Seonggok baliho di bilangan Gedongkuning amat layu sore itu (12/08/2021). Baliho yang akrab disapa Mas Bal (29) tengah meradang dan sedikit uglik-uglik diterpa angin dari arah Utara. Di perempatan Gedongkuning, sanding boneka angin WaWaWa, semua pengendara motor menatap ke arahnya. Ada yang ngampet ngguyu, ada yang nunjuk-nunjuk, ada pula yang sedang megang setang motor—tapi mulutnya ngakak, sih.
“Saya ini sedang termenung memperhatikan nasib saya yang nggak kunjung mendingan, Mas,” terangnya kepada saya, setelah saya dekati dan ajak ngobrol basa-basi. Dengan suara yang sedikit bergetar seperti seng yang sedang kanginan, Mas Bal jebul tengah galau dan meratapi nasibnya yang makin buruk itu.
“Lha penyebabnya apa tho, Mas? Kok ya saya lihat dari perempatan Gedongkuning Anda melamun melulu?” tanya saya, mengeluarkan ponsel dan mulai merekam obrolan kami berdua.
Mas Bal hanya geleng-geleng kepala. “Lihat itu lho, Mas, gambar yang terpampang di badan saya yang sekel dan berisi ini,” blio nunjuk-nunjuk gambar utama di baliho. Kakinya yang hanya satu itu tiba-tiba ngewel dan bergetar ketakutan.
Saya pun melihat, oh isinya jebul Mbak Puan sedang promosi bakal capres atau bakal-bakal lainnya. Lantas saya nimpali, “Bagus tho, isinya politisi yang sedang onani untuk nyambut pemilu nanti.”
“Bagus gundulmu, Mas,” jawabnya dengan cepat, akurat, dan tanggap darurat. “Ini perkara kemaluan (rasa malu, red), Mas,” jawabnya dengan berapi-api, tapi kurang percaya diri. Wajahnya yang terbuat dari seng pun kaku dan matanya kuyu seperti orang kurang makan karena bansos selama Covid-19 dari pusat belum tiba-tiba juga ke dapurnya.
Blio pun melanjutkan, “Biasanya, nih, Mas, isi baliho saya itu ya seputar perumahan yang dijual. Semisal tulisannya begini; dijual perumahan murah area Banguntapan hanya lima menit dari bandara. Karena bandara di Jogja sudah pindah, ha kok malah jadi kepak sayap kebhinekaan begini?”
Saya ngampet ngguyu. Memang, baliho dengan wajah Mbak Puan ini sedang getol-getolnya mengisi baliho-baliho di sepenjuru Kota Jogja. Kepak Sayap Kebhinekaan yang jadi tajuknya, tengah disaksikan oleh para pengguna motor yang sedang terjebak lampu merah di perempatan Gedongkuning. Apa, ya, yang ada di pikiran para pengguna motor setelah nonton baliho itu?
“Saya ini agak kaget, yang semula isi baliho saya ini pol mentok orang investasi rumah, sekarang ada tokoh politik yang nampil. Nggak ada angin, nggak ada hujan, lha wong pemilu belum menampakkan hilalnya.”
“Berarti Mas Bal meragukan kapasitas Mbak Puan sebagai calon pemimpin idaman masyarakat Indonesia di masa mendatan…..” tanya saya tiba-tiba.
Mas Bal lekas menyambar mulut saya untuk diam. Ia clingak-clinguk ketakutan. “Ngawur banget mas kalau bicara. Hati-hati lho, di masa seperti ini kebebasan berbicara itu hanya mimpi,” jawabnya, air mukanya keruh dan takut.
“Oh, maksud Mas Bal, di masa rezim kali ini, kebebasan berpendapat itu adalah hal yang….”
