Dalam sebuah rapat kinerja timnas pasca Piala Dunia 2018, sebuah badan organisasi sepakbola mengadakan evaluasi besar-besaran. Seorang staf baru mengatakan bahwa revolusi besar-besaran bukan hanya harus terjadi di dapur organisasi, namun juga dalam sektor pelatih.
Namun, dengan santainya, ketua badan tersebut dengan pikiran kolot dan buta akan sepakbola berkata, “kenapa harus revolusi? Toh sepakbola hanyalah sekadar bisnis belaka”. Dengan menopang kepala dalam sebuah forum, jawaban tersebut tentu akan membakar siapapun yang menggantungkan kehidupan dalam sepakbola.
Tenang, cuplikan cerita di atas bukan berasal dari rapat tuan dan puan petinggi PSSI yang terhormat. Jangan kan rapat evaluasi kegagalan di enam belas besar Piala Dunia, mengalahkan Thailand saja masih terlampau berat. Apa yang mau dirapatkan? Evaluasi (selalu) kalah ketika melawan Malaysia?
Terlepas dari guyonan prestasi PSSI, dua paragraf pertama adalah cuplikan dari manga Blue Lock. Sebuah manga olahraga karya Kaneshiro Muneyuki dan digambarkan oleh Yuusuke Nomura. Satu dapur dengan Eden Zero dan Fire Force yang diudarakan oleh Weekly Shonen Magazine Kodansha.
Manga ini berpremis sangat unik dalam mengusung tema sepakbola. Ketika kita tenggelam dalam Tsubasa-sentris, manga ini keluar dari trek magis menuju realistis. Memparodikan kinerja JFA dan Timnas Jepang pasca Piala Dunia 2018, merombak seluruh staf kepelatihan Timnas Jepang dan mencari striker murni untuk tulang punggung Piala Dunia 2022.
Sebenarnya, jika boleh berprasangka buruk, manga ini seperti sedang berbisik bahwa sebenarnya Blue Lock bukan hanya menyentil JFA, tapi juga PSSI. Atau federasi-federasi sepakbola di negara lain yang bekerja jauh di bawah harapan masyarakatnya. Ya, jika dirasa menyinggung terdengar kasar, anggap saja manga ini sedang memberikan pelajaran bagi federasi. Apa saja sentilannya? Berikut saya jabarkan.
Satu, menyentil sepakbola hanyalah kuda pacu bisnis belaka
Ini merupakan kelanjutan sempilan cerita yang saya jabarkan di awal. Staf baru JFA bernama Anri Teieri mengusulkan ide-ide revolusionernya di hadapan para petinggi kolot dan berotak udang tentang sepakbola. Mereka hanya menang relasi dan gagah-gagahan saja. Urusan sepakbola, nihil ilmunya.
Anri Tieri mengusulkan revolusi kepelatihan. Ia mengatakan bahwa Jepang harus dilatih oleh pelatih lokal yang paham apa kebutuhan timnasnya. Namun, pemimpin JFA yang kolot bernama Buratsuta, justru menganggap sepakbola tak lebih dari sekadar bisnis belaka.
Saya nggak tahu dapuran JFA memang seperti itu atau nggak. Namun, seotak bisnis apapun parodi ketua JFA, Jepang masih mampu langganan juara Piala Asia, masuk babak final piala dunia dan klubnya mampu bersaing di Liga Champions Asia. Sedang di Indonesia, sepakbola bak alat penuntas libido semata, tanpa menyertakan embel-embel prestasi yang nyata.
Di Indonesia, entah sepakbola dijadikan alat peras bisnis atau tidak. Yang jelas, hari ini menjabat, bisa saja esoknya menjadi kepala daerah di sebuah tempat di Indonesia. Itu sudah biasa. Janji menguap menjadi tai. Penuntasan kasus kekerasan, sekarang hilang entah kemana. Yang pasti, singgasana tertinggi adalah taji.
