Konten Prindapan: Sebuah Garis Tipis Antara Hiburan dan Hinaan

Konten Prindapan Sebuah Garis Tipis Antara Hiburan dan Hinaan Terminal Mojok

Konten Prindapan Sebuah Garis Tipis Antara Hiburan dan Hinaan (Unsplash.com)

Selamat datang di media sosial! Cukup bermodalkan smartphone dan koneksi internet yang baik, kita dapat melihat potret kehidupan di belahan dunia mana pun.

Setiap mangkal di fyp TikTok, biasanya saya akan disuguhi konten yang berkenaan dengan cuplikan pertandingan sepak bola semalem, tutorial memasak, sampai aksi narsis cewek cantik. Terkadang, algoritma secara acak membawa saya pada salah satu genre konten yang ramai dan sepertinya menghibur untuk kebanyakan netizen.

Konten ramai yang saya maksud memuat kehidupan kelas menengah ke bawah di India seperti jajanan pinggir jalan yang proses penyajiannya dinilai nyeleneh hingga realitas kehidupan kasta terendah dari negara tersebut. Konten-konten itu rupanya menyita perhatian banyak netizen Indonesia hingga ada segelintir kreator konten yang bikin akun khusus untuk memenuhi permintaan netizen lainnya dengan kata kunci “Prindapan”. Kreator konten semacam ini cukup banyak berseliweran di TikTok dan juga media sosial lainnya seperti Instagram dan YouTube.

Fyi, hingga saat ini video bertagar #Prindapan sudah mengumpulkan lebih dari 1,3 milyar penayangan di TikTok, disusul tagar bernada serupa seperti #Vrindavan dengan 521 juta penayangan, dan #Prindavan dengan 384 juta penayangan. Konten-konten ini seolah menjelma sebagai budaya internet di kalangan netizen Indonesia berikut atribut istilah yang muncul seperti “kelakuan warga Prindapan”, “Prindapan meresahkan”, “Prindapan memang beda”, hingga istilah yang secara khusus muncul di konten jajanan kaki lima seperti “4 sehat, 5 sekarat”.

Serial animasi Little Krishna dan kemunculan istilah prindapan

Pada suatu masa, ribuan tahun silam, hiduplah seorang anak yang dipercaya merupakan inkarnasi dari Dewa Wisnu. Bersama saudaranya, Balaram, juga kawan-kawan yang lain, anak itu menghabiskan masa kecil menggembala sapi dalam rangka membatu keluarganya. Situasi penuh petualangan dan aksi dalam rangka melawan berbagai iblis utusan Raja Kamsa juga mewarnai hari-harinya. Anak tersebut digambarkan sebagai sosok yang menyenangkan, cerdas, dan yah… semacam sedikit nakal banyak akal lah.

Itulah gambaran premis yang saya tangkap dari serial animasi asal India bertajuk Little Krishna. Serial animasi ini pernah mengudara di ANTV, sebuah kanal televisi swasta yang lekat dengan citra tayangan yang kebanyakan bernuansa India-Indiaan.

Sebagai bocah yang tumbuh di era 2010-an, saya begitu akrab dengan Little Krishna. Sebagian waktu sore saya dulunya dihabiskan untuk menonton serial ini. Memori akan sosok anak yang memiliki warna kulit berbeda, mahkota bulu merak, lantunan seruling nan syahdu, dan tokoh Krishna yang suaranya didubbing oleh Ony Syahrial melekat dalam ingatan. Dan tentu saja meninggalkan kesan tersendiri pada saya hingga sekarang.

Sayangnya, serial animasi itu berhenti mengudara beberapa tahun lalu. Meski begitu, setidaknya para penonton seperti saya diberi kesempatan untuk mengenal masa kecil Krishna termasuk tempat dia dibesarkan, Desa Vrindavan.

Sama seperti latar tempat dari tayangan yang kita konsumsi seperti Konoha pada anime Naruto atau Wakanda pada film Black Panther, Vrindavan dalam Little Krishna atau yang sering kali muncul dengan istilan Prindapan ini kemudian berkembang jadi salah satu bahasa slang yang kerap digunakan oleh netizen Indonesia.

Ketika kita pengin mengoceh dengan konteks negatif tentang apa pun yang terjadi di Indonesia pada laman media sosial, netizen jadi terbiasa menggunakan istilah “Wakanda” dan “Konoha”, dan tentu saja saya berasumsi penggunaan istilah tersebut bukan tanpa sebab. Tentu saja untuk menghindari isu ketersinggungan dan ancaman UU ITE dari pihak yang nggak berkenan.

Alasan serupa mungkin berlaku dalam konteks penggunaan istilan “Prindapan” untuk menggambarkan situasi di India. Bisa jadi memang netizen Indonesia selalu bisa menemukan istilah untuk subjek yang ingin dibicarakan dengan narasi yang nggak mengenakkan. Mungkin kita sudah familier dengan istilah “warga Konoha” atau “polisi Wakanda” dan seketika paham konteks dari isi pembicaraan yang melibatkan istilah tersebut.

Fyi, Vrindavan adalah tempat yang benar-benar ada, beda dengan Konoha atau Wakanda yang merupakan tempat fiksi. Dengan sedikit konsultasi ke Google, saya mendapat informasi bahwa Vrindavan merupakan sebuah kota bersejarah yang berada di Distrik Mathura, Uttar Pradesh, India. Usut punya usut, tempat ini juga punya posisi penting bagi umat Hindu, khususnya di India. Vrindavan setidaknya memiliki sekitar 5.500 kuil yang didedikasikan untuk Dewa Krishna dan permaisuri Radha.

