Saya, yang berasal dari Minang, pernah masuk pesantren di Sukabumi. Salah satu kegiatan favorit saya adalah duduk sore di tukang laundry, yang letaknya masih dalam pagar pesantren. Duduk di sana, saya bisa menyaksikan langsung permainan gitar Mang Jajang, yang bisa disandingkan dengan Sungha Jung, atau sekedar mendengar lagu plesetan yang dia buat sendiri. Atau kalau lagi apes, cuma kebagian ngobrol ngalor-ngidul dengan beliau.
Ada satu momen yang membuat saya terpukau. Di suatu sore, saya memberitahu Mang Jajang bahwa saya orang Padang. Mendengar itu, Mang Jajang langsung menggitarkan lagu Minang “Ayam Den Lapeh”.
Makna lagu Minang yang tak saya duga sebelumnya
“Ente tahu ayam yang dimaksud dalam lagu Minang tersebut?” Tanyanya.
Saya yang saat itu masih di rentang usia SMP tentu menanggapi dengan polos, “Ayam ya ayam. Ayam pada umumnya.”
“Salah, ayam yang dimaksud adalah anaknya sendiri.”
Tentu saya terkejut. Tapi, beliau akhirnya menjelaskan bahwa memelihara ayam sama halnya memelihara anak. Pertama, karena orang Minang zaman dahulu memiliki banyak anak bahkan lebih dari sepuluh. Kedua, sama-sama diperhatikan makanan dan kesehatannya tapi sering lupa nama saking banyaknya. Ketiga, karena anak dan ayam memiliki pola asuh yang mirip; ada saatnya dikurung dan ada saatnya diumbar. Keempat, karena sama-sama bisa dimakan; ayam bisa dimakan dagingnya, anak bisa dimakan hasil jerih payahnya.
Tradisi merantau
Merantau adalah tradisi penting bagi bujang-bujang Minang untuk membuktikan kelelakiannya. Anak yang merantau, bagi orang Minang, diibaratkan sebagai ayam yang lepas dari umbaran; lebih sering pulang sendiri tanpa dicari. Tapi, untuk beberapa kasus, ada ayam-ayam yang tersesat di rantau dan tak kembali lagi. Entah karena dikurung di perantauan, entah karena kawin dan beranak-pinak di lain pulau, atau sekadar malas pulang kampung.
Konon, para ninik-mamak mencari cara bagaimana supaya bujang-bujang yang hilang di rantau ini bisa terpelihara kerinduannya pada kampung halaman. Salah satu cara yang ditempuh adalah lewat seni, khususnya musik. Nah, produk musik hasil pemikiran ninik mamak adalah lagu Minang Ayam Den Lapeh ini yang sampai sekarang pun masih diperdebatkan siapa penulis aslinya.
“Kalau nggak percaya, coba ente sebut satu lagu Minang yang paling tua dari Padang!”
Spontan saya menjawab, “Kampuang nan Jauah di Mato.”
“Itu dia. Coba yang lain.”
“Pulanglah Uda.”
“Itu juga.”
Pendidikan moral
Mang Jajang menjelaskan bahwa tak hanya dari musik, bahkan pendidikan moral soal merantau juga diselipkan lewat dongeng. Malin Kundang tidak durhaka karena lupa diri, tapi durhaka karena lupa pada keberadaan ibunya di kampung.
Kenapa dia jadi batu? Karena dia mengatakan, “Kau bukan ibuku. Ibuku sudah meninggal.” Saking lamanya di rantau, sampai dia lupa seperti apa wajah ibunya dan mengambil kesimpulan sendiri bahwa ibunya sudah meninggal.
Setelah puas memaparkan rahasia di balik Malin Kundang, beliau mengarahkan percakapan kembali ke pembahasan tentang lagu Minang.
“Hampir semua lagu Padang itu nyuruh-nyuruh pulang. Coba sebutkan satu lagu Padang yang nggak nyuruh pulang!”
Mungkin karena tersihir oleh teorinya sampai otak saya beku saat disuruh cari lagu Minang yang tak mengandung sugesti mudik. Apa ya kira-kira?
“Kutang Barendo, mungkin,” kata saya ragu-ragu.
Setelah itu kami berdua tertawa lepas sampai perut ini sakit rasanya. Demikianlah konspirasi di balik lagu Minang yang mungkin akrab di telinga kamu.
Penulis: Akhridhal Syafaad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rupa-rupa Kecewa Penikmat Sate Padang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.