Setiap kali saya berkendara dari Lamongan utara menuju Mojokerto, ada satu rutinitas tetap yang saya lakukan: mbatin. Sebuah ritual dalam hati yang tidak pernah absen. Iya, Tiap berkendara melewati Lamongan kota, saya selalu mbatin, “Pusat kota kok jalannya jelek”.
Istri saya juga mbatin, “Padahal ini pusat kota lho”. Saya ulang, PUSAT KOTA, bukan pinggiran, bukan desa pelosok. Bahkan teman saya yang berkendara ke menuju Mojokerto juga sering mengeluhkan, “Bisa nggak sih gausah lewat Lamongan kota?”
Bukan apa-apa. Maksud saya, mana ada sih pusat kota yang berantakan? Di mana-mana pusat kota itu bagus. Iya, setahu saya, pusat kota itu biasanya jadi etalase. Sebab, dekat dengan kantor pemerintahan, jadi akan diperhatikan. Normalnya begitu. Tapi, di Lamongan beda. Jalan saja rusak lho. Bare minimum saja nggak sampai ini mah.
Nggak usah dibandingkan dengan Jogja atau Surabaya. Coba saja ke Bojonegoro atau Tuban, tetangga sebelah. Ya sama-sama kabupaten, sama-sama Jawa Timur, jarak pun nggak sampai dua jam perjalanan. Tapi kualitas pusat kotanya beda jauh.
Di Tuban, meski ada beberapa yang rusak, tapi minimal masih mulus di area perkotaan. Bojonegoro juga begitu. Trotoarnya rapi, jalur kendaraan teratur, lampu jalan juga menyala. Lha Lamongan? Ya, Allah, jalan Veteran saja nggak mulus. Bayangin. Jalan Veteran pusat kota lho ini. Edyan.
Terminal yang gelap
Saya tidak paham entah kenapa terminal yang letaknya di Kota Lamongan ini terasa miris. Nggak terlihat seperti terminal. Hanya sekadar bangunan yang tertulis terminal. Bahkan beberapa teman saya juga baru tahu kalau ada terminal di sana.
Selain tidak terlalu berfungsi, kondisi lampu penerangan di sekitar juga minim.
Bahkan ketika malam, jalan ke arahnya malah gelap. Saya tidak mengarang cerita. Saya memang sering bolak-balik Lamongan-Mojokerto. Dan tentu saja melewati daerah pusat kabupaten ini, khususnya terminal Lamongan. Serius, jalan di sampingnya ini gelap.
Terminal ini memang terkesan tak terurus. Padahal ada di pusat kota, lho. Pun, terminal juga seharusnya menjadi pintu gerbang kota. Tempat orang pertama kali menjejakkan kaki dan menemukan kesan pertama. Jan, ramashok blasss.
Fasilitas publik yang sering kalah start
Kalau jalan rusak dan lampu jalan payah, fasilitas publik lainnya juga nggak kalah miris. Trotoar kalau pun ada, sering dipakai parkir motor atau tenda pedagang kaki lima. Area pejalan kaki kalah sama motor, mobil, dan rombong angkringan. Begitu kira-kira gambaran betapa semrawutnya penataan kota ini.
Selain itu, kita tak bisa mengharapkan fasilitas penunjang lain. Mau punya taman kota yang layak? Sepertinya lebih masuk akal menunggu Manchester United juara Liga Inggris deh. Sebab, tak pernah ada pemeliharaan fasilitas publik. Nggak pernah ada keseriusan mengelola dengan semestinya. Saya juga heran, bupati Lamongan ini lagi sibuk apa gitu?
Kenapa Lamongan bisa begini?
Pertanyaan besarnya: kenapa bisa begini? Padahal Lamongan ini kabupaten yang nggak kecil-kecil amat. Daerah pesisir, jalur nasional, dekat dengan Gresik, Tuban, Bojonegoro, bahkan Surabaya. Potensinya banyak, makanannya terkenal, jalur perlintasan utama Pantura pun lewat.
Sayangnya, kalau pusat kotanya saja kelihatan ogah-ogahan, ya susah mau jual tampang ke pendatang.
Nggak muluk-muluk, saya sebagai warga Lamongan cuma ingin jalanan pusat kota rapi, aspal mulus, lampu jalan terang, trotoar bisa dipakai semestinya. Itu saja. Fokus ke daerah pusat kota dulu saja. Sebab, di mana-mana pusat kota itu etalase kabupaten. Tempat orang lewat, singgah, mampir beli oleh-oleh, makan, atau sekadar transit. Kalau penampilan “cover-nya” saja sudah membuat malas, ya apalagi yang mau diharapkan?
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Hal yang Patut Diwaspadai sebelum Mengunjungi Lamongan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
