Logika Mendag Lutfi: Mampu Bayar PCR atau Antigen Boleh Masuk Mal, yang Nggak Silakan ke Pasar Tradisional

Logika Mendag Lutfi_ Mampu Bayar PCR atau Antigen Boleh Masuk Mal, yang Nggak Mampu Silakan ke Pasar Tradisional terminal mojok

Saat mengunjungi Mal Kota Kasablanka di Jakarta Selatan, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan tes negatif PCR dan atau Swab Antigen ikut menjadi syarat masuk mal. Lucunya, menurut Mendag Lutfi, belanja ke pasar tradisional mah bebas. Pembedanya ada pada fasilitas AC.

Ruangan yang memakai AC memang berisiko tinggi terpapar Covid-19 karena virus terlokalisir di satu tempat. Tapi, alasan Mendag Lutfi bukan itu—bukan karena kepedulian pada keselamatan pengunjung mal. Pernyataan tersebut muncul karena diskriminasi dan minimnya keberpihakan pada masyarakat yang nggak mampu bayar PCR/antigen.

“Kalau nggak (mau), ya boleh ke pasar rakyat. Ke pasar rakyat nggak perlu antigen, nggak mesti PCR, nggak mesti vaksin. Silakan masuk aja ke pasar rakyat. Kalau mau pakai AC mesti keluarkan uang untuk Antigen. Jadi vaksinasi, PCR, dan atau Antigen. PCR bisa dua hari, Antigen sehari saja,” kata Mendag.

Vaksin saja distribusinya belum merata, pelosok belum sepenuhnya terjamah. Bisa mendapat vaksinasi adalah privilese bagi rakyat sekarang, padahal gratis. Apalagi yang harus bayar ratusan ribu seperti PCR dan antigen.

FYI, pemerintah menetapkan harga rapid test antigen tertinggi 250 ribu untuk Pulau Jawa dan 275 ribu luar Jawa. Ketetapan tersebut ada di Surat Edaran No HK.02.02/I/4611/2020 yang dikeluarkan per tanggal 18 Desember 2020. Sedangkan batas atas biaya PCR adalah 900 ribu ditetapkan dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/1/3713/2020.

Di sisi lain, secara nggak langsung Mendag Lutfi mengatakan bahwa di tempat kita bisa belanja murah, di pasar tradisional, keamanan pengunjung jauh lebih longgar. Oleh karena itu, masyarakat yang punya uang lebih silakan pilih tempat belanja yang lebih aman seperti mal, sementara masyarakat yang uangnya mepet—nggak bisa bayar PCR/antigen, mestinya lebih tahu diri, bisa ke pasar tradisional saja.

Era 90-an dan awal 2000-an, kita sering mendengar kalimat, “Orang miskin dilarang sakit” dan “Orang miskin dilarang sekolah”, yang diucapkan sebagai kritik ketimpangan sosial dan kurangnya keberpihakan pemerintah pada rakyat. Sekarang tambah lagi orang miskin juga dilarang ke mal.

Sebagai rakyat jelata, saya masih terkaget-kaget seorang menteri terang benderang mengatakan pemakaian AC menjadi pembatas antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Mal vs pasar tradisional, kenyamanan berbelanja vs status ekonomi, familier dengan cara berpikir yang seperti ini?

Ya, memang sudah biasa orang miskin diminta tahu diri, dalam keseharian, kan, juga begitu. Mau belanja yang lebih nyaman dan bersih, bisa ke supermarket di mal. Kalau mampunya belanja yang bisa nawar, meski tempatnya lusuh dan becek, bisa ke pasar. Ada fasilitas, ada harga.

Tapi, kalau yang berpikir seperti itu adalah pejabat negara yang seharusnya bekerja keras mengatasi kesenjangan sosial, kok, jengkel banget rasanya, ya?

Ngapain kita buang-buang uang untuk pemilu setiap lima tahun kalau logika pejabatnya nggak jauh-jauh dari diskriminasi berdasarkan kemampuan ekonomi begitu? Itu logika pejabat atau logika tukang jualan?

Nggak heran bisa muncul ide vaksin berbayar saat pandemi sedang menggila.

Nggak heran pasar tradisional jarang dibenahi—kalaupun dibenahi, harga kios jauh lebih tinggi kemudian lama-lama ditinggalkan pembeli karena harga barang juga naik.

Nggak heran izin pendirian mal terus diberikan tanpa dibarengi revitalisasi pasar tradisional.

Nggak heran muncul kasus impor bahan pokok yang sebenarnya masih bisa dipenuhi petani kita.

Nggak heran kursi Mendag di era Jokowi paling sering berganti pemilik.

Nggak heran~

Mendag Lutfi bukan kali ini saja membuktikan dirinya nggak punya keberpihakan pada rakyat miskin. Bulan Maret lalu sampai ramai muncul tagar #MendagBebanJokowi lantaran blio berencana impor beras padahal sedang musim panen. Impor beras saat panen rasanya sudah jelas bisa bikin petani merugi karena harga jual beras lokal menjadi rendah.

Dalih Mendag saat itu, rencana impor dilakukan bukan untuk dijual ke pasar, melainkan sebagai cadangan nasional. Sementara Budi Waseso menyatakan cadangan beras di Bulog cukup untuk cadangan nasional dan pasokan beras dalam negeri.

How low can you go, Pak Mendag?

Keberpihakan pemerintah kepada rakyat akan meningkatkan kesejahteraan sosial, ini harga mati. Tolong jangan diutak-atik.

Yang paling repot kalau punya pejabat ngefans teori Darwin “survival of the fittest”, sudah pasti rakyat menjerit. Pejabat minim empati dan nggak punya keberpihakan pada rakyat saja sudah bikin pengelolaan negara kayak lagi naik mobil matic dengan driver baru belajar, masih ditambah ngefans teori Darwin. Padahal kita semua sekarang harus berhadapan dengan pandemi. Wis, angel, angel~

Ketika keberpihakan pejabat negara pada rakyat adalah fiksi, kesenjangan sosial menjadi repetisi.

BACA JUGA Kalau Pak Luhut Bilang Penanganan Pandemi Itu Terkendali, Terus Kenapa 31 Negara Mencekal Pelancong dari Indonesia? dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version