Hanoi adalah kota yang sibuk. Semua berlangsung dengan stagnan. Manusia dengan derap langkah, motor dengan deru mesin, klakson dengan mak tin tin tin, pun perut saya yang keroncongan luar biasa. Tapi yaaa itu, dompet dan petuah ibu adalah dua hal yang nggak bisa diowah-owah.
Saya pernah makan babi di Bali. Rasanya enak sekali. Apa lagi babi madu. Coba sebutkan makanan terenak di dunia versi kalian. Hah? Apa? Sambel belut? Sate klatak? Apapun yang kalian sebutkan, nggak ada yang lebih enak dari babi madu. Persetubuhan antara daging juicy dengan lelehan madu adalah paripurna yang nyata.
Sejak makan babi, saya seakan diasingkan dari keluarga besar. Jika imam besar junjungan ormas diasingkan (atau mengasingkan) ke Arab, saya diasingkan dari grup WhatsApp! Ah, dasar WhatsApp story sialan! Gara-gara lupa hide story, tante saya lambenya bagai sembribit udara di pagi hari, adem njarem. Sontak saja, tanpa babibu, ibu saya yang ngefans sama Felix Siauw itu makin ngawu-ngawu.
Dalil-dalil keluar dari mulut ibu saya. Cerita Nabi Adam sampai runtuhnya Konstantinopel pun hanya bisa membuat saya manggut-manggut dan minta maaf. Benar, bukan hanya nggak enak sama ibu, lebih dari itu juga sama Gusti Allah. Tapi tetap saja, lelehan madu yang… Astaghfirullah!
Beberapa bulan berikutnya, saya berkesempatan pergi ke Hanoi. Selain lalu lintas yang asu, menu-menu di sana kebanyakan ngajak gelut. Berbagai olahan babi tersedia untuk dinanti. Babi guling, babi bakar, hingga babi godog. Sampai babi ini jadi menu sampingan. Salah satunya pelengkap yang dimasukan dalam olahan sup yang bernama pho.
Yang nggak ada mungkin hanya satu, yakni babi geprek. Lha soalnya saya cari ke mana-mana nggak ada. Oh ya, satu lagi, Indomie varian babi. Itu juga nggak ada. Saya juga sempat mengingatkan, pokoknya jangan olah babi campur buah kurma, bahaya. Siapa tahu ada ormas cabang Vietnam.
Bendera partai komunis itu bagai babi. Hm… Eh, maksud saya begini, bendera Partai Komunis di Hanoi, seperti olahan babi, pating tlecek. Di setiap pengkolan jalan, pasti ada.
Ibu saya ini cerewetnya bukan main. Mengingatkan saya atas segala dosa. Bukannya takut, saya malah kemekelen karena kepikiran menulis “Menghitung Akumulasi Dosa Saya” dan saya kirim ke Mojok rubrik Nafkah. Lebih dari itu, ibu itu segalanya bagi saya, titahnya adalah amanah yang semisal nggak dijalankan, akan berdarah-darah.
Hostel saya berada di area Old Town dan beradu dengan lalu lintas Hanoi yang super medeni itu. Kalau nggak penting-penting amat, saya emoh naik motor. Nggak sudi! Buat cari makanan, saya harus jalan kaki. Menengok fisik saya yang lemah tapi nggak gemulai, pol mentok ya 10 kilometer radiusnya per hari.
Ada banyak restoran cepat saji sih di sana. Jika tiap hari saya harus makan burger dan kawan-kawannya, dalam waktu satu bulan saya bakal berubah jadi Kraby Patty. Saya sebenarnya blas nggak mikirin kesehatan, apa lagi takut gendut. Persetan dengan berat badan. Tapi harganya itu lho.
Makanan cepat saji di Hanoi, menurut pendapat dompet saya, katanya bisa bikin keuangan saya klenger. Perut saya juga bertitah saya harus makan sehari minimal tiga kali. Nggak boleh kurang. Nanti kodam saya ngamuk. Dua kombinasi maut ini menjadikan restoran cepat saji saya coret dari daftar rujukan kuliner di sana.
Setengah mati saya mencari makanan halal di Hanoi. Ada sih, tapi harganya… Ada kesempatan untuk foya-foya, tapi Hanoi bukan kota romantis seperti Jogja. Nggak seperti Jogja, nggak ada angkringan di sini. Apa lagi pembangunan hotel dan apartemen.
UMR di Hanoi? Wah, kurang tahu yang jelas manusiawi sih. Pun kalau naik, nggak naik cuma beberapa persen saja deh.
Saya tegaskan lagi ya. Makanan halal di Hanoi itu ada, tapi harganya kurang cocok bagi saya. Apa lagi jaraknya jauh dari hostel saya. Ketahanan pangan tiap manusia itu memang sama, tapi kan ketahanan dompet yang berbeda-beda.
Saya pun beralih ke 7-Eleven. Di sana banyak sekali olahan babi yang dibuat cepat saji. Banyak juga sosis yang olahannya dari daging babi. Saya kok jadi penasaran ya gimana iklan sosis di Vietnam. Ngajak atlet-atlet dan orang berprestasi sebagai bintang iklan kayak di Indonesia nggak ya?
Adanya mi instan. Astaga, mosok jauh-jauh ke Vietnam makannya mi instan lagi, mi instan lagi.
Akhirnya saya putuskan untuk cari makanan halal di pinggiran jalan Hanoi yang riuh dan bikin pusing itu. Saya bertanya sama penjualnya, “Nggak pakai pork, bisa?” Si penjual langsung njrantal masuk ke dalam toko, saya kaget.
Jebul blio memanggil anaknya yang seumuran dengan saya. “Maaf, bapak saya nggak bisa bahasa Inggris,” katanya. Seperti biasa, saya dikira orang Filipina dan kemudian saya memesan semangkuk sup tanpa pork atau daging babi.
“Ini namanya pho. Yaaa boleh dibilang sup ala Vietnam. Mi putihnya terbuat dari tepung beras, dagingnya suiran daging sapi.” katanya sambil menghidangkan semangkuk sup yang menggoda selera.
Saya makan semuanya sampai tak uyup. Kaldunya enak sekali. Ini adalah sup paling enak walau nggak bisa mengalahkan sup buatan nenek saya. Sudah saya putuskan, tiap hari saya bakalan makan ini. Pulang-pulang ke Indonesia mungkin badan saya jadi pothok.
“Enak, ya?” tanyanya. “Kaldu babi muda memang tidak ada tandingannya.” katanya dengan bangga.
“Jiamput!” batin saya. Mata saya menatap bendera Partai Komunis bergambarkan palu arit, yang tengah berkibar-kibar di angkasa, kayak lagi mentertawakan saya. Ah sialan, pantas saja orang-orang pemarah di negara saya benci partai itu!
BACA JUGA Kemampuan Terpendam Bakul Angkringan Adalah Jadi Pendengar yang Baik bagi Pelanggan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.