Komentar Ayah atas Tulisan Saya tentang Larangan Usaha Ternak Ayam

telur ayam usaha ternak ayam mojok

usaha ternak ayam mojok

Begini, saya kan habis menulis tentang saran agar tidak beternak ayam. Ternyata, tulisan itu jadi trending di Terminal Mojok dan di kolom komentar itu banyak yang mengemukakan pikiran dan pendapatnya. Di kolom komentar, ada yang menyuruh saya untuk bersyukur tentang hasil, ada yang bilang kalau saya malas, ada yang mengatakan kalau saya lebay, ada yang bilang kalau saya nggak mau bantu orang tua, ada yang memberi testimoni tentang nyamannya usaha ternak ayam, dan ada juga komentar yang agak menggigit.

Awalnya, saya kira tidak perlu direspons. Tapi, kok, rasanya ini bisa jadi konten tulisan. Maka dari itu, akhirnya saya tulis. Untuk bahan-bahan tulisannya sendiri, saya langsung tanya saja kepada Ayah, sebagai subjek utama pemelihara ayam sekaligus sebagai orang yang telah membesarkan saya. Sebelum itu, saya perlihatkan dulu tulisan tersebut dan lengkap dengan komentarnya. Saya kira awalnya Ayah bakal marah-marah seperti yang ada di komentar, soalnya, kan, katanya boomer ya begitu itu. Tapi ini berbeda.

Setelah saya tunjukkan, beliau bertanya, ini apa, tulisannya siapa, dan gimana ceritanya bisa ada komentar seperti itu. Saya jawab saja bahwa itu tulisan anakmu. Dan saya langsung tanya, memangnya salah ya kalau saya sebagai anak seorang yang punya usaha sampingan ternak ayam menulis itu? Ayah saya merespons, “Ya nggak apa-apa, Le. Bebas.” Lalu saya tanyakan lagi, apakah Ayah nggak marah kalau punya anak itu seperti yang dikatakan oleh warganet? Nggak mau bantu, malas, dst. Ayah saya santai menjawab, “Lha ngapain? Wong Ayah nggak mau nuntut kamu ikut bantu, kok.”

Lalu, ayah saya melanjutkan, “Ini Ayah buka usaha ternak ayam karena bosan dengan rutinitas yang gitu-gitu aja. Kemarin, kan, Ayah hanya di kantor dan ke sawah. Monoton, hidup Ayah jadi nggak asyik. Jujur, Le. Dari dulu Ayah memang suka memelihara hewan. Kambing pernah, ikan pernah, bebek pernah, dan ayam juga pernah. Malah dulu, Ayah sampai pelihara 1.000 ekor. Tanpa bantuan siapa pun. Kenapa bisa gitu? Karena memang Ayah senang dengan kegiatan ini.”

Setelah jawab itu saya hanya manggut-manggut sambil nyeruput kopi dan rokokan santai dengan Ayah. Beliau langsung bicara lagi, “Coba lihat Ayah sekarang. Lalu bandingkan dengan kondisi Ayah sebelum ternak ayam. Sakit-sakitan, kan? Dikit-dikit pusing, dikit-dikit sakit kepala. Tapi sekarang gimana? Sumringah, kan? Ini semua karena Ayah lakukan berdasarkan nilai kebahagiaan. Jadi, Ayah melaksanakannya tanpa beban dan tekanan. Masalah untung atau tidaknya, Ayah nggak peduli. Penting happy. Apalagi sampai menuntut kamu untuk bantu, mengembangkan, dan menjadi seperti yang di komentar itu. Itu bukan ayahmu. Dari dulu Ayah suka kerja sendiri. Kalau ada yang bantu ya syukur, kalau nggak ada ya nggak masalah. Gitu aja kok repot.”

