Kita Terlalu Sibuk Milih Presiden dan DPR, hingga Lupa Ada yang Namanya DPD

Kita Terlalu Sibuk Milih Presiden dan DPR, hingga Lupa Ada yang Namanya DPD

Kita Terlalu Sibuk Milih Presiden dan DPR, hingga Lupa Ada yang Namanya DPD (Pixabay.com)

Kita Terlalu Sibuk Milih Presiden dan DPR, Lalu Lupa Ada yang Namanya DPD

Saat sedang seru-serunya obrolan tengah malam, seorang teman bertanya kepada saya. Ia berkata “2024 ini kita milih apa aja toh? Kok yang debat cuman presiden sama wakilnya aja”. Sontak saya menjelaskan kalau 2024 itu Pemilu serentak. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul setelah itu, tapi ada satu pertanyaan yang bikin saya ikutan tertegun: DPD kok nggak disorot ya?

Bener juga ya.

Nyatanya, ingar bingar politik dari dulu sampai sekarang memang nggak pernah menyorot DPD. Lembaga senat ini seakan seperti anak tiri di dunia legislasi kita. Sejak awal kemunculannya, DPD punya peran yang bisa dibilang minim. Zaman Orde Lama dan Orde Baru memang ada perwakilan daerah, namun dipilih oleh Presiden. Baru sejak Reformasi dipilih lewat Pemilu.

Peran yang minim ini bisa dibilang mirip pemain simbal dalam orkes dangdut. Kalau ada ya cuman kayak pelengkap, kalau nggak ada kok kaya ada yang kurang. Saya nggak tau ya, ini cuman perasaan saya saja atau ada yang sepemikiran. Katanya sih DPD ini nggak terlalu kuat karena ditakutkan mengubah cara main partai di daerah. Cara main pas Pemilu maksud saya. Mereka kan independen, jadi kalo terlalu berpengaruh nanti partai nggak bisa intervensi, gitu.

Wacana DPD diperkuat yang hingga sekarang tetap jadi wacana

Ada sih wacana DPD mau diperkuat. Pembicaraan ini dari jaman saya masih suka nonton Lensa Olahraga di pagi hari sebelum sekolah, sampai saya lulus kuliah pun belum jadi-jadi. Dianggapnya kalo terlalu kuat nanti Indonesia berubah jadi negara federal. Perubahan negara kesatuan jadi federal ini pernah menguat zaman reformasi dulu. Tapi apa pun itu, lagi-lagi di sini saya melihat kalau pusat masih belum ikhlas ngoper semua kewenangan ke daerah.

Sebelumnya saya kasih tau dulu soal bentuk negara kesatuan dan federal. Indonesia sekarang ini menganut kesatuan, jelas banget kan dari slogan ‘NKRI Harga Mati!’. Kesatuan itu jalannya pemerintahan berada pada komando pusat semua. Kalau federal, semua daerah yang biasa disebut negara bagian bisa mengatur urusannya sendiri. Contohnya keuangan, tata ruang, sama sumber daya alam.

Sebenarnya kalau kita lihat secara lebih saksama, Indonesia sekarang sudah semi federal. Otonomi daerah diperkuat hasil reformasi karena dulu pusat bisa semaunya sama daerah. Buat ngatur Indonesia yang segede ini emang nggak bisa kalau pusat aja, sudah seharusnya pusat legowo ngelepas urusannya ke daerah masing-masing. Ibaratnya, ben diurus cah-cah’e dewe!

Kenapa saya menyinggung masalah federal atau otonomi daerah di atas, ini erat banget sama peran dan kewenangan DPD. DPD ini kan mewakili aspirasi daerahnya. Kalau kewenangan daerah bisa diperkuat, kenapa DPD nggak? Mereka itu partner kerja lho, udah seharusnya bisa seimbang. Kaya di perusahaan aja, masa direktur partner kerjanya staf? Kan ra mashok.  

Ironi yang kelewat terang

Kewenangan DPD yang lebih minim ini ironi melihat dari indikator pemilihannya. DPD mencakup provinsi yang utuh, sedangkan DPR “hanya” berdasar pada daerah pemilihan yang notabene lebih kecil. Ironi ini makin keliatan dari hasil RUU yang mereka hasilkan. Dari 5 RUU yang DPD usulkan kurun 2017-2022, nggak ada yang jadi undang-undang. Bener-bener 0, bro.

Jadi, DPD ini cuma bisa mengusulkan tanpa bisa ngegolin UU karena harus ada acc dari DPR. Kasian kan? Katanya lembaga yang muncul dari reformasi buat ngidupin demokrasi tapi malah nggak ada taji. Capek bro.

Anyway, kalau kita bedah, sebenarnya lembaga senat ini punya banyak hal baik yang seharusnya diunggulkan. Biasanya DPD ini diisi oleh orang-orang cultural daerah tersebut. Kita ambil contoh DIY, siapa sih yang nggak tau GKR Hemas? Istri dari HB X ini sudah menjadi anggota DPD sejak 2004. Lalu ada La Nyalla Mattalitti dari daerah Jawa Timur. Mereka semua pentolan daerahnya masing-masing. Ngerti banget harusnya sama daerahnya. Beda dengan DPR yang kadang dipoles sedemikian rupa oleh partai, DPD lebih perwakilan asli daerahnya.

Kegelisahan menahun

Kalau kita ambil case study, di Amerika seorang senator menentukan keterpilihan seorang presiden. Coba lihat di Pilpres 2020, Biden yang punya suara pemilu lebih sedikit dibanding Trump, tapi malah menang Pilpres karena unggul suara senator. Memang, Amerika negara federal jadi suara seorang senator sangat vital. Jika dibolehkan modifikasi istilah terkenal dalam demokrasi, suara senator adalah suara tuhan; Vox Senatori Vox Dei.

Yang bagus lagi, nggak seperti Ketua DPR yang dipilih karena suara Pileg terbanyak, pemilihan Ketua DPD dipilih pakai mekanisme voting. Jadi setiap calon Ketua DPD tanding lagi di internal lembaga ini. La Nyalla Mattalitti, bukan pemegang suara terbanyak saat hari pencoblosan, tapi beliau jadi Ketua DPD setelah dapat 47 suara dalam voting internal. Lebih fair kan?.

Pada akhirnya apa yang temen saya omongin diawal bukan cuman keresahan pribadi. Ini udah jadi kegelisahan menahun dari dulu banget. Semoga ke depannya kita bisa lihat senator yang punya power selayaknya DPR sekarang. DPD yang mewakili kepentingan daerahnya tanpa ada kompromi dengan partai yang harus ini-itu. Bukankah kita semua mendambakan kehidupan bernegara yang lebih bisa mewakili daerah tanpa campur tangan kepentingan elektoral semata?

Penulis: Egi Candra Irawan
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tugas dan Wewenang DPD Diniliai Tidak Kuat, Benarkah Demikian?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version