Mulut saya dibungkam lagi seperti masyarakat akar rumput selama pandemi. “Sek, Mas, gini lho maksud saya, dulu baliho seperti saya ini dianggap sekadar angin lalu sama pengguna motor. Namun, ketika si Kepak Sayap ini yang ngisi baliho, semua mata pengguna motor menatap saya lekat-lekat.”
“Oh, berarti semua pengguna motor itu terpesona dengan dialektika politiknya Mbak Puan ya, Mas?” kata saya.
“Eh, iya, itu mungkin, sih,” jawab Mas Bal dengan ndembik. “Tapi gini lho, Mas, sejak Kepak Sayap ini menempel di tubuh saya yang sintal, semua mata itu menatap saya lekat-lekat. Mereka mesem, tertawa, bahkan sampai ada yang memposting ke internet. Bayangkan, Mas, tubuhku bahkan sampai masuk ke Twitter dan Instagram.”
Mas Bal melanjutkan keluh kesahnya. “Kalau jualan perumahan kan jelas. Ada rumahnya, ada harganya, ada tempatnya, dan ada pula keterangan rincinya. Lha kalau Kepak Sayap ini apa jal, Mas? Kampanye, bukan. Mau ngadain acara mantenan, bukan. Mau sosialisasi kebersihan selama pandemi, bukan.”
“Oh, mungkin maksudnya mau pamer prestasi, Mas? Kan itu juga termasuk dialektika nggak langsung untuk menyambut pemilu,” jawab saya.
“Prestasi macam apa yang hanya menampilkan gambar dan jargon, Mas? Kepak Sayap Kebhinekaan ini kepak sayap macam apa coba, Mas? Bhineka yang dimaksud itu Burung Garuda gitu, ya? Lha wong secara terminologi saja melenceng jauh dari makna. Duh, isin,” Mas Bal menutup rai.
Lantas Mas Bal melanjutkan, “Nah, ketimbang mengeluarkan hal yang nggak jelas, mbok ya o jelasin dulu jargonnya itu kepada masyarakat biar paham. Kan yang paling pinter di Indonesia itu para pejabat di atas sana. Rakyat biasa itu ya tugasnya nyoblos pas pemilu doang. Dan panas-panasan geber motor di Ring Road Selatan.”
Mas Bal masih melanjutkan, kali ini lebih berani, “Prestasi blio kalau mau ditampilkan ya pas sidang Omnibus Law itu, Mas. Mematikan mic secara teatrikal. Kan lebih jelas, masyarakat apresiasi, dan ada maknanya. Kalau hanya kepak sayap-kepak sayap nggak mashok itu, tubuhku layaknya ketidakjelasan dan serasa papan iklan doang tanpa makna!”
“Lantas, apa dong makna matikan mic saat sidang, Mas?”
“Lho, jelas mematikan mic itu bermakna. Blio itu hanya mematikan mic doang, Mas. Namun mendengar suara masyarakat kecil. Lihat saja waktu sidang Omnibus Law, 8 Oktober masyarakat turun ke jalan tanda bahwa blio ini amat Bhineka banget,” kata Mas Baliho.
“Nah, mungkin itu arti dari Kepak Sayap Kebhinekaan, Mas,” kata saya belaga jadi Socrates yang sedang macak jadi bidan dalam sebuah perdebatan.
“Weh, iya juga, ya…” kata Mas Bal bikin saya mak jegagik nahan kaget. Pitikih.
Sejak tulisan ini diketik dan disunting, makin banyak baliho di penjuru negeri yang berubah dari sebelumnya jualan perumahan jadi jualan slogan. Dari utara sampai selatan, dari perempatan satu ke perempatan lainnya, baliho-baliho berubah menjadi sebuah kepak sayap kebhinekaan. Kata yang indah, tapi embuh maknanya apa. Lah, selama kita hidup di negeri ini, sebagai masyarakat biasa, memangnya kami punya makna, ya?
BACA JUGA Puan Maharani, Baliho, dan Branding yang Usang dan tulisan Gusti Aditya lainnya.