Kisah Cewek Selandia Baru Kecantol Lelaki Badui

Kisah Cewek Selandia Baru Kecantol Lelaki Badui sigit susanto terminal mojok.co

Kisah Cewek Selandia Baru Kecantol Lelaki Badui sigit susanto terminal mojok.co

Judul: Married to a Bedouin
Penulis: Marguerite van Geldermalsen
Penerbit: Virago
Tebal: 279 halaman
Harga: 18 dinar
Terbit: 2006

Buku ini aku beli di kota Aqaba, Yordania, 24 Maret 2008. Waktu itu aku menjelajahi Yordania selama satu minggu dari Amman sampai Aqaba, bersama rombongan mengendus jejak lama suku Nabataean di Petra. Tiga ribu tahun silam suku Nabatea pernah mengukir sejarah dalam arti sesungguhnya: menempa tebing-tebing batu padas jadi bangunan superkolosal bagai panteon, biara, ampiteater ala Yunani kuno. Petra, nama mahakarya di tebing batu itu, adalah sebutan dalam bahasa Yunani untuk menyebut bebatuan. Di Petra sinilah dulu para pedagang karavan beristirahat, menginap dan mengadakan transaksi dagangannya.

Kini suku Nabatea sudah tiada. Hanya peninggalannya masih bisa disaksikan dengan memukau. Ke mana mata memandang, akan tertatap ukiran-ukiran yang kadang tidak utuh lagi. Lalu-lalang pelancong mencapai 4.000 orang setiap hari. Gugusan bukit-bukit terjal nan gundul warna kemerahan sepanjang sekitar 2,5 km itu diramaikan pula oleh jasa penyewaan unta, keledai, dan kuda. Siapa yang sekarang bermukim di kawasan ini? Tak lain adalah suku Badui. Seorang anggota rombongan mengatakan kepadaku, ia pernah bertemu penulis buku ini. Penulis itu sedang menjual suvenir di depan toilet di Petra.

Pada buku ini dikisahkan oleh penulisnya, saat ia bersama sahabatnya Elisabeth dari Selandia Baru mengunjungi Petra, cewek bernama Marguerite van Geldermalsen ini jatuh cinta pada lelaki Badui bernama Mohammad Abdallah. Dengan bahasa pasaran, Mohammad yang sehari-harinya suka nongkrong di depan bangunan The Treasury menyapa pertama kalinya:

“Where you staying? Why you not stay with me to night – in my cave?”

Memang Mohammad tinggalnya di gua sendirian. Seperti kebanyakan suku Badui lain di lembah Petra, tinggalnya kalau tidak di tenda-tenda tengah ladang, ya di dalam gua. Suku Badui yang biasanya nomaden ini di Petra hidupnya mulai permanen. Mereka berjualan jasa penyewaan kendaraan unta, keledai, dan kuda serta menjual suvenir atau membuka kafe-kafe kecil untuk para pelancong.

Peristiwa itu terjadi pada 1978. Marguerite bersama sahabatnya Elisabeth melakukan lawatan mancanegara ke tiga negara yang menyimpan kebudayaan kuno, yakni Mesir, Yunani, dan Yordania. Ketika berada di Petra, Yordania itulah cinta bertumbuhan antara Marguerite yang berusia 20 tahun dengan Mohammad yang usianya sebaya. Awalnya, sapaan Mohammad yang mujarab di atas tidak dihiraukan. Dua pelancong tipe backpacker ini, usai menikmati keindahan sisa-sisa arsitektur suku Nabatea, terus saja melanjutkan perjalanan dan menginap di pantai Laut Merah, Aqaba. Petra sudah ditinggalkan dan hanya menjadi sepotong memori. Mereka hendak menyeberang ke Suriah. Tak disangka, datang seorang sopir taksi yang mengaku bernama Ali. Ia datang disuruh Mohammad karena malam nanti ada upacara perkawinan suku Badui di Petra. Marguerite dan Elisabeth tidak menolak dan kembali ke Petra.

Upacara perkawinan suku Badui telah mereka saksikan, berbuntut Marguerite dan Mohammad berjalan-jalan berduaan. Di antara tebing dan hamparan puing-puing tua, Mohammad sambil bernyanyi. Kontan saat itu Marguerite mengakui, dirinya jatuh cinta pada Mohammad.

