Lockdown Lokal di Jogja Aslinya Cuma Tutup Jalan, Nggak Beda kalau Lagi Ada Hajatan

Lockdown Lokal di Jogja Aslinya Cuma Tutup Jalan, Nggak Beda kalau Lagi Ada Hajatan

Lockdown Lokal di Jogja Aslinya Cuma Tutup Jalan, Nggak Beda kalau Lagi Ada Hajatan

Dunia saat ini dihadapkan pada kondisi yang semakin buruk terkait dengan virus corona. Banyak korban yang tumbang termasuk tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam penanganan virus ini. Seluruh dunia sedang susah payah mencari solusi bagaimana agar virus corona segera enyah dari muka bumi.

Termasuk juga di Indonesia, pemerintah sejak 15 Maret 2020 mengimbau masyarakat untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Himbauan itu tentu bukan tanpa alasan. Alasan terkuatnya adalah dalam rangka mengurangi penyebaran virus yang sangat masif.

Memang betul, untuk mencegah penularan orang harus menjaga jarak satu sama lain. Mengurangi mobilisasi dan meniadakan berbagai macam bentuk kegiatan yang menghadirkan banyak orang. Senjata terampuhnya agar bisa terealisasi adalah dengan melakukan lockdown. Tapi pemerintah tidak memilih itu. Kenapa?

Alasan yang mungkin sedang dipertimbangkan adalah dampaknya terhadap perekonomian. Kemungkinan terburuk ketika terjadinya lockdown adalah pekerja harian akan kesulitan mencari sumber pendapatan. Selain itu ekonomi di negeri kita tercinta ini akan mandek, kebayang bagaimana nantinya, wong sekarang satu dolar saja sudah sampai 16.000.

Fantasi liar dan jiwa nyinyirku kembali terkoyak ketika melihat fenomena unik di Jogja. Iya Jogja. Kota yang tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan di sini. Banyak kampung-kampung di Jogja yang saat ini memberlakukan lockdown lokal. Artinya hanya satu dusun atau satu RW saja yang melakukan lockdown, atau bahkan satu RT saja. Bisa jadi.

Artinya warga menutup semua akses JALAN utama di kampung tersebut, termasuk gerbang, dan akses jalan lain. Tujuannya mungkin untuk mengurangi mobilisasi. Mengurangi orang yang akan lewat dan masuk di kampung itu.

Dengan begitu maka imbauan untuk melakukan physical distancing jadi mudah untuk ditaati. Selian itu warga yang tinggal di kampung tersebut juga bisa mengkarantina diri sendiri dengan nyaman di rumah masing-masing. Itu teorinya, tapi dalam prakteknya tidak begitu.

Kalau kita cermati lebih dalam lagi bahwa masyarakat di perkampungan adalah masyarakat yang sangat komunal. Mereka tidak akan bisa hidup tanpa srawung, ngopi, dan ngangkring (kita bebas mengartikan itu baik atau tidak).

Tapi dalam konteks lockdown lokal di kampung, tampaknya bapak-bapak kumisan dengan kearifan lokalnya sedang dapat tongkrongan baru untuk serawung, ngopi dan ngangkring. Tepatnya di gerbang yang tertutup portal dan tertulis tulisan lockdown dengan pilok warna merah.

Entah disadari atau tidak, nongkrong adalah salah satu tindakan yang seharusnya dihindari oleh setiap orang termasuk bapak-bapak kumisan. Mengingat bahwa himbauan yang sudah jelas adalah himbauan untuk menerapkan physical distancing (menjaga jarak) dan menghindari kerumunan. Kesan yang kemudian muncul bukanlah sedang terjadi lockwdown, tapi tidak lebih dari jalan yang ditutup karena sedang ada hajatan. Tidak ada bedanya.

Dalam artikel-artikel berita, pengertian lockdown adalah bentuk mengkarantina suatu wilayah, dengan tujuan agar wilayah tersebut berhenti aktivitasnya. Supaya aturan tersebut ditaati aparat akan mengawasi dan menjaga di setiap sudut wilayah tersebut.

Berbeda hal nya dengan lockdown lokal yang saat ini tengah ramai dilakukan. Mungkin definisi yang cocok untuk lockdown lokal ini adalah sebatas tindakan menutup jalan supaya tidak ada orang yang lewat.

Dua hal yang bisa dipahami dari fenomena lockdown lokal ini adalah pertama, bahwa lockdown adalah bentuk ekstrem dari karantina wilayah. Sebelum melakukan lockdown, masyarakat harus mengawali dengan tidakan physical distancing atau #DirumahAja. Bukan malah nongkrong. Lockdown dilakukan ketika keadaan sudah sangat darurat dan tidak bisa lagi dikendalikan.

Kedua adalah lockdown harusnya tidak hanya dipahami sebagai tindakan menutup jalan. Tapi juga harus dibarengi dengan berhentinya seluruh aktivitas yang ada di sebuah wilayah yang di-lockdown. Memang susah, tapi itu resiko yang harus diambil ketika sudah memberlakukan lockdown.

Jadi inti dari tulisan ini adalah, saya merasa tidak bebas ketika komplek kos-kosan yang saya tempati memberlakukan lockdown lokal. Mau keluar susah, cari makan juga susah, mau pacaran ketemu kawan juga susah.

Seharusnya cukup lah kita semua menjaga diri dengan melakukan apa-apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sering-sering cuci tangan, jaga kesehatan, jaga jarak dengan orang lain, pakai masker, kalau merasa sakit jangan keluar, dan lain sebagainya. Kami anak kos, kamar kami sempit.

BACA JUGA Lockdown Mandiri di Desa Bikin Sadar kalau Cuma Ketua RT yang Bisa Nyelametin Kita atau tulisan Muhammad Farih Fanani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version