Saya masih ingat waktu awal masuk kuliah Hubungan Internasional. Rasanya keren. Belajar tentang Perang Dingin, organisasi multilateral, sampai ikut simulasi sidang PBB alias Model United Nations. Pakai jas, bawa name tag, debat soal konflik Dataran Tinggi Golan seolah-olah saya punya pengaruh apa pun di dunia ini.
Saya dan beberapa teman bahkan sampai pernah ikut MUN ke luar negeri. Pulang-pulang bawa foto di depan markas besar PBB mini di Bangkok, pakai caption: “Proud to represent Indonesia in this prestigious forum.” Di kampus, kita bicara soal diplomasi publik, teori realisme, dan multilateralisme seolah-olah kita semua calon pengganti Retno Marsudi.
Tapi setelah lulus, saya baru sadar: tidak ada lowongan kerja yang tanya, “Pernah MUN ke mana?” HRD lebih peduli apakah kita bisa bikin laporan keuangan, kirim email pakai format yang rapi, atau ngerti cara pakai Google Sheets tanpa panik. MUN itu pengalaman yang berharga, tapi tidak semua kantor paham harganya.
Status Hubungan Internasional tidak menjamin apa-apa
Setelah lulus, banyak alumni HI mulai menyadari satu fakta pahit: gelar itu tidak serta-merta membawa mereka ke dunia internasional. Banyak dari mereka yang justru merasa seperti tersesat secara domestik—ngelamar ke sana-sini, ditanya “jurusan kamu belajar apa, ya?” atau “ini hubungan internasional, berarti hubungan luar negeri, kan?” yang kemudian dilanjutkan dengan, “Tapi kamu bisa Excel?”
Sementara itu, lowongan untuk diplomat tidak datang setiap bulan. Tes CPNS Kementerian Luar Negeri ada, tapi tidak segampang daftar akun Netflix. Prosesnya panjang, persaingannya ketat, dan kuotanya terbatas. Pendidikan tinggi pun bukan jaminan. Sudah banyak yang S2 luar negeri tapi tetap tak berhasil masuk. Kalau pun berhasil, belum tentu betah, karena dunia diplomasi tidak selalu seperti yang dibayangkan anak HI semester satu: glamor, intelektual, dan jalan-jalan ke Jenewa.
Pilihan realistis berikutnya biasanya mengarah ke akademik. Jadi dosen. Tapi lagi-lagi, syaratnya panjang: minimal S2, lebih bagus kalau sudah publikasi, dan kalau bisa sih, punya pengalaman kerja. Banyak yang akhirnya memilih kuliah lanjut, bukan karena cinta ilmu, tapi karena nggak tahu harus kerja apa.
Lalu ada juga yang banting setir. Masuk LSM, jadi analis media, ngurus riset, atau kerja di organisasi internasional level kecil. Yang penting, bisa “nyambungin” kata kunci jurusan dengan pekerjaan. Kata “analisis kebijakan luar negeri” bisa diubah jadi “monitoring opini publik.” Kata “global governance” bisa dipoles jadi “stakeholder engagement.” Begitulah cara bertahan hidup: mengubah narasi agar terdengar aplikatif.
Yang lebih fleksibel mungkin bisa belajar skill baru: desain, marketing, UI/UX, bahkan jadi content writer. Lulusan Hubungan Internasional yang kuat nulis dan suka mikir bisa saja masuk dunia agensi atau media. Tapi itu artinya, gelar HI-nya cuma jadi tambahan. Bukan modal utama.
Lalu muncul pertanyaan klasik: “Salah jurusan nggak, sih?”
Ya mau gimana lagi
Jujur aja, jawabannya nggak sesimpel ya atau tidak. Ilmu HI itu keren. Kita belajar mikir sistematis, paham isu global, dan nggak gampang kemakan hoaks internasional. Tapi di dunia kerja, keren doang nggak cukup. Kita harus lincah. Harus bisa terjemahin idealisme ke format yang bisa dibaca HRD—atau minimal bisa disulap jadi job desk yang masuk akal.
Selama ini, kita dibentuk untuk menjadi pemikir, tapi dunia kerja menuntut kita menjadi pelaksana. Kita paham isu kemiskinan global, tapi untuk bekerja di bank mikro pun, kita masih harus bersaing dengan anak akuntansi. Kita pernah belajar negosiasi multilateral, tapi setelah lulus, negosiasi kita lebih sering soal gaji UMR dan berapa kali boleh WFH.
Tapi jangan salah, banyak juga lulusan Hubungan Internasional yang sukses. Mereka yang bisa memadukan kemampuan analitis dengan skill teknis, yang bisa komunikasi dan juga ngerti spreadsheet, yang bisa mikir dan juga ngoding dikit-dikit. Lulusan HI punya modal kuat: kita terbiasa mikir kompleks, ngerti konteks, dan tahu cara ngomong. Di dunia yang penuh distraksi ini, itu nilai mahal.
Tapi tetap, saya cuma ingin ngingetin adik-adik HI: belajar keras, iya. Jago teori, oke. Tapi siapin juga skill lain. Dunia kerja tidak seluas kawasan Timur Tengah. Dan kadang, pekerjaan paling realistis bukan yang berbau internasional, tapi justru yang sangat lokal—macam ngurus event kantor kelurahan, atau menyusun laporan keuangan UMKM.
Dan kalau nanti disuruh jadi panitia 17 Agustus di RT, anggap saja itu diplomatic engagement level grassroots.
Penulis: Filasafia Marsya Ma’rifat
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
