Berburu kuliner atau sekadar mencicipi kuliner adalah kesukaan saya. Rasanya seperti ada kenikmatan sendiri jika mendengar ada tempat kuliner yang enak, lalu kita berhasil menemukannya dan bisa menikmatinya. Seperti ada kepuasan batin tersendiri. Dalam aktivitas berkuliner ria, nggak jarang muncul komentar semacam ini, “Makanan di situ enak, sih. Tapi, kalau makanan dibungkus dan dibawa pulang, kok, rasanya beda, ya?” Hal-hal semacam ini, lantas sering kali disambungin dengan sesuatu yang berbau mistis.
Padahal, sebagai manusia yang memiliki akal, nalar, logika, dan akhlak, saya tidak sepakat dengan stigma itu. Makanan yang dibungkus jadi tidak enak bisa jadi dikarenakan beberapa hal.
Pertama, makanan paling enak dimakan saat apa? Saat sedang hangat-hangatnya karena baru matang, itu jelas sekali. Mau itu makanan ringan, berat, basah, kering, atau apa pun jenisnya. Makan saat baru matang itu enak sekali karena rasa makanan yang baru masak itu sangat “segar.”
Pasalnya, kesegaran dan hangatnya makanan tersebut cita rasanya jadi lebih nikmat saat disantap. Makanya, orang tua kita sering menyuruh kita langsung makan saat masakan baru saja matang, bukan? Baru tanak nasi atau masak lauk, pasti langsung disuruh makan. Lantaran saat baru matang, kenikmatan makanan itu didapat. Nah, kalau ditunggu sampai dingin gimana? Ya, ada yang tetap enak atau malah jadi nggak enak, bukan?
Makanya kalau misalnya situ makan bakmi, terus bakminya nggak enak, jangan langsung judge pesugihan dulu. Jarak warung ke rumah Anda jauh, nggak? Terus langsung dimakan nggak setelah sampai? Jangan malah kayak teman saya, nyalahin makanan dibungkus, tapi dia sendiri diemin makanan tersebut sampai dua jam. Udah gitu belinya lumayan jauh lagi. Kalau gitu, namanya Anda kocak.
Kedua, ada juga makanan yang packaging-nya nggak bagus. Walaupun makanannya nikmat, ada saja tempat makan yang lebih berorientasi untuk makan di tempat dan jadi nggak peduli pada bungkus makanan buat order dibawa pulang. Kayak saya, waktu itu beli siomay, tapi malah bungkusnya kertas nasi. Bumbunya ditaruh semua di kertas nasi. Merembes, dong~
Ini murni kesalahan si penjual, sih, tapi jelas bukan karena pesugihan, toh? Ini semata-mata human error dan teknis pembungkusan yang sangat sampah saja. Tolong buat yang punya tempat makan, apalagi di kondisi PPKM sekarang yang harus serba bawa pulang, perhatikan untuk bungkus makanan yang lebih rapih serta higienis. Kalau nggak, ya, rasain aja dagangannya nggak laku. Gimana mau laku, kalau kepuasan pelanggan diabaikan. Anjay.
Ketiga, ada juga makanan yang tahan lama dan bisa disimpan untuk jangka waktu sekian. Meskipun enak dimakan saat langsung, tapi saat dihangatkan bisa kembali enak saat disantap. Nah, kalau kasus kayak gini berarti jangan langsung judge dulu. Tanya dulu ke penjual atau nggak minimal googling dulu, Bosss!
Kayak makanan Lebaran kebanyakan. Mulai dari opor ayam, gulai, rendang, krecek, dan sejenisnya itu memang kalau dipanaskan kembali jadi enak. Bahkan, makanan tersebut makin terasa enak setiap dipanaskan terus menerus. Hayo, kalau gitu lu mau bilang api kompornya pesugihan juga?
Saya cuma berharap ke orang-orang, jangan asal tuduh kayak begitu, lah. Apalagi perkara mistis begini. Pasalnya, masyarakat kita itu gampang parno dengan hal-hal yang beginian. Jangan sampai karena tuduhan yang nggak jelas semata, eh, kita malah mutusin rezeki orang lain.
BACA JUGA Harga Makanan di Tempat Wisata Lebih Mahal Itu Wajar dan artikel Nasrulloh Alif Suherman lainnya.