Ketika Pak Luhut mengungkapkan rencana pemerintah memproduksi laptop Merah Putih, ramai di media, sebagai rakyat jelata (dan gaptek pula) saya kesulitan menangkap maksud blio.
Jadi ceritanya begini. Kemendikbudristek menganggarkan 17,42 triliun untuk program digitalisasi sekolah sampai 2024. Alat-alat Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) yang hendak dibeli antara lain: laptop, access point, konektor, layar proyektor, speaker aktif, dan internet router, yang semuanya merupakan produk dalam negeri (PDN). Program digitalisasi sekolah ini sudah dimulai sejak 2021 dan direncanakan tuntas tahun 2024 di periode Mendikbudristek Nadiem.
Sampai sini sepertinya sudah clear, ya. Nggak ada cerita 17,42 triliun cuma buat beli laptop, jangan terjebak misinformasi, Gaes.
Pak Luhut juga bilang ada tujuan mulia di balik penganggaran 17,42 triliun ini. Blio menjelaskan bahwa belanja pemerintah untuk produk dalam negeri di bidang pendidikan, khususnya produk TIK, masih sangat rendah dibandingkan dengan nilai impornya.
“Belanja pemerintah untuk produk dalam negeri betul-betul kita dorong. Tidak boleh kita impor-impor, padahal kita bisa produksi. Harus dibasmi orang-orang yang masih main di sini,” jelas Pak Luhut di tayangan YouTube Kemenko Marves, Kamis, 22 Juli 2021.
Penjelasan tentang anggaran dan laptop mulai membuat saya bingung setelah Mendikbudristek mulai menyebut laptop Merah Putih.
Mas Nadiem menjelaskan bahwa saat ini Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM) tengah mengembangkan teknologi laptop, bekerja sama dengan industri TIK dalam negeri dan membentuk konsorsium untuk memproduksi laptop Merah Putih.
Berarti bukan sekadar belanja produk laptop dari produsen lokal, kan? Mas Nadiem mau bikin laptop rasa rasa lokal, supaya bisa “think globally act locally” seperti yang sering disebut di jaman baheula?
Teknisnya, maksud saya, masa iya Mas Nadiem kepengin bikin laptop dengan chipset asli buatan Indonesia?
Sebab selama ini, selokal-lokalnya laptop yang diproduksi di Indonesia, tetap saja chipset yang digunakan impor dari China, Jepang, dan USA.
Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah memaksimalkan Tingkatan Kandungan Dalam Negeri (TKDN) produk TIK dan mengurangi ketergantungan laptop impor, mau nggak mau jadi berpikir soal chipset juga, dong. Ditegaskan pula oleh Pak Luhut, “Saya kira zamannya Pak Menteri Nadiem elok kalau sudah mulai diluncurkan. Jadi kita bisa bangun industri sendiri.”
Wow, (((industri))), Gaes!
Awalnya saya pikir laptop Merah Putih itu seperti kacang atom (atau disebut juga kacang shanghai) yang dijual di Indomaret dan diberi merek Indomaret, tapi diproduksi oleh Gangsar Snack & Foods yang pabriknya ada di Tulungagung. Jadi kacang atom merek Indomaret itu sama saja barangnya dengan merek Gangsar yang beredar di pasaran. Saya tahu tentang ini karena lahir-besar di Jawa Timur dan penggemar kacang atom merek Gangsar sejak kecil.
Ternyata saya salah, laptop Merah Putih ini tidak seperti kacang atom Indomaret.
Saya jadi deja vu. Teringat vaksin Nusantara proyek Pak Terawan, mobil Esemka proyek Pak Jokowi, padi Supertoy proyek Pak SBY, mobil listrik mewah Tuxuci, dan Selo proyek Pak Dahlan Iskan, dan seterusnya, dan sebagainya.
Hasrat para eksekutif untuk memproduksi dan memakai produk-produk Indonesia ini, terutama hasrat untuk mengumumkan produknya ke khalayak saat mereka masih menjabat, selamanya akan sulit dipahami rakyat jelata. Hasrat, untuk mendapat pengakuan, adalah perkara pelik.
Para eksekutif sepertinya, tidak melihat hal semacam itu sebagai hasrat, tapi sebagai (((nasionalisme))).
Nasionalisme teknologi adalah istilah yang biasa dipakai, dianggap sebagai momen kebangkitan nasional lewat teknologi. Dari perspektif nasionalisme teknologi ini diyakini bahwa kesuksesan sebuah bangsa dapat ditentukan oleh seberapa baik bangsa tersebut berinovasi dan menyebarkan teknologi. Inovasi teknologi diyakini mampu perkuat identitas bangsa.
Permasalahannya adalah, hasrat dan nasionalisme itu tidak gratis.
Dalam konteks laptop Merah Putih, yang katanya dimaksudkan supaya nggak perlu impor-impor, ada biaya yang kemudian dibebankan ke negara dan itu berarti rakyat yang harus bayar.
OPPO yang tahun lalu mengumumkan akan masuk ke industri chipset (ingin bersaing dengan Qualcomm, Apple, HiSilicon, Mediatek, dan Exynos), hanya untuk riset chipset saja, mengalokasikan dana 97 triliun.
Ketika vaksin gratis sebagai strategi untuk mencapai herd immunity hanya dianggarkan kurang lebih 77 triliun, distribusinya pun masih berantakan, masa iya negara harus menanggung beban untuk riset chipset dengan kebutuhan dana yang lebih besar?
Risetnya juga belum tentu bisa selesai saat eksekutif yang bersangkutan, Pak Luhut dan Mas Nadiem, masih menjabat. Jadi, buat apa, sih?
Atau, jangan-jangan, ada hal lain yang membuat proyek laptop Merah Putih ini harus terlaksana di periode pemerintahan yang sekarang apa pun resikonya?
BACA JUGA Kalau Pak Luhut Bilang Penanganan Pandemi Itu Terkendali, Terus Kenapa 31 Negara Mencekal Pelancong dari Indonesia? dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.