Kesengsaraan Mendalam Bagi Orang yang Sakit Gigi

sakit gigi

sakit gigi

Sebenarnya semua sakit di dunia ini tak ada yang enak. Mau sakit bisul sekali pun, itu sungguh sangat menyiksa untuk duduk bila si bisul itu bersemayam di pantat. Namun dari semua sakit ringan, sakit gigi merupakan penyakit yang menduduki urutan teratas sebagai penyakit yang menyedihkan.

Tentu semua orang sudah pernah mendengar lagu dari Alm. Meggy Z yang berbunyi, ‘Daripada sakit hati lebih baik sakit gigi ini biar tak mengapa‘. Saya sebenarnya dengan segala kesadaran sesadar-sadarnya menolak dengan tegas lirik lagu tersebut. Bahkan kalau bisa, saya mau ikut turun ke jalan untuk berdemo agar penciptanya merevisi ulang syair lagu yang sudah kadung populer tersebut.

Menurut saya sakit hati dan sakit gigi merupakan dua hal yang berbeda. Sakit hati merupakan sesuatu yang gaib—tidak terlihat tapi sakit. Sedangkan pada orang yang giginya sakit, bisa sangat mudah kita lihat sakitnya bila sudah membengkak di pipi.

Saya yakin orang yang dengan mudahnya berkata lebih baik sakit gigi daripada sakit hati itu—pasti merupakan orang-orang yang pernah sakit hati tapi belum pernah merasakan yang namanya sakit gigi. Kalau mereka pernah merasakannya—saya yakin seyakinnya mereka bakalan mengedit ulang kata-katanya itu.

Sakit gigi itu juga ada tingkatannya—sama halnya seperti game. Ada tingkatan untuk pemula, standar, dan juga profesional. Untuk pemula itu cuma sakit ringan—yang ditandai dengan gigi ngilu dan agak senggring-senggring gimana gitu. Ini masih tingkat amatir—dibalur dengan minyak kayu putih, gosok gigi, lalu kumur-kumur dengan air garam pun sudah agak mendingan.

Untuk level kedua yang cukup standar. Pada tahap ini sudah agak serius—gejalanya mungkin kepala ikut-ikutan nyut-nyutan, gusi membengkak, mata berair, dan yang paling apes itu tidak bisa buat makan tapi perut lapar.

Selanjutnya level para suhu alias profesional—ini sakit gigi yang paling absurd. Saya mau nyeritain sakit di level ini saja, sudah merinding duluan membayangkannya—yang ini sakitnya nggak main-main lagi. Si gigi ini sudah semacam Sengkuni dalam Perang Baratayuda. Ia seolah memprovokasi seluruh organ tubuh lainnya untuk ikut-ikutan merasakan kesakitannya secara bersama-sama.

Nggak habis pikir, cuma gara-gara gigi satu sekecil itu kok ya kepala nggak berkutik ikut nyut-ntutan. Tubuh juga jadi lunglai tak berdaya melawan kehendak yang mulia gigi tersebut. Saya nggak bayangin, satu gigi yang sakit aja rasanya setengah mati apalagi kalau semua gigi kompakan sakit semua. Gimana rasanya coba?

Namun hal paling nahas saat gigi sakit itu adalah perlakuan diskriminasi orang-orang terhadap sakit ini. Meski sakitnya naudzubilahi min dzalik—tapi orang-orang seolah sering meremehkan penyakit yang satu ini. Yang pertama ya, penyakit ini itu sakitnya tiada tara tapi tetap saja tak ada teman atau kerabat yang tergerak hatinya untuk menjenguk saat kita sakit. Belum pernah dengarkan ada kan orang yang menjenguk orang yang giginya sakit lalu membawakan buah atau kue?

Kedua, kalaupun tidak dijenguk itu masih tak seberapa dibanding sakit hati karena ejekan orang-orang yang selalu mengaitkan penyakit ini dengan malas sikat gigi. Meski saya setuju—bahwa rajin sikat gigi dapat mengindari dari penyakit ini namun pada kenyataannya penyebab sakitnya gigi itu tidak hanya disebabkan dari rajin tidaknya kita sikat gigi. Saya sendiri dari kecil rajin sikat gigi sehabis makan dan sebelum tidur. Saya juga rajin datang ke dokter gigi untuk membersihkan karang gigi. Tapi kok ya masih saja—saya mengalami sakit yang satu ini. Setelah saya pelajari ternyata penyebabnya itu cukup bervariasi—tidak hanya sebatas kebiasaan sikat gigi doang.

Tapi begitulah netizen, saya diejek habis-habisan—dan mereka selalu berkata saya ini orang yang malas gosok gigi sehingga akhirnya saya sakit. Kan sebal ya kalau punya teman kayak gini—sudah sakit nggak dijenguk eh malah diejek. Apesnya lagi—kok ya saya punya stok teman yang model kayak gini banyak banget.

Kadang ya—kejadian pas gigi itu rasanya sakit banget tapi perut merasa kelaparan akut. Jangankan buat makan—buat mangap aja sakitnya nggak ketulungan. Lalu saya pernah berinisiatif pergi ke dokter untuk minta diinfus agar tubuh ada asupan makanan. Tapi apa—bukannya dapat sambutan hangat dari dokter yang ada saya malah diketawain dibilang konyol. Ya elah, sakit tingkat akut kayak gitu masih aja dianggap sebuah kekonyolan.

Sakit gigi itu juga merupakan sakit yang melingkupi kesensitifan seseorang. Kalau pas datang penyakit ini dengan suara di televisi gitu rasanya pengen ambil ulekan lalu tak lempar di layarnya. Lalu kalau pas sakit gitu, dengar orang ketawa-ketiwi cengar-cengir haha-hihi—jauh di lubuk hati yang terdalam—rasanya kok ingin sekali mengeluarkan jurus Tajuu Kagebunshin no Jutsu milik Uzumaki Naruto.

Bagi yang masih sayang nyawanya—saya himbau jangan pernah sekali-kali mencoba mengajak bercanda orang yang tengah terkena penyakit ini. Adegan berbahaya ini cuma bisa dilakukan oleh seorang yang sudah profesional.

Mari lebih berempati dengan orang yang tengah sakit gigi. Mungkin bisa dengan mendoakan agar cepat sembuh, mengejaknya ke dokter, meminjaminya minyak kayu putih, atau memijat-mijat kepala serta lehernya—tapi jangan dicekik ya. Jika tak bisa menjenguk dan membawakan bingkisan—ya paling tidak kita cukup menjaga mulut agar tidak mengejek mereka. Jangan lagi ada kata-kata bahwa sakit gigi itu adalah azab bagi orang-orang yang malas sikat gigi.

Exit mobile version