Kita Sering Lupa Bersyukur tapi Malah Selalu Ingat Mengeluh

Kita Sering Lupa Bersyukur tapi Malah Selalu Ingat Mengeluh

Saya dibuat terhenyak dengan pembicaraan bersama teman-teman saya beberapa hari yang lalu. Pembicaraan tersebut muncul dari sebuah keluhan teman saya tentang IP (Indeks Prestasi) yang ia dapat di semester ini. Pembicaraan yang sebelumnya hanya berisi candaan, ujungnya malah berisi keluhan yang tak terbatas dan melampauinya.

Teman saya, sebut saja Junjun secara tiba-tiba bertanya ketika obrolan sedang asyik-asyiknya ngalor ngidul. Dia bertanya, eh IP kalian semester ini berapa? Semua sontak terdiam. Lalu si Junjun ini dengan muka tak berdosa berkata, “IP aku semester ini turun, ih.”

Penasaran dengan si Junjun, saya bertanya, sedrastis apa IP si Junjun turun. Dia mengatakan bahwa semester kemarin IP-nya tembus 3,9 dan semester ini cuma dapat 3,8-an. Saya berteriak, tapi dalam hati. Cuma! Cuma 3,8! Itu tinggi, Cok!

Hingga hampir semua teman saya yang ada di situ ikut menimpali. Mulai dari yang IP-nya memang tinggi tapi tetap dianggap rendah sampai ada yang mengeluhkan dia cuma dapat IP 2 koma-an. Nah kalau yang IP 2 koma saya mafhum. Tapi saya tidak habis pikir, kalau IP yang sudah menyentuh 3,8 saja masih dianggap rendah, bagaimana nasib mereka yang IP-nya 2 koma ke atas sedikit. Kasihan sekali. FYI, saya juga turut menjelaskan berapa IP saya, yah, kisaran 3,6 lah. Dan saya yakin, bagi si Junjun IP saya itu masih sangat rendahan di matanya.

Dari pembicaraan soal IP tersebut saya dapat poin penting. Bahwa ternyata memang benar, banyak-banyak bersyukur sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental. Namun bukan berarti mereka yang tidak bersyukur lantas akan gila. Tidak seperti itu. Hanya saja, seringnya mengeluh akan sejalan dengan seringnya diri menjadi insecure dan tidak pernah puas. Dari ketidakpuasan tersebutlah yang akan menjadi beban yang tak habis-habis dan sering diaggap sebagai masalah yang sangat berat. Padahal jikalau lebih ditelaah, IP 3,8 si Junjun teman saya ini baiknya disyukuri daripada dikeluhkan.

Saya tidak tahu pasti apa tujuan semua orang selalu ingat mengeluh tapi sering lupa bersyukur. Hanya saja, ketika berbicara soal kepuasan dalam suatu pencapaian, alangkah lebih baik syukurilah dahulu lalu mulai pikirkan langkah yang lebih baik. Maksudnya, segala pencapaian yang kita dapat jika berasal dari kemauan, kerja keras, dan sifat pantang menyerah kita tentunya akan lebih baik harus dirayakan.

Dengan cara apa? Ya bersyukur itu tadi. Ketika kita hanya mengeluh dan selalu mengeluh. Saya yakin salah satu variabel keluhannnya didasarkan atas membandingkan diri dengan orang lain. Hal tersebut sering terjadi di era ini. Era yang lekat dengan slogan milenial, digital, dan 4.0.

Membandingkan diri dengan orang lain memang tidak salah. Tapi menurut saya jika slogan rajin pangkal kaya diubah frasanya, tentunya bisa menjadi seperti ini, membandingkan diri dengan orang lain pangkal mengeluh. Ketika melihat orang lain IP-nya lebih tinggi, lebih cantik, lebih ganteng, lebih kaya, dan lebih semuanya dibandingkan dengan diri kita sendiri, saya yakin semua kelebihan yang ada di dunia ini menjadi tak terbatas.

Melihat manusia A, oh dia kaya. Melihat manusia B, anjir dia lebih kaya dari A. Melihat manusia C, damn dia kekayaannya lebih dari A dan B. Sampai seterusnya dan tidak ada habisnya. Posisi kita di mana sebagai seorang pengeluh? Pastinya selalu di bawah dan selalu di bawah. Karena kita mempersepsikan diri kita selalu tidak punya ini, itu, dan apalah itu.

Cerita lainnya soal pentingnya bersyukur saya dapatkan baru saja. Saya dapat DM Instagram dari teman SMP saya dahulu. Dia bertanya kabar hingga aktivitas apa yang saya lakukan saat ini. Saya jawab, saya lagi mau skripsian. Dia nyeletuk, wah masih pengangguran, dong? Saya bantah pernyataan dia dengan mengatakan, tidak, saya masih semi pengangguran.

Hingga percakapan itu sampai di titik teman saya ini mengeluhkan gajinya yang sedikit. Ah, hati saya kembali meronta. Saya bergumam, situ sudah kerja dan ngata-ngatain ane pengangguran. Tapi lupa bersyukur kalau dia sudah kerja, punya gaji dan bisa hidup mandiri. Nah saya? Lulus belum, kerja belum, punya gaji bulanan nggak. Jikalau saya mau bikin PPT soal perngeluhan duniawi untuk dipresentasikan, saya yakin slidenya bakal menyentuh angka ratusan.

Apa yang bisa kita simpulkan? Tentu saja bukan menyimpul tali temali. Perlu kita sadari, bagi tiap orang bersyukur ada standarnya masing-masing. Apa yang saya syukuri saat ini mungkin di mata orang lain tidak bisa ia syukuri karena baginya ia bisa lebih dari itu. Bagus memang jika tidak pernah puas terhadap suatu hal. Mungkin itu bisa mentrigger diri untuk lebih berkembang ke depannya. Tapi ingat, tidak semua manusia lahir untuk jadi Presiden. Harus ada tukang sayur, siomay, menteri, polisi, pegawai, dan lain-lain. Tidak semua manusia bisa di posisi seorang Bill Gates, Steve Jobs, atau Jack Ma.

Bukannya pesimis, tapi kadang pencapaian mereka yang luar biasa itu tidak sebanding dengan kenyataan dan pengalaman yang kita miliki masing-masing. Ketika saya bilang saya bangga dapat IP 3,6 dan itu saya anggap sudah sangat tinggi. Ternyata masih ada yang lebih tinggi dari IP saya tersebut. Begitu seterusnya. Dan pada akhirnya pameo di atas langit masih ada langit selalu sangat relevan di tiap zaman. Karena itu tadi, tiap zaman dan tiap masa selalu saja lahir mereka yang selalu ingat mengeluh tapi sering lupa bersyukur. Maka dari itu, yok dengerin lagu d’Masiv yok~

BACA JUGA Belajar Menjadi Manusia Bersyukur ala Ika Natassa atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version