Konfrontasi Giring vs Pasha Sudah Ada Jauh Sebelum Mereka Gabung Partai Politik

Perdebatan Giring Pasha dari Literatur Sejarah

Konfrontasi Giring vs Pasha Sudah Ada Jauh Sebelum Mereka Gabung Partai Politik terminal mojok.co

Giring dan Pasha yang sebelumnya sama-sama berkarier di dunia musik, kini telah bergabung di partai politik dan adu argumen soal banjir Jakarta. Secihuy apakah argumen keduanya yang punya latar belakang sama?

Sejak lama saya menantikan duet maut Nidji dan Ungu. Suara khas Giring yang berpadu dengan suara syahdu Pasha akan menjadi kolaborasi dahsyat yang mengobrak-abrik jagat musik tanah air. Sayangnya, itu nggak pernah kejadian sampai keduanya mulai nggak aktif di dunia musik.

Ealah, ndilalah, kok, doa saya dikabulkan beberapa waktu ini. Mereka berdua melakukan kolaborasi maut yang lebih menjurus ke arah konfrontasi cangkem perihal penanganan banjir di DKI Jakarta. Keduanya memang banting setir menjadi politisi setelah nggak lagi bermusik. Yang satu sudah menjadi Wakil Walikota, yang satunya lebih nggak maen-maen dan mendeklarasikan dirinya maju Pilpres periode mendatang. Gwelaaa, mantan artis top papan atas dan kini menjadi politisi, beradu argumen soal penanganan banjir di Ibu Kota.

Giring, sebagai Plt Ketum PSSI, partai politik yang anak muda banget mengkritisi Anies yang katanya nggak pernah becus menangani banjir. Giring mengklaim proyek naturalisasi sungai hanyalah omong kosong sementara normalisasi sudah dihilangkan. Anies malah sibuk ngecat genteng warga alih-alih kerja nyata ngurusin banjir.

Tapi ya gimana, wong hujan nggak bisa dikendalikan, masa mau nyalahin Anies? Mbok pikir Anies itu Avatar yang bisa mengendalikan empat elemen dan menahan agar air nggak jatuh ke Jakarta? Curah hujan tinggi itu di luar kendali Anies. Yang ada di kendali Anies sebatas mengantisipasi, ngeruk sungai, benerin pompa-pompa, atau membersihkan saluran air. Sayangnya bagi Giring, Anies nggak melakukan itu semua. Kalau boleh menyederhanakan ucapan Giring, sih, selama Anies jadi Gubernur DKI, Jakarta nggak banjir saat musim hujan adalah mitos belaka.

Nggak mau kalah pandangan yang sarat unsur politik, Sigit Purnomo alias Pasha ikutan komen, dong. Doi yang menjabat sebagai Ketua DPP PAN membalas dengan narasi ngalor ngidul khas retorika politik. Nggak kayak Giring yang lugas dan sat set langsung ke inti, Pasha justru muter-muter Monas dulu sambil pakai panggilan “bro” berkali-kali sampai saya pegel bacanya. Level pegelnya itu hanya bisa dikalahkan sama gaya ngomong Pamungkas pas klarifikasi penjiplakan ilustrasi album Solipsism 2.0.

Pasha membahas mengurus Jakarta itu nggak gampang. Terus muter ke perihal yakin Pemda Jakarta sudah punya rencana-rancana? Lantas muter nyindir Giring yang belum pernah mimpin daerah sama sekali. Harusnya doi bisa aja balas dengan kalimat, “Anies nggak salah. Ngurus Jakarta itu nggak gampang. Jangan hanya nyinyir, emang elo pernah ngurus daerah?” Tapi, kalau sesingkat itu ya kurang mencerminkan sosok politisi yang ciamik, dong. Makanya doi belibet mrono-mrene sambil sok gawl pakai “bro-bro” segala.

Kolaborasi cangkem dua politisi muda nan lucu ini sungguh hiburan baru bagi masyarakat Indonesia. Saat konflik politik didominasi warna merah dan biru beberapa waktu terakhir, akhirnya ada dua partai politik lain yang gontok-gontokan meski warnanya juga tetep merah dan biru. Pun konflik antara Pasha dan Giring saya rasa adalah fenomena gunung es dan sudah terjadi jauh lebih lama saat mereka masih berebut panggung di konser-konser.

