Kerja Keras Mungkin Nggak Bikin Kaya, tapi Proses Nggak Mengkhianati Hasil, Mbak!

Kerja Keras Mungkin Nggak Bikin Kaya, tapi Proses Nggak Mengkhianati Hasil, Mbak! Terminal mojok

Kemarin saya membaca sebuah artikel yang berjudul Kerja Keras Nggak Bikin Kaya, yang Ada Malah Bikin Mati. Saya setuju kalau orang sudah ditakdirkan miskin, mau kerja keras bagai kuda siang dan malam tanpa henti pun yah tetap bakal miskin. Beda halnya dengan orang yang sudah digariskan jadi orang kaya, mau kerjaannya dari bayi hingga tua rebahan terus mah tetap bakalan jadi sultan sampai tujuh turunan.

Meski kelihatannya takdir memang kejam dan tak mengenal perasaan, tapi nyatanya kesempatan untuk sukses itu milik semua orang. Mau dia kaya atau miskin, semua punya peluang yang sama. Hanya saja yang miskin harus sadar diri juga, kesuksesan bagi si miskin itu murni dari kerja keras dan nggak ada privilege-privilege-an. Mau sukses ya kerja, kerja, kerja, dan nggak ada acara kemenyek-kemeyekan.

Jujur saja, saya ini juga dari kecil termasuk manusia yang sangat termotivasi dengan ungkapan Bill Gates tersebut. Sebagai anak petani yang hidupnya serba susah, tentu saat besar nanti saya kepingin hidup lebih baik dari zaman kecil saya. Lagi pula nggak ada yang salah dari ungkapan itu. Toh, Bill Gates nggak memberi patokan tentang definisi kaya di kalimat bijaknya itu. “Kaya” bagi setiap orang kan beda-beda. Ada orang yang terlahir di keluarga yang terlilit utang, lantas setelah dia besar dia bisa melunasi utang-utang orang tuanya. Memang mungkin dia nggak bisa beli rumah besar atau mobil mewah, tapi bagi orang yang hidupnya dikejar-kejar utang setiap hari, bisa lepas dari lilitan utang itu juga termasuk sebuah kekayaan. Tanpa kerja keras, yah gimana mau bayar utang kan, ya?

Definisi miskin itu juga beraneka ragam, tergantung orangnya. Banyak kok teman-teman saya yang anak PNS dulu, sering ngeluh kalau keluarganya itu miskin. Lah, yang anak PNS, walau nggak tahu pangkatnya apalah, paling nggak ada gaji tetap. Lalu bagaimana dengan yang anak buruh tani? Makanya, definisi “miskin” ini nggak ada patokannya.

Untuk karyawan yang gajinya hanya berpatokan dengan UMK saja, lalu mengeluh kalau nggak bisa kaya meski sudah kerja dari Senin hingga Senin lagi, bahkan hingga lembur 12 jam setiap harinya. Coba tanya deh, kaya di benak mereka itu yang seperti apa, sih? Apakah kaya itu yang gajinya di atas dua digit? Apakah kaya itu kalau punya rumah besar? Apakah kaya itu kalau bisa liburan ke luar negeri? Apakah kaya itu kalau HP-nya iPhone? Apakah kaya itu kalau punya kekayaan seperti Nia Ramadhani atau Raffi Ahmad?

Bagi orang dari kalangan bawah, untuk tetap bertahan dan punya motivasi dalam menginginkan sesuatu itu yah harus kerja keras menurut saya. Apalagi yang kita punya tanpa kerja keras? Saya tahu, meski kerja keras nggak bakal membawa kita pada kata “kaya”, tapi kalau nggak kerja keras yah orang-orang miskin nggak bakalan punya kesempatan buat kaya. Bahkan, buat nikah sama orang kaya pun kan nggak serta merta langsung nikah gitu saja.

Saya itu selalu senang membaca kisah-kisah inspirasi orang-orang sukses yang memulai semuanya dari bawah. Misalnya saja kisah Pak Dahlan Iskan, bukankah beliau ini lahir dari keluarga yang nggak punya? Tapi lihat sekarang. Oh iya, nggak usah jauh-jauh ceritanya sampai Pak Dahlan, ya. Saya cerita tentang orang terdekat saya saja. Jadi, saya itu punya kakak sepupu. Dia anak pakde saya. Dari kecil hidupnya itu susah sekali, nggak beda jauh dengan saya, tapi dia jauh lebih susah lagi. Dia itu delapan bersaudara dan dia yang paling bungsu. Ibunya meninggal sejak dia masih kecil.

Namun, kakak sepupu saya ini orang yang gigih dan rajin belajar dengan giat sejak kecil. Di saat kakak-kakaknya yang lain sudah puas dengan kepintaran standar, dia masih terus belajar dan belajar. Sejak kecil dia sudah terbiasa berjalan kaki dari SD sampai kuliah. Dia juga bekerja sendiri untuk membiayai kuliahnya. Setelah lulus dan bekerja, dia tak puas dengan gajinya. Lalu dia mulai mengelola uangnya untuk bisnis dengan kepintarannya itu. Akhirnya, kini kakak sepupu saya punya tambang batu bara di kalimantan, punya resort mewah di Jogja, punya peternakan kuda di Bantul, punya rumah mewah di mana-mana, serta punya karyawan ratusan orang.

Kalau ada yang bilang dia punya privilege itu salah. Semua kekayaannya sekarang itu murni dari hasil kerja kerasnya. Kalau dia nggak mau kerja keras sehabis kuliah dulu dan memilih rebahan, apakah mungkin dia bisa mendapatkan hasil seperti itu? Dia sering cerita, “Bagi orang nggak punya kayak kita, hanya kerja keras modal utamanya. Nggak bisa mengandalkan orang lain. Kecuali kalau kita sudah sukses, orang nggak kenal pun bakalan ngaku-ngaku saudara.”

Lagi pula, orang-orang yang bekerja keras itu tentu punya tujuannya masing-masing. Mereka punya target yang ingin dicapai. Kalau orang sudah pasrah dengan gaji pokok, yah nggak usah ngoyo buat lembur segala. Tapi kalau keinginan kita bisa beli motor, bisa beli mobil, bisa bayar KPR, bisa jalan-jalan ke luar negeri, bisa beli PS5, yah gimana yah. Mungkin kalau gaji pokoknya menteri sih bisa, tapi kan buat jadi menteri harus kerja keras juga. Apalagi kalau nggak punya privilege.

“Kerja cerdas” itu hanya layak diucapkan bagi mereka yang sudah diporak-porandakan dan dibanting kegagalan berkali-kali. Kalau kita mau memulai segalanya dari awal, tapi berharap bisa sukses dengan kerja cerdas tanpa melalui proses kerja keras, yah gimana ya~

BACA JUGA Udah Kerja Keras Bagai Kuda, kok Tabungan Nggak Nambah-nambah? dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version