Laundry adalah jasa yang hampir pasti dipakai anak kuliah yang ngekos. Maka dari itu, tak mengagetkan jika banyak kios jasa laundry bertebaran di dekat kampus. Bahkan bisa dipastikan, tak ada kios yang tak rame. Perkara baju, kita semua sama: sama-sama pengin wangi.
Saya sebenarnya tidak pake jasa laundry hingga semester empat. Hitungan matematis saya saat itu, duit laundry sama dengan satu porsi pecel. Tentu saja saya lebih memilih pecel ketimbang laundry, meski artinya saya harus rela bercapek-capek.
Nah, karena itu perdana saya memakai jasa laundry, jadi semua jenis pakaian masuk, hingga pakaian dalam pun saya sertakan. Ketika sudah jadi, ndilalah Memet, kawan saya melihat tumpukan baju yang sudah rapi dalam plastik tersebut. tiba-tiba, dia berkomentar:
“Loh, sempak kok di-laundry?”
Pertanyaan tersebut terngiang di benak saya, dari saat itu hingga beberapa tahun kemudian. Memangnya salah kalau mau laundry pakaian dalam? Salahnya di mana?
Ketika saya googling, tidak ada keterangan-keterangan atau penelitian yang pakem soal ini. Oleh karena tidak ada literatur yang sahih, olehnya saya bikin riset kecil-kecilan dengan menghubunhi beberapa kawan lintas suku di kontak yang tersimpan di smartphone saya.
Mayoritas yang saya survey adalah perantauan, sebab penduduk asli kemungkinan punya mesin cuci sendiri. Kurang lebih pertanyaan yang sama dikirimkan ke beberapa kawan secara acak, bunyi pertanyaannya kira-kira seperti ini;
“Bang/ Nona, Ngelaundry daleman itu tabu apa tidak, sih??”
Teman saya orang Enrekang, Sulawesi menjawab, “Kalau aku sih nggak mau laundry sempakku, alasannya nggak sopan aja sih.” Teman saya orang Sunda yang hidup di Bekasi menjawab, “Jangan lah, alasannya itu identitas.” Teman saya orang Batu bilang, “Nggak pantas lah, tapi kalau aku sempak tetep ku-laundry sih. No hard feeling.” Jawaban yang kacau.
Sebenarnya, masih banyak yang menjawab. Tapi, nantinya jadi kek daftar absensi kuliah.
Begitulah jawaban dari beberapa orang yang saya jadikan sasaran empuk survey busuk tidak berbayar ini.
Tidak berhenti di si pemakai jasa. Saya juga menanyakannya langsung ke si empunya jasa laundry. Macam orang kurang kerjaan saja saya ini, nanya-nanya nggak jelas. Sebut saja Mas Kuncup.
“Mas, dari rata-rata konsumenmu, apakah banyak yang nge-laundry pakaian dalam?”
“Sedikit, Mas.”
Jawaban yang sesuai dengan kebanyakan mindset para pemakai jasa laundry yang masih menjunjung tinggi nilai malu sebagai budaya orang timur. Budaya timur apaan dah.
Setelah melakukan riset kecil-kecilan tersebut, saya juga berdiskusi dengan kawan saya. Dan dari diskusi tersebut, ditambah hasil riset, saya temukan beberapa kesimpulan.
Alasan paling utama kenapa “tabu” untuk laundry pakaian dalam itu perkara kepantasan saja. banyak yang menganggap pakaian dalam itu hal privat, jadi selayaknya nggak diumbar, apalagi dicuciin orang. Nggak pantes.
Selain itu, ada sisi keamanan yang perlu diperhatikan juga. Banyak pakaian hilang di laundry. Jika pakaian biasa saja hilang, pakaian dalam yang besarnya tak seberapa itu punya risiko yang jauh lebih besar.
Me-laundry pakaian dalam sebenarnya tak masalah. Asal si empunya nggak malu, bodo amat, dan sebagainya. Asalkan kotornya bukan kotor yang tak wajar. Paham lah maksudnya seperti apa. Dah pada gede ini.
Pakaian dalam yang ditaruh laundry pun harusnya yang masih dalam keadaan bagus. Masak sempak bolong favoritmu mau ditaruh di laundry? Tolong lah nalarnya.
Nah itulah beberapa alasan laundry pakaian dalam itu “tabu”. Nah, menurut kalian, bagaimana? Sila coret-coret di bawah!
Sumber gambar: Pixabay