Kritik untuk Gereja Katolik: Kami Ingin Membangun Peradaban, tapi Gereja Tidak Membangun Kami

Kritik untuk Gereja Katolik: Kami Ingin Membangun Peradaban, tapi Gereja Tidak Membangun Kami

Kritik untuk Gereja Katolik: Kami Ingin Membangun Peradaban, tapi Gereja Tidak Membangun Kami (Unsplash.com)

Dalam Matius 11:28, Yesus bersabda, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Sebuah sabda yang melegakan hati, dan jadi spirit gereja yang mengayomi. Tapi, apa benar sabda ini sudah direalisasikan oleh gereja Katolik? Setidaknya kepada generasi muda yang nantinya akan menghidupi gereja.

Generasi muda harus membangun diri sendiri. Mereka berjibaku mengembangkan diri di luar dinding gereja. Belajar ilmu yang relevan dan perlu untuk bisa bertahan hidup hari ini. Apa yang dilakukan gereja Katolik? Bertanya kenapa generasi muda jauh dari gereja? Atau menyalahkan globalisasi dan sekulerisme yang memisahkan anak muda dengan gereja?

Saya memandang gereja Katolik terlalu lama mengagumi masa lalu, masa di mana gereja menjadi motor perkembangan zaman dengan semangat kasih. Sialnya, hari ini yang tersisa hanyalah barisan pensiun yang meromantisasi nostalgia. Quo vadis, ecclesia?

Belajar dan berkembang di luar pagar gereja Katolik

Sebelum bicara lebih jauh, saya ingin menegaskan sesuatu. Saya tidak akan bicara gereja, baik bangunan dan umat, dari kacamat iman semata, melainkan pada posisi gereja Katolik sebagai kelompok dan identitas sosial. Memang itu hakekat gereja Katolik hari ini, kan?

Kenapa saya harus menegaskan ini? Karena saya merasakan gereja Katolik sebagai kelompok sosial kini hadir dalam urusan seremonial semata. Orang datang ke gereja hanya ketika misa, anak lahir, mau nikah, dan minta minyak suci semata. Namun, tidak ada pengembangan diri yang nyata dan relevan, kecuali kegiatan yang sifatnya sangat eksklusif seperti retreat.

Ke mana saya harus pergi ketika ingin belajar dan mengembangkan diri agar bisa bertahan hidup? Ke kelas-kelas bootcamp, ke forum-forum umum, ke jemaat yang punya program entrepreneurship, atau ke ruang dakwah yang menawarkan berbagai jenis pelatihan.

Ketika saya belajar copywriting, yang jadi mentor sering dipanggil Gus. Saat saya belajar marketing, yang memberi training adalah ustaz. Ketika saya ikut forum diskusi advertising, yang mengadakan adalah sebuah lembaga dakwah. Saya tidak sendiri, lho. Banyak saudara seiman yang berjibaku mencari ilmu seperti saya.

Jangan pikir saya ingin menggesekkan dua agama, karena nyatanya memang demikian. Yang saya permasalahkan, kenapa gereja Katolik tidak memiliki program serupa? Padahal mereka punya kapital cukup besar, dari dana sampai SDM.

Sekolah Katolik, kelompok kategorial, dan gerakan yang itu-itu saja

Ketika saya merenungi realitas ini, saya teringat Surat Gembala Sinode Pendidikan Keuskupan Agung Semarang. Dalam surat ini, Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko. Pr menekankan pada pendidikan Katolik. Tentu saja yang jadi fokus utama adalah sekolah Katolik.

Saya menangkap keresahan tentang situasi sekolah Katolik hari ini. Sekolah Katolik makin tidak populer dan mulai ditinggalkan. Banyak sekolah Katolik yang kekurangan murid, apalagi tingkat SD dan SMP. Dan keresahan ini makin terasa kalau Anda tinggal di Jogja. Padahal sekolah Katolik dulu adalah primadona! Selain terbuka bagi semua golongan, kualitas lulusan sekolah Katolik memang berkualitas. Kini, sekolah Katolik dipandang sebagai sekolah mahal semata.

Saya juga ingin menyinggung kelompok kategorial. Konsep yang sebenarnya membuka gereja lebih luas dengan berbagai kegiatan tambahan. Umat punya kesempatan untuk berkegiatan di luar konteks liturgis, misal seminar keluarga dan retreat. Banyak kegiatan kelompok kategorial berfokus pada pendidikan.

Dari kedua model pendidikan ini, saya melihat kegiatan yang itu-itu saja tanpa ada dampak berarti bagi umat dan masyarakat. Padahal keduanya saling melengkapi, pendidikan formal dan informal. Bukankah kombinasi dua model ini punya potensi besar bagi gereja Katolik untuk memenuhi kebutuhan umat dalam pendidikan dan pengembangan diri?