Rasanya nggak berlebihan jika menilai Vrindavan sebagai tempat yang penting bagi umat Hindu. Dan nggak berlebihan pula untuk menilai bahwa tempat ini memiliki konteks yang sama dengan Mekkah sebagai kota penting bagi umat Islam atau Betlehem bagi umat kristiani. Kebanyakan netizen Indonesia tentu saja akan berpikir dua kali atau bahkan ribuan kali jika ingin menggunakan kata Mekkah atau Betlehem sebagai istilah untuk bahan konten, bahkan bahan bercandaan. Dengan fakta demikian dan narasi yang diberikan netizen dan kreator konten mengenai Vrindavan membuat saya nggak sampai hati untuk ikut-ikutan meramaikan

Tentang kreator konten, respons netizen, dan normalisasi penggunaan istilah Prindapan

Sebagai orang Indonesia, rasanya menyenangkan bagi saya bisa mengetahui kehidupan WNI di negara lain. Saat ini ada beberapa kreator konten Indonesia yang memiliki kesempatan untuk tinggal di India, baik dalam rangka menimba ilmu atau bekerja. Sebut saja nama-nama seperti Zhefailmi Channel dan Mohd. Agoes Aufiya yang memiliki ratusan ribu hingga jutaan pemirsa di laman YouTube.

Dalam konten yang mereka buat, setidaknya kita diberi kesempatan untuk melihat sisi lain dari realitas India yang nggak ditampilkan di Bollywood. Mulai dari situasi di tempat kuliah dan kerja hingga hiruk-pikuk kehidupan masyarakat India pada umumnya, termasuk suasana jajanan pinggir jalan dan potret kalangan kasta terendah India yang dikenal dengan kasta Dalit.

Para kreator kontent ini tak lupa mengedukasi penonton supaya bisa menyikapi perbedaan situasi yang terjadi di Indonesia dan India dengan baik sesuai pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Tentu saja mereka bukan kreator konten yang bikin saya resah dalam tulisan ini.

Berbeda dengan kreator konten Indonesia yang benar-benar menyuguhkan hiburan yang sarat akan edukasi, ada segelintir kreator konten yang sama-sama menyuguhkan situasi di India, namun saya kesulitan menemukan letak hiburannya dan malah cenderung menghina. Contohnya beragam video yang menampilkan jajanan pinggir jalan yang kemungkinan besar bukan produksi mereka sendiri lalu diberi bumbu format reaksi atau dubbing khas acara 90-an bertajuk Spontan. Sayangnya, banyak orang yang menikmati konten demikian, sehingga muncul genre konten “Prindapan” seperti yang saya jelaskan di awal. Konten “Prindapan” kemudian dinormalisasi oleh banyak orang.

Kita nggak bisa mengesampingkan bahwa Vrindavan merupakan tempat yang beneran ada dan penting bagi masyarakat India dan umat Hindu. Terlebih, sosok Krishna yang muncul dalam serial animasi Little Krishna bukan hanya secara khusus penting bagi umat Hindu, tapi juga secara umum bagi masyarakat Indonesia dari aspek sosial dan budaya.

Siapa yang nggak familier dengan wiracarita Mahabarata yang termasyhur itu? Mahabarata telah dikisahkan antargenerasi dengan kearifan lokal Indonesia melalui pertunjukan tradisional wayang atau novel grafis karya Raden Ahmad Kosasih, tentang bagaimana Krisna menjadi pahlawan bersama Arjuna dalam lakon Barathayuda, perang besar Pandawa melawan pasukan Kurawa di Padang Kurusetra. Jika kita berkunjung ke Pulau Dewata Bali, bahkan kita bisa menemukan satu toko oleh-oleh besar dengan nama beliau.

Kemunculan konten Prindapan di media sosial menurut saya sudah keterlaluan dan overused di internet. Tak jarang saya mendapat respons dari netizen lain yang membawa tameng “cuma bercanda” dan bahkan malah menuding saja sebagai SJW Prindapan.

Saya yakin, kebanyakan dari kita mungkin akan merasa sebal saat ada orang asing menyinggung hal yang terjadi di Indonesia tanpa alasan, tanpa ada pembenaran. Murni cuma bercandaan. Kita sudah pasti sebal jika sesuatu yang biasa untuk kita, dilihat orang lain hanya dari permukaan kemudian dibicarakan dengan konotasi yang merendahkan. Kebanyakan dari kita bahkan mungkin kesal dengan konten media sosial warga negara asing yang berlibur ke Pulau Dewata, kemudian ngoceh soal “Bali Belly”.

Kehadiran konten Prindapan rasanya kontradiktif dengan nilai yang dipegang oleh masyarakat Indonesia, yaitu adat ketimuran yang sarat akan narasi tenggang rasa dan toleransi. Mungkin ini terdengar klise, tapi perlu edukasi dari lembaga atau institusi berwenang yang komprehensif terkait norma atau nilai-nilai berkaitan aktivitas digital netizen Indonesia di internet. Apalagi mengingat pada 2020 lalu, netizen Indonesia mendapat reputasi sebagai netizen paling nggak sopan se-Asia Tenggara berdasarkan laporan berjudul Digital Civility Index yang dirilis oleh Microsoft yang CEO-nya merupakan warga negara Amerika Serikat keturunan India.

Penulis: Lucky Reza Andrian
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Hal yang Perlu Kamu Antisipasi jika Hendak Jalan-jalan ke India biar Nggak Kaget.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version