Tentu saja saya mengamini bahwa menjadi konten kreator itu adalah pekerjaan yang berat, kadang juga tragis. Di satu sisi mereka bergelut dengan kreativitas, sisi lainnya mereka juga bertautan dengan moralitas. Tentu saja, hal yang bertali dengan moral, itu sulit. Pilihannya, menjadi konten kreator yang baik atau konten kreator yang bikin konten challenge menjadi monyet selama 10 detik dengan kompensasi 300 ribu.
Iya—saya ulang—pilihannya hanya dua: jadi konten kreator cerdas atau konten kreator challenge yang nggak bermoral. Blio nggak goblok kok, lha wong bisa dikatakan goblok saja belum.
Si konten kreator ini memakai kertas bertuliskan, “Orang pertama yang bisa peragain monyet selama 10 detik dapet 300 ribu.” Ada? Tentu saja. Bahkan orang itu menerima tantangan selanjutnya, yakni jadi kambing.
Ini bukan perihal narasi jumlah uang, bukan pula “korban” sudi-sudi saja, tetapi ini perihal bagaimana manusia menggathukkan impuls-impuls otak yang diberkahi oleh Tuhan. Bahkan, jauh sebelum itu, Mbah Descartes pernah nembung, aku berpikir maka aku ada. Tampaknya, bagi oknum konten kreator, narasi itu dipelintir menjadi aku pekok maka jadi cuan.
Komentar di TikTok tentu saja bergerak dengan liar. Katanya, orang di dalam konten ini rela gadaikan harga diri hanya untuk 300 ribu. Buos, 300 ribu itu bukan “hanya”. Di zaman di mana dana bansos di makan oleh Juliary Batubara, 300 ribu tentu saja amat bermakna. Tapi, bukan ini masalah utamanya.
Si oknum ini disamakan perilakunya nggak jauh beda dengan seekor monyet. Hewan yang dijadikan dalih dalam konten challenge-nya. Jelas, sebagai sesama Homo Sapiens, tentu saja hati saya mencelus. Maka, dalam tulisan ini, saya akan woro-woro bahwa si oknum konten kreator ini sama sekali nggak pantas disamakan dengan monyet, apa pun alasannya. Apa pun jenis monyetnya. Kenapa? Begini.
Pertama, beda perilaku antara monyet dan oknum konten kreator tersebut.
Kolom komentar banyak yang berkata, “Kalau ngasih mah ngasih aja, don’t play play bosquuu.” Tentu komentar ini dibalas oleh empunya konten. Si oknum itu berkata, “Take note, ini video challenge, bukan berbagi, bukan maksa.”
Itulah perilaku manusia. Seakan mengamini apa yang dikatakan oleh Hobbes dalam De Vice bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Jangankan berbuat jahat, menyuruh jadi monyet pun ia segan. Maka, bagaimana perilaku seekor monyet? Saya punya penjelasan yang—sepertinya—menarik.
Frans de Waal dalam tulisannya yang berjudul “Rasa Keadilan Monyet” berkata bahwa monyet memiliki rasa-perasa. Bagaimana monyet satu dengan yang lain harus berperilaku atau jangan berperilaku pada egosentris. Mereka mengutamakan kawanan di saat terjepit ataupun saat senang.
Monyet berbagi demi kawanan mereka, sedang oknum konten kreator ini berbagi (atau challenge, ya, kata blio?) demi konten. Maka, dari statemen jawaban si oknum di kolom komentar dan bagaimana tindak-tanduk monyet ketika berbagi kepada sesama: tentu saja oknum konten kreator dan Monyet itu berbeda.
Kedua, sopan santun kepada “sesamanya”.
Seekor monyet kapusin, dalam video yang diambil oleh Gwen Bragg, mengembalikan barang-barang milik peneliti dengan menggunakan tangan kanan, sedang tangan kiri mengelus si peneliti tersebut. Tentu saja ini dalam studi perihal Pertukaran.
“Ini mah si oknum lebih monyet ketimbang monyet itu sendiri!” Hah? Tunggu dulu, si oknum berbagi 300 ribu, meng-challenge-kan orang lain untuk berperilaku menjadi monyet selama 10 detik terlebih dahulu. Sedangkan seekor monyet kapusin, monyet yang ukuran rata-rata lebih kecil dari monyet pada umumnya, lebih paham sopan santun dalam hal berbagi.
