Mantra Jogja Bilang Miskin asal Bahagia, tapi Tetap Saja Miskin

Miskin, tapi Bahagia, Tetap Saja Miskin

Miskin, tapi Bahagia, Tetap Saja Miskin (Pixabay.com)

Saya pikir kita harus ngomongin secara serius apa itu kemiskinan berdasarkan realitas, dan sesekali, kita harus melepaskan diri dari BPS dan kata-kata petinggi daerah. Agar kita bisa melihat angka kemiskinan Jogja dari dimensi lain.

Beberapa hari yang lalu, muncul kalimat begini: nggak apa-apa miskin, asal bahagia. Kalimat tersebut, pada derajat tertentu, tak bisa diragukan keabsahannya. Indikator kemiskinan yang kerap didasarkan pada angka terkadang tak bisa merefleksikan realitas-realitas yang ada.

Agar tak terlalu melebar, kita fokus pada dua hal ini saja. Pertama, bisakah bahagia meski miskin? Kedua, apakah orang miskin benar-benar bahagia dengan kondisi mereka? Dua hal ini, bisa jadi pengantar agar kita bisa memahami kemiskinan di Jogja, dan kenapa ada dua narasi yang saling berlawanan setelah angka tersebut muncul.

Kita bahas yang pertama dulu.

Kemiskinan dan kebahagiaan adalah dua hal yang sebenarnya susah untuk disatukan. Kekurangan-kekurangan yang ada jelas menghadang kita menuju kebahagiaan. Rasanya susah untuk membayangkan orang yang nggak berpunya bisa meraih kebahagiaan yang selama ini kita kenal.

Tapi, hal itu memang susah dibayangkan jika kebahagiaan yang dimaksud adalah diraih dengan cara membeli, atau singkatnya: punya uang banyak. Melihat UMR Jogja, kalau logika bahagia adalah harus dengan membeli, ya nggak mungkin orang di Jogja bisa bahagia.

Meski terlihat amat bacot, tapi percayalah, memang ada kebahagiaan yang bisa diraih meski tak punya harta banyak. Performa bagus dalam pekerjaan, masakan sederhana yang begitu enak, anak menyambut di pintu sepulang kerja, malam yang tenang, tidur yang nyenyak, saya pikir, itu semua tak butuh uang yang begitu banyak untuk meraihnya.

Atau kita bisa lihat orang-orang desa. Rumah mereka mungkin terbuat dari bilik bambu, tapi ada yang bahagia betul dengan hidup mereka. Mereka merasa cukup, dan tak merasa bahwa apa-apa yang ia punya ini memalukan. Betul, mereka tahu bahwa ada yang lebih berpunya, tapi mereka (mungkin) tak peduli amat.

Konsep harta bagi manusia kota dan desa saja sudah beda, apalagi bagi manusia data. Fortuner, rumah dua lantai, dan gadget mutakhir mungkin adalah harta bagi orang kota, tapi orang desa, meski ya mau-mau saja punya harta seperti itu, tapi konsep harta mereka agak berbeda. Yang dipunya, selama disyukuri dan tak bikin hati berisi penyakit, ya itu sudah jadi harta yang berharga.

Apalagi ketika mereka bisa memberi anak mereka hal-hal yang tak mereka punya dulu: pendidikan tinggi. Ah, bagi mereka, melihat anak hidup lebih baik ketimbang mereka dulunya, adalah harta terindah yang bisa mereka dapat.

Kenapa saya bisa bilang seperti ini? Sebab, saya adalah orang desa, orang kabupaten yang kalian olok-olok di media sosial, yang dulunya masuk dalam kategori miskin. Tak berpunya, tapi tetap bahagia.

Jadi, meski miskin, orang masih bisa bahagia. Kebahagiaan memang dari dulu tak pernah eksklusif milik orang berpunya. Jadi, jika ada kepala daerah yang bilang nggak apa-apa miskin, tapi bahagia, sebenarnya itu sah-sah saja.

Tapi, kalau hal itu jadi pemakluman, tentu saja nggak bisa. Dan kita akan tiba di poin kedua.

Apakah orang miskin benar-benar bahagia dengan kondisi mereka? Ya tentu saja tidak, seperti manusia pada umumnya, realitas mengikat mereka agar tetap menapak tanah. Andai bisa memilih, tentu saja mereka akan memilih hidup yang lebih mendingan. Semuanya demi menjaga hal-hal yang mereka punya. Anak yang menyambut mereka kerja butuh susu dan makanan yang bergizi agar tetap tumbuh sehat, token listrik yang berbunyi mesti segera diisi agar tak bikin berisik, pokoknya kebahagiaan mereka terganggu karena kondisi.

Meski orang miskin (menurut angka-angka) itu (bisa) bahagia, tapi pemerintah, sebagai orang yang punya tanggung jawab memikirkan kondisi mereka, tak bisa menjadikan hal tersebut untuk patokan bahwa mereka baik-baik saja. Mentang-mentang mereka bahagia dan tak menuntut perbaikan, bukan berarti masalah itu kelar. Justru harusnya kondisi hidup mereka diperbaiki betul-betul agar segera keluar dari predikat miskin. Bukankah hidup rakyat yang lebih bahagia itu baik untuk kemajuan daerah?

BPS mungkin perlu duduk bersama dengan para pakar agar bisa mendefinisikan kemiskinan agar tak hanya dihitung lewat tolok ukur yang terkadang tak merefleksikan realitas. Benar bahwa itu sulit, tapi saya pikir, untuk memahami Indonesia, terkadang kita perlu sudut pandang yang agak berbeda. Pun kita sebagai pembaca data, perlu paham betul bahwa angka-angka tersebut harus dilihat sebagai satu faktor saja, tak jadi patokan utama.

Pemerintah pun tak boleh diam saja melihat angka kemiskinan meningkat meski pada kenyataannya, orang-orang yang termasuk kategori tersebut tak bermasalah dengan predikat tersebut. Harus ada upaya untuk memperbaiki angka tersebut, yang pada akhirnya, bisa memperbaiki kualitas hidup jadi jauh lebih baik. Jangan malah nggak ngapa-ngapain.

Sebab, orang miskin, meski bahagia, tetap saja mereka miskin.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Hanya Orang Gila yang Bilang Terlahir Miskin Adalah Sebuah Privilese

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version