KKN Literasi Kerjanya Lebih Nyata Ketimbang KKN di Desa-Desa

KKN literasi

KKN Literasi Kerjanya Lebih Nyata Ketimbang KKN di Desa-Desa

Mungkin beberapa orang akan menganggap saya sok idealis—meski barangakali benar demikian—tapi pada kenyataannya program KKN yang melibatkan mahasiswa untuk turun ke desa-desa dari hari ke hari jadi hal yang menurut saya kok kurang relevan.

Sik, Lur, jangan ngegas dulu. Masalahnya, nggak ada pembaharuan babar blas. Program-programnya terkesan klise; dari tahun ke tahun ya cuma gitu-gitu aja. Misalnya di desa saya, selama tiga kali berturut-turut jadi destinasi wista lokasi KKN, satu-satunya program andalan ya cuma kegiatan 17 Agustusan. Selebihnya program-program yang nggak kasat mata. Entah karena emang saya yang nggak tahu atau emang karena nggak ada heuheuheu.

Seperti yang pernah saya tulis di Terminal Mojok sebelumnya, anak-anak KKN ini datang ke desa kasarannya cuma pindah tidur. Persetan dengan apa itu pengabdian masyarakat. Pokoknya yang penting kelar terus pulang-pulang punya gebetan baru, udah beres. Bukan manfaat kolektif yang bisa dirasakan masyarakat jangka panjang, kepulangan anak-anak KKN ke kampus masing-masing nyatanya hanya meninggalkan bendera plastik merah putih yang dipakai buat Agustusan.

Saya nggak asal ngomong loh, ya, karena selain desa saya pernah jadi tempat KKN, saya juga sempat minta pendapat dari masyarakat setempat, masyarakat dari desa lain, dan tentu juga dari kesakisan mahasiswa yang nggak naif buat ngakuin kalau emang begitu adanya.

Itulah kenapa akhirnya saya lebih memilih KKN Literasi ketimbang nantinya harus nanggung malu karena nggak bisa ngasih apa-apa sama masyarakat desa kalau seandainya saya ikut KKN Reguler. Sebenernya bisa aja sih jadi motor penggerak, karena nggak semua mahasiswa punya pikiran buat ‘bangun desa’. Lebih banyak yang nggak sepemikiran daripada yang support. Kalau harus mikir dan gerak sendiri,  hla yo wegaaahhh, yo nda kuaaattt.

FYI aja nih, yang kebetulan menginisiasi program KKN Literasi ini adalah kampus saya (UIN Sunan Ampel Surabaya), sebagai bentuk dukungan atas wacana Bu Risma yang ingin mewujudkan Surabaya sebagai kota literasi sejak 2014 silam. Jadi, di kampus saya ada tiga jenis KKN; KKN Nusantara (ke plosok-plosok Indonesa, khususnya Indoneisa Timur), KKN Reguler (yang ke desa-desa), dan KKN Literasi yang diproyeksikan untuk menumbuhkan minat baca dan meningakatkan angka melek huruf masyarakat kota Surabaya.

Setelah mengikuti KKN Literasi, ada beberapa hal yang membuat saya menyimpulkan; KKN Literasi emang nggak banyak dikenal, tapi progres kerjanya jauh lebih nyata daripada KKN Reguler (selama nggak ada pembaharuan program kerja di dalamnya).

Pertama, dari segi efisiensi dan efektivitas jumlah anggota. Berbeda dengan KKN Reguler yang grudukan, KKN Literasi cukup mengandalkan tenaga dan pikiran lima orang dalam masing-masing kelompok. Ini sangat membantu untuk urusan koordinasi dan membangun chemistry. Namun jangan salah, lima orang ini harus meng-handle dua lembaga sekaligus dalam satu hari, yaitu Madrasah (baik MI atau MTs) dari pagi sampai siang, dan lanjut ke Taman Bacan Masyarakat dari siang sampai lepas asar (kadang hingga menjelang magrib).

