Akui Saja, Kita Semua Pernah Menjadi Abang-abangan Muda, Beda, dan Berbahaya kayak Bayem Sore

Akui Saja, Kita Semua Pernah Menjadi Abang-abangan Muda, Beda, dan Berbahaya kayak Bayem Sore

Akui Saja, Kita Semua Pernah Menjadi Abang-abangan Muda, Beda, dan Berbahaya kayak Bayem Sore (Pixabay.com)

“Pemikiran gue, ya. Lu punya uang, lu punya kuasa…”

Kalian tentu tidak asing lagi dengan kalimat itu. Ya benar, Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Bayem Sore, pria yang akhir-akhir ini videonya dijadikan meme dan bahan bercandaan di berbagai lini masa.

Ketika saya telusuri, video itu pertama kali tayang pada 07 Juli 2022 di akun YouTube SEADANYA dengan judul “TENTANG MANUSIA DAN AKALNYA”. Dan hingga tulisan ini dibuat sudah lebih dari 7.300 komentar dan lebih dari 385.000 tayangan.  Tentu ramainya video itu karena potongan kalimat viral itu tadi.

Kalau menonton video yang berdurasi 43 menit itu, kemungkinan besar kalian akan diselimuti perasaan geli atau akan bergumam, “Nih orang ngomong apaan sih”. Kenapa begitu? Ya karena banyak sekali statement-statement yang aneh, nggak masuk akal, nggak realistis, dan lain sebagainya. Lebih parah dari lontaran kalimat Bang Bayem di awal tulisan.

Saya tidak akan menguliti statement-statement itu. Saya cuma mau bilang  diakui atau tidak, kita sebagai cowok yang usianya kurang lebih sama dengan Bayem Sore pernah atau malah sedang di fase itu. Fase menjadi abang-abangan. Menjadi seseorang yang anti-kemapanan. Seolah dunia ini terlalu aneh. Dunia ini perlu revolusi. Akui saja!

Perbedaannya kita tidak direkam, sedangkan Bang Bayem itu direkam sehingga menjadi bahan bullying di jagad media sosial. Mungkin kita bikin geli meja sebelah yang mendengarkan kata-kata kita.

Kita pernah di fase itu

Jujur, dulu saya pernah di fase mirip-mirip Bang Bayem tadi. Punya pemikiran bahwa uang itu bukan segalanya. Untuk mencapai bahagia tidak melulu soal uang. Tapi makin kesini saya sadar bahwa pemikiran saya itu tidak realistis, tidak masuk akal. Karena bahagia itu memang butuh uang.

Lalu saya juga pernah berpikir bahwa kerja yang sesuai hobi itu menyenangkan, kita melakukan apa yang kita suka tapi kita dibayar. Tapi realitasnya kerja apa pun itu melelahkan karena ada tuntutan di situ. Pemikiran-pemikiran itu tidak serta merta saya pendam, tapi juga saya sampaikan ke tongkrongan saya pada waktu itu.

Bahkan ada yang lebih tidak masuk akal lagi. Dulu saya punya teman yang berpikir untuk menggeser rupiah sebagai alat tukar. Dia sudah mempelajari tentang suatu sistem untuk menggantikannya. Tapi ternyata pemikiran teman saya itu tidak terbukti sama sekali hingga detik ini. Toh uang masih saja menjadi sesuatu yang dituhankan, terlepas secara diam-diam atau secara terang-terangan.

Saya juga masih inget, dulu banyak kawan di circle anarko yang mengidealkan suatu wilayah tanpa pemerintaha. Tanpa negara, non hierarki, pokoknya. Bukan berarti salah atau benar pemikiran seperti itu, tapi kembali lagi, itu tidak realistis. 

Itu baru contoh kecil saja, ya. Karena ketika ngomongi tongkrongan khususnya laki-laki, sebenarnya banyak sekali obrolan-obrolan yang mirip sama Bang Bayem itu. Obrolan yang meledak-ledak. dari mulai merevolusi rezim, ngomongin filsafat kiri tapi baru baca Madilog sampai halaman 10. Tapi sekali lagi,  kita tidak direkam. Tidak masuk sosial media yang dipenuhi dengan banjir fakta dan aneka cibiran.

Tapi yang jelas ketika saya mengingat-ngingat obrolan yang tadi saya ceritakan di awal tentang pemikiran saya dan teman-teman saya ketika di tongkrongan, saya akan geli. Serius.

Dulu kita adalah Bayem Sore, jadi tak perlu mengejeknya begitu keras

Tapi begitulah siklus kehidupan, seperti halnya anak SMA akan mentertawakan tingkah konyol anak-anak SMP padahal dirinya pernah melakukannya. Orang dewasa akan cekikikan menyaksikan pola konyol anak-anak di bangku perkuliahan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Hanya saja perbedaan satu sama lain ada pada tingkat keparahan. Ada yang parah ada juga yang parah banget. Tapi tetap itu semua bikin geli. Heuheuheu.

Jadi ketika kita mentertawakan Bayem Sore, sebenarnya kita sedang mentertawakan diri sendiri. Kita pernah menjadi abang-abangan. Kita pernah percaya bahwa di tangan kita dunia akan berubah. Dunia akan jadi ideal sesuai pemikiran-pemikiran kita, sebelum kita merasakan sendiri pusingnya mendengar suara token listrik yang akan habis.

Jujur saja, itu lumrah. Dan malah bagus. Setidaknya, dalam hidup yang singkat ini, kita pernah memperjuangkan sesuatu yang kita anggap penting. Sebelum menyerahkan diri pada kapitalis. Jadi ya, jangan keterlaluan mengejek Bang Bayem Sore, sebab, beberapa tahun yang lalu, kita akan merangkulnya dan menganggapnya saudara. 

Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Filsuf Adalah Tonggak Peradaban Bangsa dan Kini Mereka di Kedai Kopi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version