Bisa saja Giring dan Pasha memang sudah saling paitan sengit karena grup band mereka saling susul urusan popularitas. Misal pas Giring manggung, Pasha bakal ngampet ngguyu sambil mbatin, “Aksi panggung kok malah senam.” Tentu itu berkaitan dengan goyangan tangan Giring yang ajaib pas nyanyi itu. Di sisi lain misal Giring liat Pasha nyanyi, doi bakal kemekelen liatin Pasha yang sering pakai gaya sakit maag dan megangin perut itu.

Lain lagi urusan lagu. Misal sewaktu Nidji ngeluarin lagu “Bila Aku Jatuh Cinta”, terus Pasha ngomyang, “Lagu apaan, nih? Pake fals segala lagi.” Tepatnya, nyinggung pas Giring nyanyiin bagian, “Melewati dinginnya mimpi,” yang emang rada gimana gitu didengerinnya.

Pun pas Ungu ngeluarin lagu baru, Giring setidaknya pasti mbatin, “Lagu kok mirip semua dari dulu sampe sekarang.”

Makanya, semisal Nidji kudu tampil bareng Ungu di acara Dahsyat yang sudah kukutan itu, meski di layar kaca tampak baik-baik saja, saya curiga Giring dan Pasha diem-dieman pas di backstage.

Misal pas pembagian jatah snack Pasha dapet Aqua gelasan, Giring pasti sebisa mungkin nggak mau dapet merek yang sama. Pasti doi minta ganti pake merk Vit atau malah Pelangi yang ukuran cupnya begitu kontet itu. Kalau misal Pasha dapet ayam dari Olvie Chicken, Giring pasti minta merek lain kayak Yogya Chicken, dong. Pokoknya mereknya kudu beda, sementara wujudnya harus sama-sama ayam.

Oleh karena itu, pas Pasha menclok ke dunia politik, Giring merasa tertantang dan kudu ngikut juga, tapi kudu beda merek. Maksudnya beda partai politik. Jadi, kalau Pasha gabung ke PAN, Giring memilih gabung ke PSI yang lagi hits-hitsnya: sebuah tempat ngumpulnya mas-mas dan mbak-mbak open minded dan peduli nasib bangsa.

Nah, perseteruan mereka memuncak pas Giring sok-sokan mengkritisi Anies Baswedan. Pasha yang merasa lebih senior entah di bidang musik ataupun politik, wajib nimbrung dan mengkritik kritikan itu, dong. Meski doi membawa narasi lama semacam, “Nyacat film, emang bisa bikin film?” tetapi saya sebagai penggemar Ungu garis keras kudu mendukung blio.

Giring ini nggak mudeng apa-apa, kok, sok mengkritik Pak Anies? Lihat dong Pasha, doi pernah mimpin daerah dan pasti tau betapa ribet ngurusin suatu wilayah. Makanya doi sadar gimana Anies kelimpungan ngadepin banjir yang selalu datang pas musim ujan. Netizen mah bisanya cuma nyinyir. Coba kalau mereka di posisi Anies, paling ya cuma plonga-plongo dan nyalahin hujan.

Bagi Pasha, Giring hanya asal bacot tanpa kompetensi. Giring nggak bisa memosisikan dirinya sebagai juniornya Pasha, entah di dunia musik maupun politik. Wong Pasha yang senior aja nggak mengkritik Anies, kok Giring yang hanya anak baru berani-beraninya ngomyang dan sok peduli Jakarta?

Mbok contoh Pasha, dong. Dia itu sudah cocok menjadi politisi papan atas. Tahu mana yang kudu dibela dan mana yang kudu dijauhi. Anies kan berpotensi menjadi kandidat kuat Pilpres, makanya Pasha mati-matian belain. Hal sefundamental ini yang nggak dimengerti Giring. Mainan politik bukannya memihak yang kuat, malah sok-sokan jadi ketua umum, dan pekok pengin nyapres. Mbok sadar diri, tulung lah, yo.

Sumber Gambar: YouTube WikiMini

BACA JUGA 4 Langkah yang Bisa Ditempuh Giring agar Mulus Menjadi Capres dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version