KPU RI Nggak Salah soal Pilkada, Pemerintah Aja yang Hilang Arah

KPU RI Nggak Salah soal Pilkada, Pemerintah Aja yang Hilang Arah terminal mojok.co

KPU RI Nggak Salah soal Pilkada, Pemerintah Aja yang Hilang Arah terminal mojok.co

KPU RI bikin twit yang berisi informasi bahwa pasien Covid-19 masih bisa menggunakan hak pilihnya pada Pilkada 9 Desember 2020 nanti. Petugas akan mendatangi ruang isolasi dengan menggunakan APD. Katanya sih, setiap suara sangat berarti, makanya mereka bikin terobosan ini.

Jangan sampai kalian bilang ini nggak etis ya, ngawur kalian. Pemerintah itu memikirkan rakyat, makanya suara kalian benar-benar diperhatikan waktu coblosan ini. Suara yang saya maksud adalah partisipasi kalian pada waktu pemilihan, kalau kritikan, itu baru bukan suara rakyat. Apalagi demo, cuma bikin macet doang. Kalian nggak peka sama perasaan halte yang terbakar apa?

KPU RI ini benar-benar peduli sama kita. Pasien Covid-19 yang sedih bisa jadi terhibur ketika petugas KPU datang. Siapa tahu bisa jadi temen ngobrol. Mungkin juga terhibur dengan betapa absurdnya langkah mereka dalam memperjuangkan suara. Mana ada negara yang kayak gini, negara lain mah batalin pilkada demi menjaga diri dari penyebaran virus. Ingat kata-kata Stalin ya, “The death of one man is a tragedy, the death of millions is a statistic.” makanya pilkada jalan.

Kalau bilang KPU RI nggak peka, kok kayaknya nggak juga ya. Ya kalau pasien yang ribuan banyaknya itu nggak nyoblos, kok kasihan sama para kontestan pilkada itu. Kita ini kan nggak lebih dari kepala-kepala yang diharapkan bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan dalam kampanye, jadi yang dilakukan KPU RI itu win-win solution. Kans uang modal kembali tetap ada, suara kita tetap tersalurkan. Begitu kan mainnya?

Lho, jangan kaget kalau kita dianggap tak lebih dari itu. Para caleg, cabup, atau cagub yang terpilih belum tentu menyalurkan aspirasi rakyat yang mencoblos. Perkara investor dan korporat suaranya lebih didengar, itu salahmu kenapa jadi orang kok miskin. Kalau mau didengar (atau merasa didengar), mention Pak Ganjar coba.

Jadi kita harus memaklumi kalau KPU RI mau bersusah payah memakai APD untuk memastikan hak pilih pasien Covid-19 itu dipenuhi. Sebab, pilkada ini adalah hal yang esensial bagi negara. Dinasti politik harus tetap dijaga, perputaran uang harus tetap lancar, dan tentu saja ada anggaran yang harus dihabiskan.

Kalau kalian pikir ini langkah yang tidak tepat dan menyalahi protokol kesehatan (protokol rumah sakit, medis, yang beneran, bukan kampanye nggak jelas dari pemerintah), ya memang. Dapet ilham dari mana petugas non medis masuk ruang isolasi buat kepentingan yang nggak penting-penting amat? Kesembuhan pasien yang utama, bukan hal beginian.

Eh, maaf, lupa, suara kan penting ya, demi modal yang dikeluarkan nggak terbuang percuma. Modal kampanye maksudnya.

Dari awal, penanganan Covid-19 memang nggak maksimal—kalau tak mau dibilang ampas—dan kesehatan rakyat bukanlah prioritas utama. Coba, narasi pemerintah kan ngomongin ekonomi, ekonomi, dan ekonomi. Ya memang ekonomi penting, tolol kali saya anggap itu nggak penting, tapi narasi pemerintah kan mau jalanin ekonomi dengan kontrol kesehatan yang ketat, nyatanya ya nggak. Begitu ada kenaikan kasus, yang disalahin rakyat. Mana pakai ngurangin hari libur biar kasus nggak naik lagi, ilham dari mana coba?

Jadi kalau kita mau maki KPU RI, ya percuma. Langkah mereka sudah benar, kalau memang sudah kacau, bertindak waras jadi kelihatan goblok. Nanti dicap SJW kiri, terus nanti dicari-cari kesalahannya, bikin tulisan, upload di blog.

Eh, kayak siapa gitu ya.

KPU Cuma jalanin apa yang mereka pikir bener. Kalau emang itu salah, ya memang semuanya ini udah salah dari awal. Mau benerin kek apa pun, ya jadinya remuk. Lagian jangan kaget kalau ada ide goblok datengin petugas ke ruang isolasi, wong kerumunan nikahan aja pemerintah malah ngasih masker gratisan dalam jumlah banyak. Makanya, kerja, kerja, kerja. Punya privilege, biar hidup enak. Apa jadi influencer gitu lah, entar diajak liburan gratis sama pemerintah, pura-puranya simulasi.

Angka kasus per hari sudah menembus delapan ribu, bisnis-bisnis makin hancur, pun kejelasan rakyat mendapat akses kesehatan yang murah menyangkut Covid-19 pun belum ada. SUdah nggak perlu marah-marah, mereka hanya menjalankan tugas. Tekanan mereka juga besar, kasihan sama yang udah abis modal gede kampanye lho. Dinasti politik yang ada nanti nggak lagi kokoh, kasihan.

Ayo ikut pilkada, kan belum mati.

BACA JUGA Relasi Bunyi, Sebuah Usaha Merawat Interaksi Seni di Yogyakarta dan artikel Rizky Prasetya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version