‘Makan Meja’: Tradisi Keturunan Tionghoa yang Nggak Beneran Makan Meja #ImlekMojok

'Makan Meja' Tradisi Keturunan Tionghoa yang Nggak Beneran Makan Meja #ImlekMojok Terminal mojok

Apa sih hal yang paling ditunggu dari perayaan Imlek? Bagi wanita yang jadi bagian salah satu keluarga keturunan Tionghoa, perayaan Imlek tentu bukan hal yang asing meski tak begitu melekat. Mungkin karena mertua yang bersuku Hokkien tak pernah meminta kami merayakannya secara khusus, hanya menyambut sanak saudara jika mereka datang ke rumah, menerima kiriman parsel dan angpao untuk keluarga yang belum menikah.

Tentu yang paling beruntung adalah anak saya. Jika ada kiriman angpao, hampir semua amplop angpao dari teman dan sanak saudara tersebut tertuju kepadanya. Sama seperti saat Lebaran, dia pun langsung sibuk menghitung “penghasilan”.

Hwi Ling adalah nama asli mertua saya sebelum diasimilasi menjadi Husniah. Blio anak tertua dari 10 bersaudara keluarga keturunan Tionghoa. Terlahir dari orang tua berkeyakinan Konghucu, 10 bersaudara ini dibebaskan untuk memilih agama dan keyakinan masing-masing. Mami menikah dengan anak seorang kiai kampung di Palembang. Saat menikah itulah blio memutuskan memeluk agama Islam.

Bukan hal mudah tentunya bagi Mami meninggalkan keyakinan dan tradisi yang sudah mendarah daging. Meski hubungan Mami dengan keluarganya yang tersebar di Palembang dan Surabaya masih berjalan baik, pastinya blio kerap merasa rindu menjalani dan merayakan hari-hari bersama mereka.

Untuk itu, saat Imlek tiba kami mengajak Mami memasak makanan-makanan khas Imlek yang sama dengan apa yang ia makan saat bersama keluarganya dulu. Meski nggak sama persis, tapi semoga cukup mengobati kerinduannya. Ada mi panjang umur, bebek ayam panggang, dimsum, daging masak, kukis, kue bulan, dodol cina, jeruk ponkam, dan lainnya.

Mami pun kerap mengajak kami mengikuti acara-acara keluarga ketika ada yang mengundang. Nah, saat menghadiri acara-acara tersebut, tentu ada gap budaya yang kami alami. Terutama bagi saya, menantunya yang dari penampilannya saja sudah terkesan fundamentalis, tapi tetap manis. Tentu agak gimana gituh saat berbaur dengan keluarga Mami yang suka pakai mini-mini. Hehehe.

Saya pernah mendapat undangan pernikahan yang diberi keterangan acara “makan meja sederhana” di amplopnya. Tentu saja saya pikir ini hanya berupa acara jamuan sederhana untuk mensyukuri sebuah pernikahan. Saya pun memilih pakaian yang saya pikir pantas untuk acara sederhana. Gamis dan kerudung polos tentu jadi pilihan saya.

Tapi herannya, kok adik ipar saya begitu bersemangat sampai membeli gaun untuk acara tersebut. Wah, bisa kebanting nih, pikir saya. Akhirnya saya memilih pakai kebaya saja.

Alhasil ketika tiba di tempat acara, saya dibuat mengkeret. Ternyata acaranya di hotel termewah di Palembang! Dengan ruangan megah berdekorasi wah, semua tamu yang datang berpakaian formal. Jas dan gaun malam fantastis yang didominasi warna hitam dan merah. Sedangkan saya, hanya memakai kebaya coklat bekas wisuda. Hixz.

Sebagai satu-satunya yang memakai kebaya saat itu, tentu saya merasa minder. Untuk mengatasinya, saya berpikir bahwa saya adalah seorang nasionalis sejati. Tetap berkebaya meski menghadiri acara Asia Timur. Pasti kalau tahu, Sobat Rahayu bakal bangga sekali. Apalagi ketika berkaca dan melihat wajah pribumi saya yang berbeda dengan tamu lainnya. Oh, sorry, kalau ini sih bikin saya pengin ngumpet dan lari ke dapur. Ngabisin makanan tentunya. Kampret nian!

Eh, tapi di mana makanannya? Saya lihat dalam ruangan kok hanya ada meja bundar dan bangku-bangku yang mengelilinginya. Oh, iya! Acaranya kan makan meja. Apa iya meja-meja ini jamuannya? Hahaha.

Setelah penghormatan kepada pengantin, kami semua duduk mengitari meja. Lalu datanglah pelayan-pelayan membawakan makanan dan minuman pembuka. Oh, jadi ini yang namanya makan meja. Makanan dihadirkan satu per satu secara berurutan di atas meja tamu. Bukan prasmanan seperti yang lazim terselenggara di acara pernikahan. Yah, bakalan susah nambah, nih. Padahal sudah bela-belain nggak makan dari pagi. Duh!

