Video Assistant Referee atau VAR bisa dibilang sebagai fenomena baru di dunia sepak bola. Teknologi dengan sejuta umat dihadirkan untuk meredam dramatisasi sepak bola yang sering menimpa Kompetisi Top Eropa. Anda masih ingat dengan gol Lampard di Piala Dunia 2010 yang dianggap tidak sah akibat bolanya memantul di gawang? Lalu kasus diving Neymar ala Oscar yang sengaja dibuat-buat biar wasit semakin takluk padanya demi sesuap penalti. Semua itu tidak akan terjadi apabila VAR diterapkan di seluruh kompetisi sepak bola.
Mau percaya atau tidak, kehadiran VAR sungguh membuat drama sepak bola semakin hilang sehingga menontonnya saja terkadang bosan bahkan harus rela menunggu keputusan wasit selama berjam-jam. Konsekuensinya bisa kita lihat sendiri yaitu menonton Sepak bola dengan memakai VAR saja seperti menantikan episode selanjutnya yang entah sampai kapan ditayangkan. Kalau begini caranya, lebih baik main FIFA saja daripada menonton pertandingan sepak bola yang isinya hanya menunggu dan terus menunggu hingga ayam jantan berkokok.
Berbicara tentang VAR, Indonesia tidak mau kalah dengan negara-negara Eropa. Melalui kompetisinya dengan titel Liga 1, rencana penggunaan VAR sudah dicanangkan oleh Ratu Tisha supaya kontroversi dan segala kesalahan wasit di dunia sepak bola Indonesia langsung hilang dalam sekejap. Sekaligus mampu meringankan beban wasit supaya tidak repot lagi melihat pelanggaran pemain.
Sayangnya, keterbatasan biaya membuat rencana ini gagal dilaksanakan. Kendala utamanya terlihat jelas ketika harga VAR semakin mahal dan tidak cukup kantong bagi orang Indonesia. Yang lebih mencengangkan lagi, harga VAR mampu mengalahkan harga motor Harley Davidson yang seringkali dipakai para kaum adam untuk touring serta disetarakan dengan harga batangan emas.
Bukan hanya itu, teknologinya yang terlanjur sangat ribet dan minimnya sumber daya manusia adalah salah satu faktor utama yang kemungkinan besar sulit untuk diwujudkan. Meski embel-embel “demi kemajuan bangsa” semakin menggelora, nyatanya langkah yang dilakukan oleh PSSI terbilang nekat bahkan agak sedikit dipaksakan. Daripada hanya memikirkan wacana ibukota, lebih baik memajukan sepak bola di Indonesia adalah hal yang lebih penting supaya bisa bersaing di tingkat internasional sekaligus mengaungkan semangat Garuda di dadaku.
Jauh sebelum demam VAR melanda Piala Dunia, Indonesia sebenarnya sudah menerapkannya terlebih dahulu di ajang Bandung Premier League yang diklaim sebagai Liga Pertama di Indonesia dengan sentuhan VAR. Walaupun sebatas kompetisi amatir, penggunaan VAR yang hanya bersenjatakan kamera menandakan adanya kemajuan kecil di sepak bola Indonesia di tengah-tengah minimnya anggaran. Tidak sampai di situ saja, penggunaan spray sampai papan pergantian elektronik telah lama diterapkan di kompetisi itu yang seakan menjadi babak baru di sejarah persepakbolaan Indonesia. Bisa dikatakan laga amatir mampu mengalahkan Liga 1 terkait VAR hanya dalam hitungan detik.
Harus diakui, penerapan VAR masih kalah jauh dengan negara tetangga walaupun sepak bola di Indonesia secara de jure hanya unggul dalam urusan pendukungnya saja dari tahun ke tahun.
Contohnya saja Negeri Spesialis Penghadang Indonesia juara yaitu Thailand mulai menerapkan VAR di awal musim ini. Tujuannya bisa kita lihat sendiri yaitu sebagai peningkatan kualitas yang lebih baik. Sebagai contoh, pertandingan Final Liga Thailand adalah saksi bisu sejarah VAR di Asia Tenggara. Saking canggihnya, FIFA sampai memuji Liga Thailand sebagai Liga Terbaik se-Asia bahkan nyaris sejajar dengan Premier League. Selain itu, ada juga musuh bebuyutan Indonesia yaitu Malaysia yang ikut tren demam VAR pada tahun depan berkat kerja samanya dengan Iflix. Kalau dilihat-lihat, berarti menonton Pertandingan Liga Malaysia sama seperti menonton film beresolusi tinggi dengan suasana bioskop.
Sebagai penonton, saya semakin iri atas keberhasilan dua negara ini karena mereka ini dulunya menumpang hidup lalu tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi serba maju saat Sepak Bola Indonesia sedang bermasalah dengan match-fixing oleh pengurusnya. Seandainya Bung Karno masih hidup, kita mestinya malu karena Sepak Bola Indonesia seolah-olah berjalan di tempat tanpa sedikit perubahan dan selalu diidentikkan dengan kasus suap yang terus berjalan sampai saat ini. Sungguh ironis!
Belajar dari kasus kedua negara tersebut yang sudah unggul segalanya dalam hal teknologi, sepak bola di Indonesia sebenarnya mempunyai potensi besar di dunia persepakbolaan Asia Tenggara namun kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang membuat sepak bola Indonesia semakin amburadul. Yang lebih penting lagi, mengubah perilaku suporter sepak bola menjadi lebih dewasa atau fairplay harus diutamakan dan jangan memikirkan inovasi yang tak ada hasilnya apalagi sampai membuang uang negara segala. Ingat, pembinaan harus ditingkatkan biar kita bangga sama sepak bola Indonesia terutama kompetisinya. Sebagai saran, VAR di Indonesia sebaiknya tidak usah diterapkan dulu sebelum benar-benar sempurna.
Apapun risikonya, PSSI dan Liga 1 telah berusaha semaksimal mungkin dalam menemukan petunjuk seputar VAR meski hanya berakhir wacana semata alias isapan jempol di lain hari. Meskipun terdapat kendala, sepak bola Indonesia sangat membutuhkan VAR dan sebaliknya VAR membutuhkan Indonesia juga supaya hasilnya lebih adil. Wejangan dari saya, semoga kepimpinan wasit dengan VAR atau tanpa VAR dapat berjalan lebih baik dari sebelumnya agar nuansa kontroversial diganti dengan nuansa perdamaian. (*)
BACA JUGA Kontroversi Mola TV dan Budaya Gratisan Fans di Indonesia atau tulisan Aditya Mahyudi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.