Lebaran ala Abangan dan Lebaran ala Putihan

lebaran abangan

Lebaran ala Abangan dan Lebaran ala Putihan

Sudah jadi pandangan umum bilamana hari raya Idul Fitri selalu jadi ajang silaturahmi, cinlok sepupu, dan pamer antar keluarga. Kekhasan suasana Lebaran ini memang paling cocok jadi wadah bertemunya kehidupan antar generasi, yang umumnya dilakukan yang muda ke yang lebih tua.

Kalau sudah begitu, selain jadi sumber munculnya pertanyaan duka bagi kaum jomblo ikhwal kehidupan berpasangannya, adu argumen politik sampai teori konspirasi, benturan sub kultur juga akan sulit terhindarkan.

Sebagai keturunan Jawa dari dua warna Islam Nusantara yang sudah bercokol sejak era Walisongo; abangan dan putihan, saya jadi merasa perlu untuk melakukan studi lapangan terkait peran dua pemahaman tersebut dalam prosesi silaturahmi seperti saat Lebaran.

Acara Lebaran yang biasanya diawali puasa 30 hari terlebih dahulu, sebelum takbir dan esoknya mandi mruput buat salat Ied ke masjid, bisa jadi tidak kita temui dalam khazanah kehidupan abangan, karena mereka lebih cocok dengan laku salat dan puasa daim yang dipopulerkan Ronggowarsito.

Sampean boleh saja bingung dan kebakaran jenggot melihat pola peribadatan seperti itu, tapi ada baiknya kita meninjau lebih jauh pemahaman dan lika-liku yang harus disandang seorang abangan.

Jelas secara akidah, abangan punya beraneka ragam daya kreatifitas yang tidak dimiliki kelompok ortodoks. Sinkretisme yang mengadopsi banyak pemahan teologis masa lalu, animisme, dinamisme, yang lalu tercampur dengan keyakinan pasca jahiliah. Maka tidak heran kalau “santri” abangan seperti saya akan susah mendapat ukhti-ukhti jalur “syar’i”. Lha, mau gimana, ahli “bid’ah” je.

Permasalahan semacam itulah yang jarang jadi pertimbangan generasi tua, atau yang sudah berjodoh untuk berhenti menanyakan nasib cinta kita yang masih rono-rene dewekan. Apalagi sewaktu temu keluarga besar, tentu saya dan mungkin sebagian besar pembaca akan menolak cap sebagai taman tak berbunganya Rhoma Irama dong, ya. Tapi begitulah cinta, deritanya tiada akhir, mengutip Cu Pat Kai, alias ngenes!!!!!!

Tapi akan lain halnya bila kita adalah seorang yang dikenal dan tampak saleh, dilihat dari unggahan medsos dan outfit yang kita kenakan. Era digital sudah mendukung percintaan jalur online, kok. Khususnya buat ukhti-ukhti yang sulit ditaksir secara offline.

Postingan dakwah yang sering kita unggah pasti lebih mudah menggaet doi. Pertanyaan identik dan legend di waktu Lebaran: kapan nikah, pasti lebih mudah ditanggulangi dengan trend kawin muda dan poligami yang sering pula kita jumpai dikampanyekan para ukhti, yang notabene mereka sendiri adalah kaum hawa, kaum yang juga menentang mati-matian budaya tersebut dengan jargon feminisme.

Didukung culture anjuran agar saling bertukar “taqabbalallahu minna wa minkum, minal ‘aidin wal-faizin” bisa kita gunakan sebagai sarana jitu untuk berkujung ke aba-umiknya si Neneng. Sekaligus kesempatan emas guna mengutarakan keinginan supaya bisa lekas beribadah bareng anaknya. Kulhu wae, Lik, kesuen, kalau memang udah kebelet, ye kan.

Kembali soal nasib abangan, cobaan kian bertambah di saat pandemi Covid-19 seperti saat ini, di mana banyak kawasan ibadah dikurangi penggunaannya dalam sementara waktu, yang imbasnya berdampak salat Ied massal tahun ini diliburkan dulu, untuk diganti secara mandiri di tiap rumah.

Bisa dibayangin dong gimana resahnya kaum abangan jika sampai ditunjuk jadi imam sekaligus khatib, belum lagi kalau sepupu yang paling manis ikut ngisi shaf di belakang, yang jika abangan sampe tidak bilang sanggup, atau salah rukunnya, tentu akan menyebabkan damage yang gak ngotak dan awet selama tiga Lebaran.

Yang paling parah kalau sudah nyangkut soal pekerjaan. Kaum putihan bisa lebih lega bilang “… Ndak apa-apa yang penting halal”, tapi bagi kaum saya, ya maaf, tunggu dulu, pertimbangan halal-haram kadang jadi barang langka.

Profesi saya sebagai visual artist dan freelance writer saja masih banyak diperdebat-ributkan ahli hukum agama, terutama soal mencitrakan ulang makhluk hidup dan berbohong dalam menulis fiksi—padahal jelas-jelas pengertian tulisan fiksi adalah tidak nyata.

Meski saya bisa mencari keringanan dengan mengutip pernyataan salah seorang sufi, bahwa yang paling halal dan bebas dari syubhat hanyalah air hujan, tapi itu tidak atau belum saya lakukan sampai tulisan ini dibuat.

Membuat sangkalan-sangkalan juga bukan hobi saya, lebih-lebih melihat hari ied adalah hari yang harus dipenuhi maaf. Maka saya mending mengalah dan mengikhlaskan maaf untuk segala “point” yang kerabat saya timbun lagi setelah level kami masing-masing mencapai draw di angka 0-0.

Dalam soal berpakaian pula abangan sering mengalami intimidasi, utamanya kalangan abangan perempuan. Bagaimana tidak, melihat semua kaum ibu berkumpul dalam keadaan brukut, ditambah wejangan-wejangan berbau surga agar selayaknya perempuan bersikap bla-bla-bla… Bakal membuat mereka membawa beban perasaan berdosa, jengkel, dan sesamanya, seusai acara sowan.

Dan buat saya sendiri yang berambut panjang, bagi kerabat yang masih menganggap gondrong bagian dari ideologi premanisme, yang biasanya dianut orang tua zaman Orba, adalah penyebab malapetaka dengan konsekuensi potong rambut yang harus saya terima.

Mereka belum tahu aja gimana lama dan banyaknya biaya rawat rambut panjang laki-laki agar selalu tampil prima, bebas minyak dan ketombe. Ini belum kalau judge-nya menjatuhkan vonis fasikh, dengan dalil larangan menyerupai tampilan orang kafir dan fasik, padahal ada pula riwayat yang menceritakan Nabi berambut sampai sebahu.

Untunglah semua itu belum seluruhnya saya alami, sebagian memang, tapi masih mampu diatasi. Setidaknya hal-hal di atas bisa jadi penyemarak suasana temu kangen antar saudara yang sudah pada jauh tempat dan hatinya di hari Fitri. Tidak lupa bahwa ini juga kesempatan untuk meralat komunikasi dengan sepupu yang paling manis, he-he-he.

Dari hasil observasi saya sebagai pelaku sekaligus pengamat golongan abangan dalam menghadapi ritus kebudayaan Lebaran, ada hal tambahan yang ingin saya tulis-sampaikan dengan fungsi ganda untuk self reminder: bahwa gamis putih memang tampak lebih mengesankan ketimbang jeans motif gigitan tikus, terlebih jika dikenakan sebagai pakaian berhari raya.

BACA JUGA Alasan Kelompok Abangan Nggak Salat Lima Waktu tapi Nggak Pernah Absen Jumatan dan tulisan Suliswanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version