Program Makan Bergizi Gratis (MBG) itu niatnya mulia. Sangat mulia.
Memberi makan anak-anak sekolah biar nggak belajar sambil lapar, biar tumbuh sehat, biar masa depan bangsa nggak cuma kenyang janji tapi juga kenyang gizi. Tapi seperti banyak hal mulia lainnya di negeri ini, pelaksanaannya kadang bikin kita pengin tepuk jidat pakai panci.
Belum lama ini, program Makan Bergizi Gratis bikin geger. Bukan karena porsinya kurang, tapi karena makanannya bikin anak-anak masuk rumah sakit. Keracunan massal. Yang harusnya jadi sarapan sehat, malah jadi tiket ke IGD. Yang harusnya jadi bukti kehadiran negara, malah jadi bukti bahwa negara kadang hadir dengan cara yang bikin mules.
Nah, kalau kita mau jujur, insiden ini bukan sekadar soal makanan basi atau dapur yang nggak steril. Ini soal cara negara bikin kebijakan: dari atas ke bawah, dari elite ke rakyat, dari ruang rapat ke ruang kelas, tanpa tanya dulu, “Eh, kalian maunya gimana?”
Rakyat hanya sebatas objek program Makan Bergizi Gratis, bukan subjek
Dalam teori kebijakan publik, ada yang namanya Responsive Governance. Intinya, pemerintah yang baik itu bukan cuma ngasih, tapi juga ngajak ngobrol.
Bukan cuma bikin program, tapi juga dengerin yang bakal kena dampaknya. Tapi Makan Bergizi Gratis ini kayak pacar yang sok perhatian: ngasih makan tiap hari, tapi nggak pernah nanya, “Kamu suka rendang atau malah alergi telur?”
Program ini lahir dari janji kampanye. Desainnya sentralistik, teknokratis, dan sangat ambisius. Targetnya: jutaan porsi makanan per hari. Hebat, sih. Tapi fokusnya cuma di angka. Output, bukan outcome. Yang penting makanan nyampe, soal anak-anak muntah atau nggak, itu urusan belakangan.
Anak-anak sekolah, orang tua, guru, bahkan UMKM penyedia makanan, semuanya diposisikan sebagai “target” Makan Bergizi Gratis. Bukan mitra, bukan pemilik program, tapi objek keracunan.
Mereka cuma angka dalam laporan penyerapan anggaran. Padahal, kalau mau program ini awet dan nggak bikin trauma makan siang, ya harusnya mereka diajak mikir bareng dari awal.
UMKM: Ditekan, bukan diberdayakan
Salah satu janji Makan Bergizi Gratis adalah memberdayakan UMKM. Tapi kenyataannya, banyak UMKM yang malah megap-megap.
Mereka ditekan dengan pesanan besar, tenggat waktu mepet, dan standar yang kadang nggak jelas. Pelatihan keamanan pangan? Ada sih, tapi kadang cuma formalitas. Yang penting bisa masak banyak, soal higienis atau nggak, itu urusan nanti kalau ada yang keracunan.
UMKM jadi vendor, bukan mitra. Mereka disuruh produksi, bukan diajak diskusi. Padahal, kalau mau makanan bergizi dan aman, ya harusnya UMKM lokal dilibatkan sebagai bagian dari komunitas. Bukan cuma sebagai tukang masak dadakan untuk Makan Bergizi Gratis.
Makan Bergizi Gratis adalah simbolisme politik dan legitimasi yang rapuh
Makan Bergizi Gratis juga punya fungsi politik. Makanan gratis itu simbol kehadiran negara. Bukti bahwa pemerintah peduli. Tapi ketika makanan gratis itu bikin anak-anak masuk rumah sakit, simbol itu runtuh. Yang tadinya jadi alat legitimasi, malah jadi bumerang.
Distribusi massal makanan jadi panggung politik. Yang penting program terlihat jalan, bukan apakah anak-anak benar-benar dapat makanan yang layak. Ini kayak pesta ulang tahun yang heboh, tapi kue ulang tahunnya bikin diare.
Respons pemerintah terhadap insiden keracunan pun cenderung reaktif. Bikin tim investigasi, nyalahin oknum penyedia, janji akan perbaiki.
Tapi, semua itu terjadi setelah ratusan anak jatuh sakit. Kenapa nggak dicek dulu sebelum makanan dibagikan? Kenapa nggak ada sistem pengawasan yang melibatkan orang tua dan sekolah untuk Makan Bergizi Gratis ini?
Narasi resmi pemerintah juga cenderung meremehkan. “Hanya sebagian kecil yang keracunan”, katanya. Padahal, satu anak keracunan pun sudah cukup bikin satu keluarga trauma. Ini bukan soal statistik, ini soal nyawa dan kepercayaan.
Solusi: Kantin sekolah dan kedaulatan komunitas
Kalau mau Makan Bergizi Gratis ini sukses dan nggak bikin trauma makan siang berjamaah, solusinya sederhana: kembalikan kedaulatan ke sekolah dan komunitas. Setiap sekolah sebaiknya punya kantin sendiri. Dikelola oleh komunitas sekolah, diawasi oleh orang tua, dan diberdayakan oleh UMKM lokal yang mereka percaya.
Dengan kantin sekolah, kontrol kualitas bisa lebih ketat. Menu bisa disesuaikan dengan budaya lokal. Dan yang paling penting, anak-anak bisa belajar soal gizi dan kebersihan dari tempat mereka makan setiap hari. Nggak cuma makan, tapi juga paham apa yang mereka makan.
Pemerintah pusat cukup jadi fasilitator. Bikin standar, kasih pendampingan, dan biarkan sekolah menentukan sendiri siapa yang masak buat anak-anak mereka. Jangan semua disentralisasi. Karena yang tahu kondisi lapangan program Makan Bergizi Gratis itu bukan pejabat di Jakarta, tapi guru dan orang tua di sekolah.
Dari proyek politik ke gerakan publik
Makan Bergizi Gratis bisa jadi tonggak revolusi gizi anak bangsa. Tapi hanya kalau dijalankan sebagai gerakan publik, bukan proyek politik. Tragedi keracunan adalah alarm keras bahwa pendekatan teknokratis dan simbolik telah gagal.
Saatnya mengembalikan kedaulatan kepada masyarakat. Jadikan mereka mitra aktif, bukan sekadar penerima pasif. Karena gizi anak bukan soal angka, tapi soal masa depan bangsa. Dan masa depan itu nggak boleh dibangun di atas nasi kotak yang basi.
Penulis: Ibrayoga Rizki Perdana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA MBG Harusnya Dihentikan karena Bukannya Memperbaiki Gizi, tapi Malah Meracuni Siswa dan Orang Tua Dibungkam
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
