Wahai Maba Jurusan Psikologi, Berhenti Menganggap Kuliah Ini Akan Menyembuhkan Gangguan Kesehatan Mentalmu

Jangan Ambil Jurusan Psikologi kalau Belum Siap Menghadapi Realitas Ini Mojok.co

Jangan Ambil Jurusan Psikologi kalau Belum Siap Menghadapi Realitas Ini (unsplash.com)

Tujuh tahun lalu, ketika saya masih menjadi mahasiswa baru, narasi kuliah di jurusan psikologi dapat menyembuhkan luka batin atau bahkan gangguan kesehatan mental sangatlah populer. Setidaknya satu dari lima teman seangkatan saya kala itu mengatakan alasannya memilih jurusan psikologi adalah untuk “rawat jalan”. Menjadikan perkuliahan sebagai proses penyembuhan pribadi. 

Pertanyaannya, apakah benar kuliah di jurusan psikologi dapat menyembuhkan gangguan mental mahasiswanya? Setelah berhasil menamatkan gelar sarjana psikologi, saya dapat dengan yakin mengatakan bahwa klaim tersebut hanya mitos. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa saya bisa sampai pada kesimpulan tersebut.

Kuliah di jurusan psikologi itu juga bikin stres

Pertama, harus dipahami bahwa gangguan kesehatan mental paling sering dipicu oleh stres berlebihan. Masalahnya, kuliah psikologi sendiri dapat menjadi sumber stres yang luar biasa hebat bagi sebagian mahasiswa. Wujudnya bisa menjelma menjadi berbagai macam bentuk, mulai dari tuntutan akademik yang terlalu tinggi, teman yang tidak bisa diajak kerjasama saat mengerjakan tugas, hingga dosen yang sering sulit ditemui saat ingin bimbingan skripsi.

Alih-alih menjadi tempat pemulihan, perkuliahan justru berpotensi memperparah kondisi mental mahasiswanya yang sejak awal sudah rapuh. Mereka yang berharap mendapatkan ketenangan saat kuliah justru merasa semakin kewalahan karena berbagai macam tuntutan: memahami ratusan teori psikologi, praktik konseling yang menguras emosi, serta tugas observasi yang tidak sedikit. 

Dalam praktik konseling misalnya, mahasiswa dituntut untuk mampu berempati secara mendalam kepada orang lain. Proses belajar berempati ini bukan perkara ringan, sangat menguras energi dan pikiran. Ketika semua tekanan itu datang bersamaan, rasanya tidak berlebihan kalau perkuliahan ini ibarat garam yang menambah perih luka yang belum sembuh.

Kuliah di jurusan psikologi nggak lantas kebal

Kedua, memiliki pemahaman terkait gangguan kesehatan mental tidak akan otomatis menjadikan kita kebal. Kuliah itu tentang belajar suatu bidang ilmu. Dalam konteks penanganan gangguan kesehatan mental, kuliah di jurusan psikologi paling jauh hanya sebatas meningkatkan awareness tentang berbagai jenis gangguan psikologis, pemicu, gejala, dan cara penanganannya.

Menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan mental jelas bukanlah hasil dari sekadar mempelajari teori, melainkan merupakan sebuah keputusan untuk berkomitmen. Caranya dengan memantapkan niat, hati, dan pikiran untuk benar-benar berproses. Termasuk mencari bantuan profesional saat dibutuhkan dan siap menghadapi tantangan untuk merubah diri. 

Poin ini sangat penting untuk dipahami karena sebagai mahasiswa psikologi, kita disiapkan sebagai profesional yang mampu memahami serta membantu orang lain. Sebelum melakukan hal tersebut, kita wajib mampu memahami dan membantu diri sendiri terlebih dahulu. Ibaratnya sebelum menolong orang tenggelam, kita harus bisa berenang. Sehingga ketika ada seorang mahasiswa yang masuk ke jurusan psikologi dengan tujuan rawat jalan, tugasnya akan dua kali lipat lebih berat ketika dia belum selesai dengan dirinya sendiri.

Salah paham yang tak sengaja dipelihara

Celakanya, miskonsepsi bahwa kuliah psikologi dapat menyembuhkan gangguan mental mahasiswanya ternyata masih exist sampai sekarang. Bermunculan di media sosial lewat konten video pendek berisi euforia mahasiswa baru menyambut kehidupan kampus. Sekilas terlihat wajar dan cenderung menyenangkan dilihat, tapi kalau terus dibiarkan, ini bisa menyesatkan dan berdampak serius.

Dampaknya tidak bisa dianggap sepele. Mahasiswa menjadi enggan mencari bantuan profesional karena merasa “harusnya bisa sembuh sendiri” lewat kuliah. Mereka menaruh harapan besar bahwa dengan belajar psikologi, semua luka akan sembuh, kegelisahan perlahan hilang, dan semua akan indah pada waktunya. Padahal sama sekali tidak ada jaminan kalau proses perkuliahan akan mewujudkan ekspektasi tersebut. Ketika harapan itu tidak kunjung terwujud, kekecewaan pun muncul karena realitas berkata sebaliknya. 

Syukur-syukur kalau pada titik ini mereka sadar bahwa kuliah bukanlah obatnya. Mereka mungkin akhirnya mencari bantuan profesional dan mulai berproses dengan metode yang lebih terarah. Tapi bagaimana jadinya kalau tidak kunjung sadar? Bisa jadi ujung-ujungnya malah menyalahkan diri sendiri. Merasa gagal sebagai mahasiswa psikologi dan merasa bodoh karena tidak bisa mengatasi masalahnya padahal sudah setiap hari belajar tentang manusia dan perilakunya

Buang jauh pikiran itu

Sedihnya, beberapa mahasiswa mungkin sudah telanjur mengintegrasikan identitas sebagai “mahasiswa psikologi” sebagai bagian dari jati diri mereka. Sehingga ketika tertampar realita bahwa perkuliahan tidak mampu memenuhi kebutuhan yang mereka harapkan, tidak cuma rasa kecewa yang muncul, tetapi juga krisis identitas. 

Intinya, buat para mahasiswa baru jurusan psikologi, segera buang jauh-jauh harapan kuliah ini bisa menyembuhkan luka batin atau gangguan kesehatan mental kalian. Kalau memang sejak awal merasa ada yang tidak beres, selagi masih bisa, segeralah cari bantuan.

Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Lulusan Jurusan Psikologi Itu Nggak Spesial: Lapangan Pekerjaan yang Linier Sedikit, Gajinya Juga Kecil

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version