Mahasiswa Sejarah Itu Bukan Tuhan, Jadi Tolong Jangan Nanya yang Aneh-aneh!

Mahasiswa Sejarah Itu Bukan Tuhan, Jadi Tolong Jangan Nanya yang Aneh-aneh!

Mahasiswa Sejarah Itu Bukan Tuhan, Jadi Tolong Jangan Nanya yang Aneh-aneh! (Pixabay.com)

Mahasiswa sejarah, belajar sejarah secara keilmuan. Jangan nanya yang ngadi-ngadi!

Beberapa bulan yang lalu, saya menyempatkan diri untuk duduk-duduk santai di Nol Kilometer Yogyakarta sembari mendengarkan musik. Tolong jangan menilai saya anak senja yang selalu menyempatkan melihat matahari terbenam di sudut kota yang UMR-nya tiap tahun buat penduduknya mengkis-mengkis ini.

Saya waktu itu baru saja selesai menonton pemutaran film, dan saya sudah tahu sedari awal kalau sedang diintai oleh seorang laki-laki di seberang jalan. Dan, benar saja, blio kemudian mendatangi saya dan menanyakan apakah boleh duduk di sebelah. Klise, sih, blio berusaha menawarkan dagangan dana usaha kampusnya. Namun, setelah hening cukup lama, blio akhirnya mengajak basa-basi di luar usaha mencari cuan tadi.

Awalnya biasa saja, pertanyaan seputar saya asli mana, sedang apa, menunggu teman atau tidak. Sampai akhirnya blio tiba di satu pertanyaan yang selalu saya hindari betul:

“Mbaknya, dari jurusan apa?”

“Saya sejarah, mas.”

“Wah! Mbak, kalau sejarahnya Gunungkidul itu bagaimana?”

“Waduh!”

Saya sering membaca tulisan di Terminal Mojok soal problematika jurusan sejarah, tetapi saya kira dari tulisan yang telah tayang terlebih dahulu itu kurang menyebutkan satu hal yang cukup problematik.

Saya benar-benar jadi ingin resign dari program studi sejarah bukan karena saya capek disuruh banyak-banyak baca literatur atau ditanya tetangga perihal pekerjaan setelah lulus, tetapi karena kebiasaan orang Indonesia yang selalu ingin tahu. Dan kita, yang punya titel mahasiswa sejarah dianggap yang paling bisa menjawab dan mengetahui itu. Haduh! Saya kasih tahu, deh, mahasiswa sejarah itu bukan Tuhan!

Begini, ya saya jelaskan. Mahasiswa sejarah itu memang belajar semuanya, dan saya kira itu sebuah keuntungan daripada jurusan-jurusan lainnya. Ini serius, sejauh saya yang sudah menjalani lima semester, beragam ilmu nyatanya saya dapatkan di jurusan ini, sebut saja antropologi, sosiologi, politik-pemerintahan, sastra, hingga seni meskipun tidak kemudian dipelajari secara mendalam.

Akan tetapi, bukan berarti kita belajar banyak kemudian tahu semuanya, ya, Wak! Padahal kan setiap orang punya spesifikasinya sendiri, termasuk mereka yang mempelajari sejarah. Ada yang hanya mendalami sejarah ekonomi, sejarah sosial, atau sejarah seni. Dan, kalau kamu bertanya kepada mereka yang tidak sesuai spesifikasinya, pasti kamu akan diarahkan ke orang lain yang lebih tepat.

Kiranya ada satu permasalahan lagi, masyarakat Indonesia nyatanya masih akrab dengan doktrin kepercayaan dan mistifikasi. Maka dari itu, ada satu pertanyaan yang hampir selalu berseliweran mulut-ke-mulut dan sebenarnya tidak perlu dijawab oleh mahasiswa sejarah.

“Aku mau tanya, ‘kan manusia itu adanya di abad ke sekian. Lah, terus Nabi Adam itu bagaimana?”

Ini beneran, lho, ada yang bertanya begitu. Ketika orang-orang di luar sana sudah mulai meneliti apakah Mars itu layak dihuni, kita masih berkutat dengan pertanyaan semacam ini. Dengan kesabaran saya yang mulai menipis, tolonglah, Wak, yakali masih nanya hal ini?

Mempelajari garis waktu sejarah, kiranya tentu tidak bisa disandingkan dengan yang berhubungan dengan agama. Ya, itu ‘kan dua hal yang berbeda: kepercayaan dan keilmuan. Jadi, ya, cukup pahami dan ketahui saja soal pertanyaan tadi tanpa perlu diperpanjang urusannya.

Mahasiswa sejarah, belajar sejarah keilmuan. Jadi, ya yang kami pelajari sesuai dengan sains. Untuk kepercayaan dan keyakinan, ya beda dengan apa yang kami pelajari (secara garis besar). Kalau mau nanya ke anak sejarah, ya mending nanya yang kira-kira berhubungan dengan ilmunya aja. Kalau di luar itu, wah, angkat tangan.

Jadi, kiranya begitu problematika menjadi mahasiswa sejarah. Kalau kamu mahasiswa sejarah dan merasakan hal yang serupa, mari kita berpegangan tangan saja sambil senyum-senyum kalau saja tahun depan, pertanyaan yang serupa kembali muncul dan sampai ke telinga kita.

Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jangankan Mendapat Pekerjaan, Lulus dari Jurusan Sejarah Saja Susah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version