Laki-Laki Tidak Bercerita, Laki-Laki Tidak Bercerita Matamu, Hidup Sudah Susah kok Malah Nambah Penyakit!

Laki-Laki Tidak Bercerita, Laki-Laki Tidak Bercerita Matamu, Hidup Sudah Susah kok Malah Nambah Penyakit!

Laki-Laki Tidak Bercerita, Laki-Laki Tidak Bercerita Matamu, Hidup Sudah Susah kok Malah Nambah Penyakit!

Lemparkan kalimat agak puitis di medsos, dengan sedikit keberuntungan, satu negara akan mengikutimu. Sekalipun itu bodoh, orang tak akan peduli. Itulah yang saya lihat dari tren konten “laki-laki tidak bercerita”.

Bagi saya konten ini bodoh karena selain misleading, ada potensi bahaya yang mengikuti. Saya heran dari mana orang bisa nyeletuk laki-laki tidak bercerita, padahal kalau mau lihat di kenyataan, justru laki-laki adalah salah satu yang paling heboh kalau sudah bercerita.

Bahaya yang saya maksud adalah ini bikin orang-orang jadi mengikuti kebiasaan toxic yang masih dilestarikan oleh boomer, yaitu pendam masalahmu sendiri. Pendam masalahmu sendiri matamu jebol, hidup nggak jadi tenang, stres yang ada.

Standar medsos memang bajingan.

Laki-laki tidak bercerita itu alasannya apa?

Saya pengin nanya ke kalian laki-laki yang memilih untuk tidak bercerita. Kalian ini nggak punya kawan cerita, nggak bisa cerita karena keadaan, atau malah sok misterius?

Bagi yang sudah punya pasangan, nggak mungkin kalian nggak cerita kehidupan kalian. Kalau kalian—laki-laki—memilih untuk tidak mau cerita, sorry bro, kau problematik. Apa yang sebenarnya membuatmu tidak mau cerita apa pun kepada pasanganmu?

Saya ngerti, nggak semua masalah bisa selesai ketika cerita. Bahkan beberapa masalah bisa jadi makin runyam. Contoh, ada lelaki tidak siap menikah, tak berani cerita ke pasangannya karena takut kecewa. Saya paham risikonya kelewat besar, bisa jadi masalah malah makin runyam. Cuman, emang kalau nggak dibicarain, masalah itu bisa jadi lumayan terkendali?

Saya jadi teringat salah satu dialog di film The Day After Tomorrow:

“With all due respect, Mr Vice President, the cost of doing nothing could be even higher.”

Kalimat tersebut menghantui saya untuk beberapa lama. “Laki-laki tidak bercerita” bisa jadi opsi paling aman. Tapi efek sampingnya saya kira jelas lebih besar.

Nggak usah ikut-ikutan

Kalau kalian para laki-laki tidak punya kawan cerita, mungkin saya masih bisa memaklumi. Tidak semua kawan kita adalah orang yang bisa kita percaya. Beberapa manusia terlahir untuk menusuk manusia lain dari belakang. Tak semua manusia mau mendengarkan penderitaan manusia lain.

Tapi jika kau punya kawan yang sudah bersamamu sejak lama, apa salahnya berbagi cerita yang memberatkan pundakmu? Benar, waspada bahwa orang lain belum tentu bisa dipercaya itu bagus. Tapi tidak percaya pada semua orang juga bukanlah tindakan bijak.

Laki-laki tidak bercerita, jika alasannnya adalah karena itu kodrat laki-laki, mending kita cari siapa yang mencetuskan hal ini lalu kita tenggelamkan saja. Tidak ada hal yang baik dari tren tersebut. Manusia punya titik rentannya, tapi tidak boleh dibiarkan sendiri. Terkadang beban yang menggunung runtuh hanya dengan dialog tak sampai satu jam.

Kalau kalian para laki-laki memilih untuk tidak bercerita, terserah. Tapi saya sebagai sesama laki-laki, akan selalu berusaha bercerita tentang apa pun, dan menyediakan telinga buat siapa pun. I mean, bercerita itu menyenangkan lho. Saya suka berbagi perkembangan anak saya, betapa bodohnya Ferland Mendy, serta lucunya komentar di live Eri Pras.

Hal-hal seperti itu berharga dan menyenangkan untuk diceritakan. Kenapa kalian memilih untuk sok dark dan memendam semua penderitaanmu sendirian?

Ingat, kawan, hidup sudah tidak menyenangkan. Nggak usah ditambah ikut-ikutan konten bodoh yang merenggut jiwa kalian pelan-pelan.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jadi Perempuan Sulit? Maaf, Jadi Pria Juga Ada Kalanya Sulit, Nona

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version