Saya baru sadar, sejak saya SD-SMA Ayah sering menabuh genderang perang dengan saya, tapi sekarang ia jadi halus buanget. Mungkin karena saya kuliah dan jarang di rumah. Selain itu, saya juga kan anak tunggal. Makanya beliau nggak kayak dulu lagi. Sembari menikmati kue, kopi, dan makanan lainnya, Ayah melanjutkan, “Begini, Le. Ayah baru sadar, kalau tiap orang itu punya karakter, kecenderungan, potensi, minat, dan bakatnya masing-masing. Kalau Ayah baru mengerti sekarang ini tentang kesukaan Ayah dari dulu, yakni beternak. Nah, sama halnya dengan kamu, Le. Kalau kamu suka apa pun, itu yang kamu lanjutkan, kerjakan, dan jalankan. Misalnya kamu nggak terlalu suka ternak ayam, nggak apa-apa, bebas. Kalau kamu suka nulis-nulis, ya sudah itu yang didalami, ditekuni, dan pokoknya kerja keras saja. Jalan hidup Ayah sama kamu bisa saja berbeda. Masalah uang nggak usah khawatir, Insya Allah datang dengan sendirinya. Tenang saja.”

Saya kembali manggut-manggut dan langsung respons kalau kesukaan saya itu angin-anginan, jadi nggak tentu. Kadang sekarang suka A, besok suka B. Lalu seminggu kemudian tiba-tiba suka Z, dan minggu berikutnya bisa suka A lagi. Begitu seterusnya. Ayah saya jawab lagi, “Ya sudah, diikuti dulu saja. Kamu, kan, masih muda. Jalanmu masih panjang. Nikmati itu semua, nanti bakal ketemu mana yang benar-benar kamu suka dan yang kamu minati dan mana yang semu. Tenang aja, pokoknya jalan terus, jangan berhenti.” Saya langsung jawab saja, “Siap, Bos.”

Lalu Ayah saya nambahi lagi yang bijak-bijak, “Begini, Le. Respons di komentar itu, kan, ada yang baik ada yang nggak. Kamu itu, selama ini kan cari ilmu. Nah, ilmu itu nggak bakal ada gunanya kalau tidak memperluas jiwamu. Kalau jiwamu luas, kamu bisa berlaku layaknya samudra yang menampung mutiara sekaligus menampung sampah-sampah. Lalu, kepandaianmu itu juga kurang berguna kalau tidak memperbesar kepribadianmu sehingga kamu sanggup memahami orang lain. Jangan mau bertindak sempit, cupet, dan cekak. Itu nggak enak, lama-lama bisa hancur sendiri. Harus luas yo, Le? Anggap saja mereka yang marah-marah itu, mungkin di rumahnya nggak asyik seperti suasana di sini, pendapatannya nggak sesuai dengan kerja kerasnya, dan mungkin juga kalau yang bapak-bapak itu lagi nggak diberi ‘jatah’ oleh istrinya. Ambil sudut pandang yang lucu-lucu, yang asyik. Biar ringan hidupmu.”

Setelah ayah saya bilang yang bapak-bapak nggak diberi jatah itu, kami berdua tertawa sembari menikmati sisa-sisa kopi, makanan, rokok, dan komentar-komentar “lucu” lainnya. Setelah itu ayah saya tanya, “Itu kamu nulis-nulis gimana caranya? Itu pekerjaan atau apa?” Karena tak ingin ribet jelasin pekerjaan ini, saya jawab singkat saja, “Oh, anu. Kalau yang tak kerjakan ini, anggap aja iseng-iseng dapat duit.” Ayah saya merespons lagi, “Loh, apa iya kalau hanya iseng-iseng bisa dapat duit?” Saya jawab lagi, “Ya, ini buktinya. Dapet, walaupun sedikit. Tapi lumayan lah buat tambahan biaya jajan.” Percakapan diakhiri dengan perasaan sumringah dan bahagia. Lalu kami kembali ke rutinitas masing-masing. Saya menulis ini, dan Ayah lanjut nonton video cara beternak ayam yang efektif dan efisien dengan metode kiwari. Mungkin juga, sekaligus dibarengi perasaan agak mangkel karena ada yang mengusik anak kesayangannya ini. Tapi sebelum balik ke rutinitasnya, dengan lantang kepada Ayah, “Yah, mungkin inilah jalan ninjaku!”

KISAH ayam-ayamnya ayah penulis bermula dari ini, berlanjut menjadi ini, ini, dan yang terakhir serta banyak dikomentari itu adalah ini.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version