Lebih jauh diceritakan, ayah Marguerite adalah orang Belanda yang pernah bertugas sebagai tentara di Indonesia. Ibunya juga orang Belanda. Kedua orang tuanya kabur dari Belanda untuk membebaskan dirinya dan menetap di Selandia Baru. Orang tua Marguerite mengakui, kedua orang tua mereka di Belanda sangat konservatif, ingin memaksakan kemauannya sendiri. Sebab itu, ketika Marguerite lahir, sejak kecil disuruh mandiri dan menentukan nasibnya sendiri. Jangan sampai meniru jadi wayang seperti kakek-neneknya. “I realised, like the Wayang puppets Dad had brought back from Indonesia, where he served in the Dutch army…,” tulis Marguerite di halaman 16.

Karena Marguerite sudah terlatih untuk menentukan nasibnya sendiri, demi cintanya, ia memutuskan akan tinggal bersama Mohammad dan hidup di gua. Sementara kawannya yang berangkat bersama, Elisabeth, harus melanjutkan perjalanan ke Suriah dan kemudian pulang sendirian ke Selandia Baru. Akan tetapi, Maguerite tidak begitu saja menetap di Petra. Ia masih punya sedikit peluang untuk merenungkan keputusan yang akan diambil nanti. Ia terbang ke London dan menetap selama dua bulan. Ia banding-bandingkan hidup di negeri metropolitan supersibuk dengan ingar-bingar produk modernitas dengan di Petra. Kedekatan hati antarmanusia sulit ditemukan. Ia bayangkan pada sosok Mohammad yang berkopiah merah, kumis tebal, senyumnya menawan. Dua bulan masa perenungan usai, ia putuskan kembali ke Petra lagi, demi cintanya.

Menebar culture shock

Marguerite melangsungkan perkawinan dengan Mohammad dalam upacara tradisi Badui. Tapi, sebelumnya mereka berdua harus banyak berurusan dengan berbagai kantor pemerintahan di ibu kota Yordania, Amman. Marguerite merasa dipermainkan oleh petugas. Ia kesal sekali. Urusan surat-suratnya tak kunjung beres. Bahkan terkesan mereka dipingpong ke sana kemari. Baru ia sadari ternyata pada paspor lama Mohammad tertulis, “Mohammad, me; Abdallah, my father; Othman, my grandfather; al-Manajah, my tribe”.

Dari situ Marguerite mengetahui, ternyata di antara suku Badui sendiri ada banyak lagi pecahan suku. Dan Mohammad termasuk kelompok suku al-Manajah.

Ada hal yang menggelitik dari uraian paspor Yordania itu. Pertama, betapa sistem patriarkat menonjol. Buktinya nama ayah dan kakek juga dicantumkan. Lalu bagaimana dengan model paspornya Marguerite yang buatan Selandia Baru itu? Di sinilah awal-awal gegar budaya itu mulai menebar. Meskipun Marguerite berkali-kali menegaskan nama ayahnya adalah Maarten, petugas tidak mengakui sebab nama tersebut tidak tertulis dalam paspor. Akhirnya Marguerite berhasil mendapatkan surat kawin dengan tulisan, “Marguerite, me; Jane, my father; van, my grandfather; Geldermalsen, my tribe”. Tentu saja siapa pun yang membaca peristilahan ini menjadi tertawa. Apalagi penulisannya disesuaikan dengan pelafalan bahasa Arab yang tidak ada huruf “v” dan “g”, sehingga tertulis Marghreet Jeen Faan Jeldrrmalsn. Bagi pembaca yang sudah familier dengan nama-nama khas Belanda dengan “van” atau di Jerman “von”, tentu sangat lucu di surat kawin Marguerite ini “van” disebut sebagai nama kakek.

Suatu hari datang surat dari orang tua Marguerite. Isinya yang cukup tegar berbunyi:

“We think we have given you a good upbringing with plenty of opportunity to learn to think for yourself… so we trust you know well enough what you are doing. And we are here for you anyway, anytime.”

Hari demi hari dijalani. Marguerite banyak digunjingkan oleh perempuan-perempuan Badui karena sebagai istri tidak bekerja. Akhirnya Marguerite melamar pekerjaan pada sebuah rumah sakit di kota terdekat. Ia sempat bekerja, tapi tak lama. Ia sering ditegur pimpinannya, sebab di saat istirahat ketahuan sering bercakap-cakap dengan pegawai laki-laki. Pada tradisi di Yordania kala itu tidak diperkenankan.

Kebetulan di gua di mana ia tinggal akan dibuka sebuah klinik baru. Clinic Petra namanya. Klinik ini gratis, sumbangan dari Raja Hussein khusus untuk suku Badui di Petra. Marguerite menjadi perawat dan mulai dikenal luas di kalangan masyarakat Badui. Tak jarang ia menerima sumbangan telur ayam dan sayuran dari masyarakat. Sebab prinsip orang Badui tidak mau hanya menerima, harus juga memberi. Marguerite mencatat beberapa dokter muda yang praktik di Clinic Petra yang datangnya seminggu sekali, bermacam-macam coraknya. Ada dokter yang benar-benar ingin mengabdi untuk suku Badui, ada beberapa dokter muda yang hanya ingin prestise di mata masyarakat.