Hari kerja kami sebenernya cuma dua kali dalam seminggu, tapi bisa jadi tiga kali tergantung request dari pihak yang bersangkutan. Itu pun dengan jarak pulang-pergi yang ngaudubillah melelahkan. Ya barangkali karena alasan inilah orang-orang akan lebih milih KKN Reguler, karena bisa dapat waktu santai cukup banyak. Yakali ada yang mau sampai seniat kami cuma buat memenuhi syarat skripsi. terlalu buang waktu dan tenaga. Eh nambah-nambahin beban juga sih. Karena emang program KKN ini jalan beriringan sama hari-hari aktif kuliah. Jadi Senin-Jumat kuliah, Sabtu-Minggunya harus ke lapangan, bener-bener nggak ada liburnya, Lur. Dan itu berlangsung sampai absensi kehadiran kami di lokasi KKN menyentuh angka 35 pertemuan. Itu yang kedua.

Ketiga, kami jelas nggak bisa bikin program-program nggak kasatmata kayak anak-anak KKN Reguler. Karena nih, ya, per satu bulan kami selalu dipantau sama dua pihak sekaligus. Kami harus melaporkan sejauh mana program kerja kami berjalan kepada pihak kampus dan ke Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya selaku mitra penyelenggara. Kalau cuma ke kampus sih agak selow, lah kalau urusannya sama Dinas? Kami bener-bener nggak bisa main-main sama program yang kami jalankan; harus serius dan spartan. Ketahuan ada pemalsuan data laporan bisa gonjang-gonjing tanah Surabaya dihentak Bu Risma (tahu sendiri kan blio kalau ngamuk gimana?)

Keempat, ini tantangan terbesarnya, yang harus kami atasi dalam waktu 35 hari. Seperti yang saya sebut di atas, KKN Literasi digagas kan tujuannya emang buat menumbuhkan minat baca dan meningkatkan angka melek huruf. Nah, dulur-dulur sekalian, jadi jangan bayangin tempat kami mengabdi (Madrasah dan TBM) sudah punya akses dan bekal literasi sebelumnya. Kami ditempatkan di lingkungan yang kesadaran literasinya betul-betul rendah. Anak-anak jauh lebih akrab dengan tokoh-tokoh Mobile Legend ketimbang novel Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.

Gini, deh, dulu waktu SMP kalian, siapa sih yang nggak tahu sama novel ini? Filmnya juga sering diputar di TV, kok. Bahkan buat ukuran orang yang nggak suka baca sekalipun, minimal pasti pernah denger kalau itu di SMP kalian dulu. Lah, anak-anak di sini, denger aja nggak, loh. Boro-boro bukunya, filmnya loh juga nggak tahu kalau bolak-balik nongol di TV. “Ah saya nggak suka film yang begitu-begitu, kak. Sinetron itu lebih bagus,” pengakuan dari salah satu siswa. Kalau udah kayak gini, terus piye polahmu?

Yang lebih berat, ternyata nggak setiap madrasah punya perpustakaan. Kalau toh ada, itu pun dialihfungsikan jadi gudang. Ini serius. Masih mending ada ruang perpusatkaannya, paling-paling tinggal renovasi tata letak ruang dan penggandaan koleksi buku saja. Hla kalau seperti yang dialami kawan saya; madrasah nggak punya perpustakaan, Lur. Jadi harus bener-bener mulai dari nol. Bikin ruang perpus baru—yang itu artinya pihak madrasah harus mengorbankan satu ruangan. Misalnya yang dialami kawan saya, madrasah tempat dia mengabdi harus merelakan ruang kelas enam buat dijadikan perpustakaan, sementara kegiatan belajar mengajar dialihkan ke musala. Jadinya malah serba salah tho kitanya? Nggak enak sama pihak madrasah.

Kalau pihak madrasahnya humble dan welcome sih, nggak masalah. Sebab, ada juga pihak madrasah yang bener-bener menutup diri. Jadi dengan terpaksa anak-anak KKN Literasi bikin lapak baca di luar ruangan, bikin program juga di luar ruangan. Banyak yang berguguran kalau urusannya sudah kayak gini; memutuskan pindah haluan buat ikut KKN Reguler saja semester berikutnya. Ini masih belum ditambah dengan problem-problem di TBM, loh. Bisa panjang ntar. Tapi yag jelas—menurut pengamatan saya—KKN Literasi kerjanya tetep lebih nyata dan lebih ngena ketimbang mereka yang cuma numpang cinlok di desa orang.

BACA JUGA KKN Tahun Ini Nggak Ada Ngapain Sedih, KKN Kan Banyak Nggak Enaknya dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version