Tenang, tidak perlu memaksakan diri untuk membela keduanya. Kalau hasilnya nyata, bukankah Sinode Pendidikan tahun ini tidak berisi keresahan?

Sekolah Katolik hanya bisa menawarkan atmosfer agamis yang lebih kental. Sedangkan kelompok kategorial berisi kegiatan yang masih mirip dengan belasan tahun silam. Bagaimana keduanya bisa menjawab kebutuhan masyarakat yang makin kompleks? Memang tidak bisa, sehingga umat seperti saya dan kawan-kawan harus berjuang belajar sendiri di luar pagar gereja.

Apakah gereja Katolik masih mau menjawab tantangan zaman?

Salah satu semangat gereja Katolik dari masa ke masa adalah menjawab tantangan zaman. Lahirnya sekolah Katolik dan berbagai kelompok kategorial adalah untuk menjawab tantangan ini. Tapi itu dulu, karena kedua model tadi sudah tidak lagi menjawab tantangan zaman.

Tantangan zaman hari ini adalah perkembangan dunia yang makin cepat. Generasi muda dituntut untuk terus mengembangkan diri dengan pengetahuan baru. Tidak hanya ilmu eksak dan pengetahuan dasar, namun pengetahuan yang relevan dengan kemajuan teknologi.

Gereja Katolik harus berani melihat keluar zona nyaman. Memandang pendidikan bukan sebagai sekolah klasik dan berfokus pada kurikulum, melainkan memperluas cakrawala dan membentuk model pendidikan inklusif dan memenuhi kebutuhan hari ini. Selain itu, gereja harus lebih fleksibel mengikuti pergerakan peradaban. Bukankah Paus Fransiskus sendiri mengajak kita untuk melepaskan diri dari kekakuan gereja masa lalu?

Sekolah Katolik harus memandang pendidikan lebih luas dan menawarkan kurikulum yang mengakomodir perkembangan zaman. Jangan jadikan atmosfer agamis sebagai nilai jual utama karena itu sebuah kewajaran dalam sekolah Katolik. Tawarkan sekolah yang lebih berkembang sekaligus menjawab keresahan umat di sekitarnya.

Gereja Katolik juga bisa mengembangkan diri di model sekolah alternatif di mana siswa diberi ruang lebih untuk mengembangkan diri serta melakukan berbagai uji coba. Sesederhana model sekolah Montessori yang kini populer (dan mahal). Bukankah Gereja Katolik punya cukup kapital untuk membangun sekolah inklusif ini agar lebih mudah diakses masyarakat?

Gereja bisa menggerakkan kelompok kategorial baru yang lebih memahami kebutuhan umat hari ini, misalnya kelompok penulis, musisi folk, atau pebisnis muda. Beri mereka fasilitas seperti kelas menulis, ruang latihan, galeri, atau pelatihan marketing. Banyak hal yang bisa dilakukan di dalam pagar gereja tanpa harus takut urusan liturgi terganggu.

Akan tetapi jangan sampai gerakan ini berakhir menjadi produk boomer yang tidak relevan. Hanya jadi seminar membosankan yang tidak memberi dampak. Biarkan gerakan ini benar-benar menjadi ruang belajar, berkembang, dan berbagi bagi generasi muda.

Quo Vadis, Ecclesia?

Sebenarnya ada banyak potensi dan peluang yang bisa diambil gereja Katolik. Coba gali lebih dalam kehidupan kaum muda di luar gereja, pahami kebutuhan mereka, lalu pilih yang bisa diakomodir gereja. Kalau perlu, akomodir seluruh kebutuhan generasi muda. Berilah mereka kesempatan untuk berbagi sekaligus belajar. Coba beri ruang bagi mereka untuk mengembangkan diri sekaligus membangun gereja Katolik dengan cara yang lebih relevan.

Pertanyaannya, apakah gereja Katolik siap mengambil langkah baru ini? Atau akan berhenti pada glorifikasi masa lalu di mana gereja masih relevan pada zaman serta membiarkan generasi muda tumbuh berkembang di luar gereja? Membiarkan calon penggerak gereja Katolik belajar di luar dan dituntut pulang untuk membangun jemaat? Atau benar-benar menjawab tantangan zaman dan berani mengambil peran dalam pembangunan kaum muda?

Mau ke mana, gereja Katolik? Melangkah maju atau rebahan di imajinasi masa lalu yang gemilang?

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mengapa Gereja Katolik Indonesia Mendiamkan Kekerasan pada Umatnya di Papua?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version