Maaf, Bukan Kamu Alasan Saya Memantaskan dan Mempercantik Diri

mempercantik diri

mempercantik diri

Siapa bilang setiap orang mempercantik diri  hanya demi orang lain? Mengapa kita berpikir setiap perempuan mempercantik diri demi menarik perhatian orang lain atau seorang laki-laki yang mencoba menjaga penampilan dengan berbagai macam perawatan cenderung dipandang berlebihan? Nyatanya, tidak selalu begitu.

Coba lihat di sekitar kita. Kita akan menemukan banyak perempuan yang berusaha mempercantik diri untuk terlihat rupawan dan menarik secara fisik dengan berbagai cara dan sangat memperhatikan penampilannya sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki, sama halnya dengan beberapa laki-laki.

Di sisi lain, banyak orang yang terlihat menonjol di mana pun ia berada, terlihat sangat ambisius terhadap target dan goals mereka, begitu vokal dalam menyuarakan persepsi maupun argumen berdasarkan ortodoksi prinsip mereka sendiri, atau mereka yang terlihat sangat sibuk dengan kesibukan yang bahkan akan membuat kita menebak-nebak apa yang sedang mereka kerjakan sehingga tampak sangat sok sibuk.

Mereka memang berusaha untuk terus meningkatkan kualitas diri mereka sendiri yang mana hal itu pasti akan diikuti dengan pembentukan citra diri seseorang. Sayangnya, usaha mereka ini tidak jarang mengundang stereotipe negatif yang sifatnya normatif, khususnya perempuan. Tidak hanya dari laki-laki, namun juga sesama perempuan cenderung menggeneralisasi perempuan yang satu dengan yang lainnya hanya karena cara mereka menunjukkan diri ‘terbungkus’ dengan cover yang bisa dikatakan mirip.

Nyatanya tidak selalu seperti itu. Skeptisme yang berkembang berhasil menginiasi pemahaman dan persepsi orang bahwa seorang perempuan berdandan dan melakukan semua usaha demi mendapat perhatian orang lain. Kita memang tidak dapat memungkiri hukum good-looking di dunia ini menempati posisi teratas dari perlakuan orang lain terhadap orang asing di sekitar mereka. Kalau pun kita terlahir dengan penampilan yang tidak lebih menarik dari orang lain, setidaknya kita memiliki sesuatu yang akan membuat diri kita sendiri memiliki nilai lebih. Namun, apakah kita melakukan segala sesuatunya (memantaskan dan mempercantik diri) demi memuaskan orang lain? Sayangnya, tidak setiap orang seperti itu.

Banyak orang berusaha untuk terus berkembang dengan meningkatkan kualifikasi diri semata-mata untuk diri mereka sendiri, untuk memenuhi kepuasan yang bahkan tidak akan dipahami bentuk kepuasan seperti apa yang mereka rasakan sebagai bentuk rasa cinta mereka terhadap diri sendiri, bukan untuk siapa-siapa, sekali pun seseorang yang mereka kagumi. Tidak ada yang salah dengan selalu ingin terlihat menarik di mata orang lain, apalagi doi, atau hendak memberikan versi terbaik dari diri kita. Tapi, bukan berarti kita melakukannya semata-mata untuk doi. Yee kan.

Menerima diri kita sendiri apa adanya merupakan cara kita mencintai diri sendiri, namun mencoba menjadikannya lebih baik tanpa mengubah hakikat atau identitas kita juga merupakan cara kita mencintai diri sendiri. Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam mencintai diri mereka sendiri. Jadi, tidak perlu kita merasa terganggu dengan cara orang lain di saat mereka tidak merugikan kita.

Dibawah bayang-bayang sentimen yang menurut saya terkadang agak mengganggu, kebanyakan teman pria disekitar saya terlalu menyoroti perempuan yang memiliki dandanan maupun kepribadian yang menonjol kapanpun dan di manapun-apalagi di sekitar mereka-daripada perempuan yang biasa-biasa saja. Ya ada yang membuat mereka terkesan. Tidak jarang juga yang dianggap cari perhatian dan sebagainya. Dan kebanyakan dari mereka berakhir GR.

Kasus lainnya, beberapa di antara banyak teman lelaki saya memiliki kebiasaan merawat diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, layaknya perempuan yang menurut sebagian orang cukup ekstrim sebagai seorang laki-laki. Orang lain yang biasa-biasa saja ini banyak yang memandang sebelah mata terhadap mereka yang berusaha merawat diri layaknya perempuan.

Apa yang salah? Tidak ada yang salah baik perempuan maupun laki-laki yang berusaha merawat diri selagi mereka tidak melanggar norma tertentu, misalnya beralih orientasi gender. Itu pun juga bukan alasan bagi kita menempatkan ia pada posisi yang tidak bersahabat dalam kehidupan kita. Terkadang kita terlalu sering memiliki persepsi miring dan menganggap orang lain aneh hanya karena apa yang kita lihat dari yang terlihat saja.

Hal yang wajar jika setiap orang ingin membahagiakan diri sendiri, berpuas diri, dan menjadi lebih percaya diri. Coba tanya diri sendiri, kamu berusaha terus meningkatakan kualifikasi diri untuk siapa? Saya tidak menuntut semua orang untuk berpandangan sama, namun menurut saya pribadi, memperhatikan penampilan dan meningkatkan kualitas diri kita itu penting, apalagi seorang perempuan.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa hingga saat ini pun, sistem seksis yang mana perempuan dianggap tidak lebih pantas dari laki-laki masih sangat eksis atau kenyataan bahwa seorang perempuan selalu berdandan di mana pun masih dianggap mengganggu dan kurang diterima di beberapa kalangan. Apakah mereka terlihat mencari perhatian? Ada, tapi tidak selalu. Generalisasi telah menarik kita semua ke dalam perspektif yang cenderung selalu negatif yang lahir dari rasa iri hati atau pun ketidaksenangan dengan cara orang lain menunjukkan diri.

Saya banyak mendengar bahwa laki-laki lebih menyukai perempuan yang natural atau apa adanya tanpa riasan dan sebagainya, jadi tidak perlulah dandan mempercantik diri demi menarik perhatian orang lain. Go ahead dengan pemikiran itu. Tidak setiap orang melakukan itu untuk menarik perhatian orang lain, bisa jadi dengan begitu ia lebih merasa percaya diri, ia merasa senang untuk dirinya sendiri, tidak untuk memenuhi harapan orang lain.

Selama mereka tidak merugikan kita baik dalam hal materi atau apapun yang mengusik kita, mengapa begitu terganggu dengan kebiasaan orang lain disaat kita pun tidak dirugikan sama sekali? Apalagi dengan menyebut mereka yang sebenarnya belum benar-benar kita pahami dengan caper atau jaim dalam konotasi ‘cenderung negatif’. Memang kita perlu lebih bijak lagi menyikapi kecendungan kita menghakimi orang lain dalam konotasi yang lebih mengarah ke pikiran negatif. Istilah “don’t judge a book by its cover” sudah tidak asing lagi di telinga kita, tapi terkadang kita lupa praktiknya.

Exit mobile version