Rumah di dalam gua mulai diberi jendela. Mohammad masih bertugas di The Treasury, sebuah bangunan berbentuk ruangan luas dengan pilar-pilar raksasa bertingkat. Bangunan itu menempel di dinding tebing batu warna merah. Kadang Mohammad membawa rombongan murid-murid sekolah Yordania pulang. Dengan bangga ia tunjukkan rumahnya di gua. Kalau sudah begitu, kadang Marguerite jengkel dan menutup pintu.

Hidup di gua bersama Mohammad adalah sebagai pilihan hidupnya. Kekuatan cintanya mampu meruntuhkan alam pikirannya yang sudah terbentuk dari kebudayaan Barat yang serbagemerlap. Di Petra, keadaannya lain sama sekali. Kadang ada kalajengking masuk di kamar. Juga seekor ular sembunyi di toilet. Malam tiada listrik. Ia bergembira bisa selalu menyapa awan hitam di atas lembah. Puing-puing keindahan di bukit batu tidak menjadikan daya tariknya lagi. Marguerite telah membaur menjadi satu dengan kehidupan suku Badui. Ia naik keledai ke sumber mata air dengan membawa jeriken. Kesulitan-kesulitan hidup di alam bebas telah menebus cita-cita orang tuanya yang memang membebaskan anaknya memilih jalan hidupnya sendiri. Orang tua hanya melahirkan dan membesarkan, tak perlu memberi pengaruh kuat pada anaknya. Masa lalu Marguerite tersisihkan. Ia menulis surat pula pada sahabat lamanya Elisabeth dengan alamat pengirim:

The New Zealand Lady,
Souvenirs, Coffe and Tea Cafe,
Petra,
Jordan

Petualang muda ini mendapat keturunan tiga anak, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Yang perempuan bernama Salwa dan yang laki-laki bernama Raami dan Maruan. Ia pernah mendapat kunjungan Elisabeth, sahabat lamanya. Tak terkecuali pula orang tua Marguerite juga sering berkunjung ke Petra menengok cucu.

Namun, ada pengalaman tak mengenakkan juga. Marguerite sangat bosan dan murung ketika berjualan suvenir dan menunggu kafenya, begitu tahu dirinya orang bule Selandia baru pelancong selalu menanyakan, ”What did your mother say?” atau tanya, “What about your children`s education?”

Sejalan merambatnya waktu, Marguerite sudah lancar berbahasa Arab. Pelan-pelan ia sudah menjadi muslimin. Ia mengakui memakai jilbab karena banyak debu dan menghindari sengatan matahari. Di samping kalau lupa mencuci rambut, rambut acak-acakan pun tidak dilihat orang. Perjalanan hidupnya tidak semulus yang ia bayangkan. Pihak UNESCO dan USAID telah memberikan perhatian untuk melindungi kawasan Petra dari nilai-nilai arkeologi, tapi masih sering ketahuan ada orang Badui menggali gua untuk mencari koin-koin kuno atau gerabah kuno dari suku Nabatea. Hasil temuannya mereka jual pada para pelancong asing. Tak jarang ada orang Badui yang keruntuhan batu. Gua-gua alam yang sudah lama ditempati suku Badui juga terancam akan dibersihkan dari tempat hunian. UNESCO dan USAID memanipulasi data bahwa 50 persen anak-anak Badui yang tinggal di kawasan Petra meninggal saat lahir. Marguerite membantah laporan rekayasa tersebut. Selama Marguerite di situ yang mana hampir 20 tahun, tidak ada bayi Badui yang meninggal saat dilahirkan. Tapi tetap saja usahanya membuka kafe dan kedai suvenir di atas meja sederhana harus berhadapan dengan tatanan birokrasi baru yang disebut “Koperasi dari New Petra Board”.

Suatu hari Marguerite dikirimi uang dari tantenya yang tinggal di Belanda. Uang itu ia belikan mesin jahit. Di rumah gua ia mulai menjahit. Banyak perempuan Badui heran dan memuji bahwa istri Mohammad bisa menjahit, menulis, dan membaca. Perempuan-perempuan Badui ia ajari menjahit pakaian.