Saya pun tertarik melihat urutan menu makan meja. Tapi, kok tulisannya pakai bahasa Cina? Mana saya ngerti!

Makanan pembuka ada salad dengan potongan daging asap. Enak dan segar. Oh, iya. Saat kami konfirmasi untuk datang, mereka mengganti semua menu resepsi agar menjadi halal sehingga bisa kami makan. Itulah bagusnya keluarga Mami. Selalu berusaha membuat kami senyaman mungkin saat bersama mereka.

Mereka pun tak masalah saat kami tak ikut menghadiri acara pemberkatan di gereja atau kuil saat pagi hari dan minum teh di sore hari. Karena biasanya, makanan dan minuman yang disajikan saat acara tersebut bukan menu yang bisa kami nikmati. Meski kelihatannya enak, sih. Eh~

Menu kedua sejenis sup. Rasanya enak sekali. Kalau prasmanan pasti saya sudah nambah berkali-kali. Tapi ini malu, euy. Mejanya kan berputar gitu. Jadi selesai ngambil, diputar lagi ke arah orang lain. Kalau mau nambah, saya harus putar lagi mejanya ke arah saya. Ya, pasti ketahuan orang, kan? Kelakuan!

Untung pelayan melihat mangkuk saya yang cepat sekali kosong. Blio menuang sup lagi ke mangkuk saya. Mungkin tampang saya kentara banget lapernya.

Tapi pas lagi asyik makan, tiba-tiba ada yang bilang, “Ini namanya sup sirip ikan hiu.” Ya Allah, saya sudah habis 2 mangkuk. Saya tengok ke suami dan bertanya, “Ikan hiu itu boleh dimakan nggak, sih? Dia punya taring nggak?” Hixz.

Menu ketiga ada bebek peking. Amanlah kalau yang ini. Sampai saya merasa ada rasa hangat saat dimakan. Ah, palingan jahe. Tapi, kok nggak berasa jahenya, ya? Sudahlah, ini jahe. Pasti jahe!

Menu keempat ada tumis udang dan brokoli. Saya nggak nyobain menu ini. Bukan hanya trauma dengan bebek, tapi sebagai yang paling muda tentu saya dapat jatah mengambil makanan belakangan. Pas saya mau ambil, ternyata udangnya sudah nggak ada. Sisa brokoli sama bawang. Males, ah. Pada tega!

Menu kelima berupa bihun goreng tapi nggak pakai kecap. Bihunnya licin, sebelum digigit sudah ketelen duluan. Enak sih, tapi pas nge-slurp keselek melulu. Kan jadi malu~

Menu keenam puding dan buah. Terakhir, ada sejenis biskuit dan kue-kue kecil yang manis. Loh, mana nasinya? Nggak ada! Hixz.

Dari pengalaman tersebut, saya nggak percaya lagi kalau ada undangan bertajuk makan meja sederhana. Udah tauk kalau nggak bakal ada sederhana-sederhananya.

Ketika menghadiri pemakaman sanak saudara pun seperti itu. Demi menghormati mendiang, kami datang dengan pakaian terbaik. Ada jamuannya juga, loh. Jadi, para tamu makan dan minum sebelum melihat mendiang dikremasi.

Mendiang dikremasi dengan memakai pakaian yang bagus. Seluruh bajunya juga ikut dibakar. Terkadang ada juga diorama rumah, replika uang kertas, dan barang lain yang ikut dibakar. Persis kayak di film-film Cina gitu.

Padahal sayang ya jika semua itu dibakar, mending sumbangin aja. Tapi, namanya juga kepercayaan. Barang-barang tersebut ikut dikremasi bersama mendiang agar mendiang bisa melanjutkan hidup enak di alam baka. Mereka percaya itu dan kita pun menghargainya. Meski kadang pengin comot satu buat mainan anak di rumah.

Saya perhatikan, orang-orang keturunan Tionghoa ini memang rata-rata sangat peduli dengan usaha memiliki kesejahteraan hidup yang tinggi. Makanya, setiap Imlek mereka saling mendoakan dengan ucapan Gong Xi Fa Cai yang artinya semoga panjang umur dan banyak harta.

Dalam banget yaaa artinya. Panjang umur tapi nggak punya harta bisa susah. Tapi, banyak harta namun nggak berumur panjang juga buat apa?

Gong Xi Fa Cai semuaaa~

BACA JUGA Minta Angpao ke Teman Keturunan Tionghoa Emang Ada Faedahnya? dan tulisan Aisha Rara lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version