Semarang sedang tidak baik-baik saja. Publik terhenyak setelah seorang mahasiswa meninggal akibat ulah dari kelompok yang dikenal dengan sebutan kreak Semarang.
Istilah kreak ini belakangan viral, apalagi setelah insiden tawuran yang terjadi pada Selasa (17/9/2024). Mereka sangat brutal, sampai merenggut nyawa pengendara motor yang tak bersalah.
Peristiwa tragis ini membuat kita bertanya-tanya. Bagaimana fenomena kreak Semarang ini bisa berkembang sedemikian rupa? Apa penyebabnya?
Daftar Isi
Arti kreak Semarang
Kreak adalah singkatan dari “kere” dan “mayak”. Banyak orang menggunakan istilah ini untuk menggambarkan gaya hidup glamor yang tidak pada tempatnya. Namun, istilah ini kemudian berkembang menjadi label bagi kelompok remaja yang sering terlibat dalam tindakan kriminal.
Tawuran antar kelompok kreak—yang juga bisa disebut gangster—bukan hal baru. Semakin hari, korban semakin banyak. Orang yang tidak tahu dan tidak terlibat bisa kena imbas dari aksi brutal mereka.
Jika dulu kreak Semarang hanya sebatas pamer rambut klimis dan baju ketat, sekarang mereka beralih ke hobi adu fisik. Merek membawa senjata tajam yang lebih besar dari cita-cita mereka.
Lantas, apa yang membuat istilah ini berkembang menjadi seburuk itu? Mungkin karena di kota yang panas dan penuh asap ini, emosi gampang tersulut. Anak-anak muda ini memilih jalan menjadi “jagoan jalanan” ketimbang fokus cari penghidupan yang lebih baik. Ini bukan soal sekadar “kere tapi norak” lagi, tapi sudah masuk ke wilayah “kere tapi kejam.”
Brutal dan gila
Bayangkan, di kota yang terkenal dengan sikap toleransi, tercoreng oleh perilaku brutal kreak Semarang. Para pemuda yang semestinya sibuk mikirin pendidikan atau bekerja, malah sibuk membentuk geng di kota ini.
Sebetulnya, apa yang membuat mereka melakukan ini? Gampang saja, (mungkin) kreak Semarang adalah hasil dari keputusasaan yang bercampur dengan keinginan mendapat pengakuan.
Di kota yang menawarkan lebih banyak tantangan ketimbang kesempatan, mereka merasa perlu mencari eksistensi. Sayangnya, mereka menemukan saluran eksistensi itu di jalanan. Bentuknya adu jotos dan kebrutalan.
Bisa jadi, kreak Semarang adalah jalan pintas menuju “ketenaran.” Meski ketenaran itu berarti menjadi headline berita kriminal. Namun, di balik kelakuan brutal dan gila ini, ada masalah yang lebih serius. Mereka bukan anak muda salah pergaulan, tapi juga korban dari sistem yang gagal memberikan harapan.
Mungkin kreak Semarang juga korban sebuah sistem
Faktor ekonomi? Mungkin. Pendidikan? Bisa jadi. Kurangnya ruang ekspresi yang positif? Bisa saja. Jadi, ketika kreak Semarang ini beraksi di jalanan, yang kita lihat bukan sekadar kenakalan remaja biasa. Ini bisa menjadi sebuah jeritan minta perhatian yang keras, jelas, dan ironisnya, berdarah-darah.
Inilah problematik terbesar kreak Semarang. Ketika merasa tidak punya masa depan, mereka akan mencari cara untuk “menjadi sesuatu”. Meskipun itu berarti menjadi momok di jalanan.
Kalau saja mereka bisa melihat bahwa ada lebih banyak pilihan daripada menjadi kreak Semarang, mungkin kota ini tak perlu diramaikan dengan berita duka dan insiden brutal. Sayangnya, sekarang, kelakuan brutal ini sudah jadi lingkaran setan yang terus berputar. Menelan siapa saja yang apes berada di jalurnya.
Secercah harapan
Fenomena kreak Semarang bukan sekadar persoalan kenakalan remaja. Ini nggak bisa diselesaikan dengan razia sesaat atau imbauan moral. Ini adalah problematika yang membutuhkan perhatian lebih serius dari berbagai pihak. Mengatasi kreak bukan sekadar menghukum pelaku tawuran, tapi juga menyembuhkan luka sosial yang menjadi akar.
Pertama, kita perlu menyediakan ruang ekspresi positif. Mereka butuh tempat untuk menyalurkan energi dan kreativitas yang meluap-luap. Bukan cuma ruang jalanan yang akhirnya malah jadi arena gladiator. Komunitas seni, olahraga, hingga pusat pelatihan keterampilan bisa jadi solusi jangka panjang nan efektif.
Kedua, pendidikan yang inklusif dan merata mesti jadi prioritas. Anak-anak muda ini, sering berasal dari lingkungan yang (mungkin) “kurang beruntung”. Sangat tidak bisa disamakan dengan mereka yang punya akses lebih baik. Kurikulum pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan hidup, pelatihan keterampilan, hingga beasiswa bagi mereka yang kurang mampu adalah investasi bernilai.
Ketiga, peran keluarga dan masyarakat sangat penting. Perlu ada kesadaran bahwa masalah ini bukan hanya urusan negara atau aparat. Ini tanggung jawab kita bersama.
Ketika keluarga bisa menjadi tempat berlindung yang aman, dan masyarakat memberikan dukungan, kreak Semarang mungkin tidak akan merasa perlu mencari pengakuan di jalanan.
Apakah kelak kita bisa menemukan jalan keluar?
Akhirnya, seperti kata pepatah, “An eye for an eye makes the whole world blind.” kreak Semarang tidak akan bisa diselesaikan dengan kekerasan.
Perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi, lebih empatik, dan berorientasi pada masa depan. Semarang tidak boleh menyerah pada kreak, tapi juga tidak bisa sekadar menghukum mereka tanpa memberikan kesempatan kedua.
Sejatinya, di balik setiap pemuda yang terjebak dalam lingkaran kreak Semarang, ada harapan yang hilang dan impian yang kandas. Tugas kita semua adalah menemukan harapan itu kembali, memberikan mereka peluang untuk bangkit, dan menciptakan kota yang tidak cuma aman dari kreak, tapi juga penuh dengan peluang bagi semua.
Kalau saja kita bisa mengubah jalanan dari arena perkelahian menjadi tempat bertemunya ide-ide kreatif, mungkin cerita kreak ini bisa berubah dari tragedi menjadi inspirasi. Siapa tahu, Semarang yang kita cintai bisa kembali menemukan jalan keluarnya.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Genuk Kecamatan Paling Meresahkan di Kota Semarang, Isinya Cuma Masalah!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.