Intinya, Anri Tieri seakan ingin bilang “mbok ya ngurus federasi itu serius, jangan jadikan kursi yang tinggi tersebut sebagai kuda pacu politik bisnis belaka,” kepada ketua JFA. Mbak Anri Tieri nggak mau masuk jadi pengurus PSSI po? Ah, mana bisa, emang Mbak Anri punya relasi? Bambang Pamungkas yang paham sepakbola Indonesia saja saya yakin bakal kesusahan.
Kedua, target dan gap yang terlampau jauh
Banyak tulisan yang meromantisasi bahwa J-League, liga Jepang, mengadaptasi Galatama. Namun, negara yang belajar kini menargetkan juara piala dunia, sedang kan negara yang menjadi ‘soko guru’ kini hanya menjadi bulan-bulanan di kancah regional. Jika ada yang bilang liga nggak ada hubungannya sama prestasi timnas, kita duel saja di lapangan kuda Stadion Pacar!
Target Jepang kini tidak hanya main di piala dunia belaka. Bukan juga babak 16 besar saja. Lebih dari itu, mereka memiliki keinginan memboyong piala tertinggi dalam ajang sepakbola ke bumi Asia untuk yang pertama kalinya. Sebuah target yang lebih tinggi ketimbang tidak kalah di partai final piala regional. Manga Blue Lock inilah semua ambisi Jepang diringkas dan didramatisasi dengan elegan.
Ketiga, menyindir pemecatan pelatih
Setelah Anri Tieri mengusulkan Jepang butuh pelatih baru, lantas si Buratsuta, ketua JFA, mengatakan kurang lebihnya begini, “kenapa nggak menyewa jasa pelatih asing saja, jika kalah tinggal pecat. Yang penting nama Jepang tetap baik dan keuntungan tetap ada.” Dor!
Dirunut dalam seting waktu manga Blue Lock, pada tahun 2018 Jepang dilatih oleh Akira Nishino. Dan katakanlah rapat tersebut digelar pasca piala dunia, sekitra tahun 2019, Jepang dilatih oleh Hajime Moriyasu.
Sebelumnya memang Jepang memakai jasa pelatih asing, namun semua tidak sesuai dengan sindiran manga ini karena Vahid Halilhodžić jasanya digunakan selama empat tahun. Itu bukan waktu yang sebentar.
Sedangkan Indonesia, ya kita tahu sendiri dari jaman Ivan Kolev hingga Simon McMenemy. Ya, kita tidak tahu apa yang terjadi pada internal. Entah harga pelatih yang mahal atau memang pelatih tersebut tidak kerasan lagi. Seperti apa yang dikemukakan pelatih timnas teranyar, Shin Tae-yong, dalam wawancara bersama media Korea Selatan.
Keempat, menyindir para pemain muda
Pelatih terpilih bernama Ego Jinpachi. Ia menggodog seluruh pemain muda dataran Jepang yang berposisikan striker. Apapun jenis striker baik itu bertipikal pelari, duel udara atau naluriah. Ia tidak memberi kesempatan kepada pemain muda yang memiliki potensi untuk berleha-leha. Ia membawa mereka ke sebuah kamp dan di sana mereka ditarik dari dunia luar.
Metode dan polanya apa, saya rasa kalian bisa membacanya sendiri. Dan sebuah disclaimer dini, saya tidak setuju dengan metode ala Ego. Namun ada sebuah hal yang menarik, yakni mengolah pemain muda yang belum menemukan kematangan dengan memberikan pori latihan yang tepat, bukan bersantai dengan denia luar.
Para pemain muda Jepang baik timnas golongan usia maupun bukan, mereka dilatih dengan porsi yang sama. Padahal, Timnas usia muda masalah prestasi jangan ditanya. Sekelas Asia mudah bagi mereka. Sedangkan pemain usia muda kita, juara regional langsung diajak ke acara musik, berpesta bersama para host papan atas. Kalau nggak, pol mentok yang jadi brand ambasador iklan. Ketika dewasa, bukan menjadi pemain sepakbola, malah menjadi bintang acara sembari meneriakan, “my trip my adventure!”
Ya, kadang realistis juga perlu, sih. Apa lagi di negara yang sepakbolanya hanya memiliki ambisi, namun tidak memiliki dapur yang ‘berisi’.
BACA JUGA No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.