaruhan Orang Tua yang Kadang Gagal dan tulisan tentang bulu tangkis lainnya di Terminal Mojok.