Kunjungan Ratu Elizabeth dan Ratu Noor

Suatu saat datang sebuah berita, bahwa Ratu Elizabeth II dari Inggris akan mengunjungi Yordania. Pihak pariwisata Yordania sudah merancang acara, yakni membawa Ratu Elizabeth ke goa tempat Marguerite tinggal. Marguerite heran, Ratu Elizabeth dan Ratu Noor, istri Raja Hussein, saat datang bertanya banyak hal yang sesungguhnya sudah diketahuinya. Misalnya Ratu Noor bilang, “You sound like an Australian.” Usai kunjungan Ratu Elisabeth, Marguerite dikerubuti wartawan. Bahkan ada media di Australia yang menulis artikel berjudul “The Kiwi and the Caveman”. Efeknya, di hari-hari selanjutnya Mohammad banyak dicari turis asal Inggris. Tentu para turis ingin tahu, di zaman modern ini masih ada orang tinggal di dalam gua.

Beberapa orang Badui telah melakukan ibadah haji ke Mekkah dengan naik bus, mengingat Arab Saudi berbatasan dengan Yordania. Pada buku ini juga diceritakan tradisi pergi ke Mesir bagi lelaki Badui yang belum kawin. Di Mesir ada sebuah daerah tempat mereka bisa meminang perempuan Mesir untuk dibawa pulang ke negeri asal. Beberapa lelaki Badui di Petra telah memperistri orang Mesir.

Sementara itu, tradisi memasang gigi emas pada perempuan Badui juga dilakukan oleh Marguerite. Mertua laki Marguerite telah menjual beberapa ekor kambing untuk memasang gigi emas untuk Marguerite. Memiliki gigi emas adalah sebuah penaikan status sosial di sana.

Nomaden lagi

Setiap saat Mohammad akan membelikan perhiasan emas untuk Marguerite, selalu Marguerite tolak. Ia memilih belikan saja tiket agar bisa mengunjungi orang tuanya di Selandia Baru. Dan benar, untuk pertama kalinya Mohammad diajak pulang ke sana. Sebelum berangkat, ayah Mohammad mewanti-wanti agar Mohammad kembali lagi. Kerabat serta kawan dekat di Petra juga mengharapkan hal yang sama, harus kembali lagi dan tidak boleh tinggal di luar negeri.

Mereka naik pesawat dari Mesir dengan penerbangan berdurasi 24 jam. Tiba di kota Nelson, di Selandian Baru, Mohammad cepat beradaptasi. Ia memanen apel di kebun dan mulai naik sepeda, padahal biasanya naik keledai di Petra. Tak sampai di situ, Mohammad juga belajar menyetir dan mendapat surat izin mengemudi. Karena Mohammad biasa menjagal kambing di Petra, di sini ia sempat bekerja di penjagalan domba. Kebetulan dagingnya diekspor ke Iran, sebab itu diperlukan pagawai yang muslim agar setiap menyembelihan diucapkan bismillah.

Sepulang mereka ke Petra, mereka membeli mobil. Tak lama lagi mereka mengadakan petualangan. Marguerite dan Mohammad keliling Eropa. Marguerite menengok pamannya ke Belanda, kawannya di Jerman dan Swiss. Tak sampai di situ, Marguerite dan Mohammad menjadi turis backpacker sampai ke Thailand. Mungkin karena keduanya juga berdagang suvenir kecil-kecilan di Petra, dari Thailand bawaannya kelebihan 50 kg.

Mohammad akhirnya meninggal pada 2002 karena komplikasi penyakit gula dan batu ginjal. Prinsip Marguerite seperti orang tuanya, memberi bekal sebanyak mungkin pada anak-anaknya, setelah itu biarkan sang anak yang sudah dewasa untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Salwa, anak perempuannya pertama, telah dikirim ke Nelson College di Selandia Baru. Ketika ia kembali ke Petra melanjutkan ke universitas Yordania. Raami juga dikirim sekolah sejak SMP ke Nelson. Pertimbangannya, kawan-kawan Raami di Petra satu kelas drop out semua. Mereka masih kecil tapi sudah sibuk mencari dolar dari turis dengan menyewakan keledai. Raami melanjutkan sekolah elektro di Sydney. Sementara Maruan yang paling disayangi oleh Mohammad tidak tega pergi jauh.

Sebagai penutup buku ini Marguerite menulis:

“But I wasn’t in Petra for the mountains or the history – nor even for the culture. Without Mohammad to hold me I am no longer married to a Bedouin and, despite all the things we have accumulated, I have become a nomad once again.”

BACA JUGA Umbu Landu Paranggi Berjaket Tentara dan Ia Memakai Pet ala Che Guevara dan tulisan Sigit Susanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version