Mafalda adalah komik strip yang aslinya diterbitkan di Argentina untuk majalah dan koran pada masanya. Cerita yang diangkat (katanya) memiliki perspektif dari para bocah yang polos. Saking polosnya hingga bisa mengungkapkan pikiran dengan lebih jujur.
Pandangan kritis terhadap fenomena sosial yang dimuat dalam komik ini sepertinya akan terlalu berat kalau harus dibaca oleh anak-anak. Namun demikian, anak-anak maupun orang dewasa yang membaca pastinya akan terhibur, asal mudeng apa yang sedang dibicarakan dalam ceritanya.
“Pada masa tokoh Mafalda hadir, kebijakan ekonomi Argentina dinilai hanya menguntungkan segelintir orang dan modal asing. Kelas menengah memang meningkat hingga 40 persen, namun pengangguran meroket dan kesenjangan ekonomi menajam.”
Itulah secuil pengantar redaksi dalam Mafalda dari sebegitu panjang pengantar yang diberikan. Tentu bisa dilihat betapa beratnya ini komik ini. Komik yang lahir dari kritik terhadap negara atas ketidakmampuan dalam mensejahterakan rakyat.
Dari kutipan tersebut, seolah komik ini adalah komik aktual yang kontekstual pada kondisi kekinian. Namun, pada kenyataannya, komik ini pertama diterbitkan pada 1969. Bukankah merupakan hal yang ironis? Setelah 52 tahun kondisi yang diceritakan masih aktual di masa kini.
Kondisi aktual macam apa sih yang bisa kita lihat dari komik yang udah terbit dalam lebih dari 30 bahasa ini?
Dalam salah satu strip komik ini, menyoroti ketidakadilan ketika Mafalda dan temannya Susianita sedang main ibu-ibuan. Ternyata di Argentina anak kecil juga main ibu-ibuan. Terdapat dialog singkat yang cukup bikin garuk-garuk kepala meski nggak gatal.
Ketika Susanita (yang pura-pura jadi ibu-ibu) bertanya gosip terkini, Mafalda memberi jawaban yang luar biasa. Katanya, “Ketidakadilan masih tetep in. Polanya juga masih tetep vertikal! Yah gitu,deh!” Ibu-ibu macam apa yang ngegosip-nya macam begini coba?
Andai orang-orang di Indonesia ngerumpi dengan tema macam itu, pasti akan lebih seru. Gerakan sosial untuk memberantas ketidakadilan akan masif dan meningkat. Tapi, tentu saja akan berbahaya bagi yang digosipin.
Kayaknya sih nggak ngaruh kalau digosipin. Namanya ndableg, jangankan cuma digosipin atau disindir, dikasih demo dan dikalahkan di meja hijau aja dicuekin. Terkadang, (((kelengoban))) ultimate emang nggak ada batasnya.
Komik strip ini juga mengemukakan kritik terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Di mana perempuan lebih cenderung melakukan pekerjaan domestik. Kayaknya sih nggak jauh juga dengan kondisi saat ini kali ya.
Dalam sebuah renungannya yang panjang, Mafalda berpikir, kenapa perempuan cenderung melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Perempuan yang dilihatnya setiap hari hanya melakukan pekerjaan bersih-bersih. Dan dia menganggap itu bukan “hidup” karena terlalu monoton.
Setelah berpikir dan merenung sampai beberapa lembar habis, akhirnya dia menyimpulkan pikirannya. Kehidupan wanita kala itu monoton karena mereka lebih sering “memegang kain pel” dibandingkan dengan “memegang peranan penting” dalam masyarakat dan negara.
Diskriminasi sistemik terhadap perempuan zaman ini, udah dikritik 52 tahun yang lalu oleh komik anak-anak. Dan setelah ganti milenium, ternyata kenyataan hidup masih begitu-begitu juga. Bukankah ini sedikit memalukan. Nggak berkembang banget ya dunia ini?
Kritik pada komik strip Mafalda emang terkesan difokuskan pada penguasa saat itu. Terbitnya komik strip Mafalda merupakan sebuah prestasi tersendiri media saat itu. Di mana sensor ketat rezim otoriter bisa menghancurkan media, komik macam ini bisa lolos dan terbit.
Buat saya, komik ini merepresentasikan perjuangan akan keadilan sosial dan kemanusiaan. Tema sehari-hari yang diangkat membuatnya mudah dipahami pembaca. Namun, kalau mau dibaca anak-anak, ada baiknya dengan bimbingan orang tua.
Beneran deh, komik ini bisa mendekonstruksi imajinasi anak kecil tenang dunia. Waktu kecil, saya beranggapan kalau PBB (United Nations) adalah lembaga yang sangat hebat. Namun di komik ini, cuma dibilang sebagai lembaga yang punya anggota simpatik tidak berguna.
Sebagai komik jadul ini, isi yang disajikan memberikan pandangan yang mutakhir pada aspek kehidupan sosial. Hal ini membuktikan Joaquin Salvador atau yang lebih populer dengan nama Quino bukan hanya pintar menggambar, tetapi juga cerdas dalam memberikan gagasan pada komiknya.
Selain itu, tentu saja orangnya pasti sangat berani. Kalau saja tahun 1969 di Indonesia ada yang bikin komik strip macam ini. Bisa langsung dikirim ke penjara. Lebih parah lagi, bisa dikarungin terus hilang tanpa jejak.
Bentar, ini kok tiba-tiba WhatsApp saya minta verifikasi ya…
Sumber gambar: YouTube Génériques de dessins animés. Sila cek channel-nya.