Apakah sopan santun si oknum itu bisa disamakan dengan “sopan santun” seekor monyet—bahkan jenis monyet kapusin—sekalipun. Lagi-lagi, oknum konten kreator dan Monyet itu berbeda.
Ketiga, nalar, ratio, atau apa pun itu, dibanding seekor monyet yang lebih ke insting
Bacalah komentar di kolom konten tersebut, maka hatimu bakal nyut-nyutan. Si oknum bilang bahwa “Karena memang gua mau challenge, mau ada fun dan serunya.” Lantas ia kembali berkomentar, “Banyak yang marah yah. Sedangkan disuruh joget cuci-cuci jemur-jemur 5 jam di TV, dibayar 50rb + nasi bungkus, gaada yang complain. NICE!”
Ada yang membalas dan bikin saya ngakak kepingkel. Begini, “Ada acara TV yang buruk kok malah lu tiru, Bang?”……..
Sedang nalar seekor monyet adalah fokus kepada kawanan. Pola penalaran ini dirasa lebih rapi di mana mereka nggak melihat tingkah polah kawanan hewan lain dan mengadopsi nilai-nilai buruk tersebut—terlepas hewan melekat sistem nilai atau nggak lho, yha.
Nggak ada kan monyet di National Geographic yang curhat kepada reporternya, “Banyak yang marah yah saya makan primata lain? Sedangkan singa makan kijang gaada yang complain. NICE!”
Lalu ada yang berkomentar, “Ada nalar hewan lain yang buruk kok malah lu tiru, Bang?”
Nalar monyet 1-0 oknum konten kreator. Maka, oknum konten kreator dan Monyet itu berbeda.
Keempat, cara menyikapi bencana.
Lantaran habitatnya menipis, banyak monyet yang turun ke pemukiman warga. Hal ini karena pembalakan liar yang sering terjadi di hutan hujan Indonesia. Menyikapi bencana, monyet-monyet ini kerja sama mempertahankan eksistensi kelompok dan koloninya.
Monyet saling bantu dan bekerja sama hadapi bencana, sedang si oknum ketika pandemi seperti ini justru mengadakan challenge jadi monyet 10 detik. Ini merupakan pergerakan visioner umat manusia dalam membedakan dirinya dengan perilaku monyet. Tepuk tangan saya persilakan.
Atau, bisa saja fenomena ini ada campur tangan negara yang gagal menangani pandemi. Kalau saja negara ini nggak hanya main istilah—dari PSBB hingga PPKM—doang, nggak bakalan ada yang mau ngambil challenge jadi monyet berhadiah 300 ribu.
Namun, logika ini agak sedikit meleset lantaran monyet saja menolong sesamanya, masa iya manusia memberi dengan cara yang lebih hewan ketimbang hewan itu sendiri? Lagi-lagi, ini merupakan cara.
Ketika negara nggak bisa kontrol kebutuhan rakyat, ada orang yang memberikan uang di jalanan sudah pasti dicap seperti malaikat walau cara memberinya itu bejat. Pemakluman tentu saja ada dan akan terus ada karena di suasana distopia, nalar pincang pun dianggap sebagai jalan yang lapang. Pilihan satu-satunya.
Dea Anugrah dalam “Bagaimana Para Leluhur Kita Menguasai Dunia”, menyebutkan bahwa alam raya hanya mengenal satu urusan: berubah.
Bisa saja, tingkah polah oknum konten kreator ini menunjukan bahwa kita—sebagai umat manusia—sedang mengalami perubahan besar. Konten si oknum dan jawabannya yang angkuh di kolom komentar adalah sebuah pesan perubahan itu.
Kita bisa saja menjadi buas dalam menyikapi keadaan, bisa pula menjadi bodoh dalam mengambil keputusan. Dan juga apa yang dilakukan si konten kreator tersebut dalam kondisi pandemi seperti ini, menegaskan bahwa manusia bisa jadi nggak lebih hormat dan bermartabat bahkan dari seekor monyet itu sendiri.
Semangat, Mas oknum! Jangan kapok bikin konten. Tapi ya sekali-kali kalau ngonten simpatinya dipakai dulu, ya.
BACA JUGA Katanya Konten TikTok Itu Banyak yang Cringe: Masak, sih? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.