Sebelumnya izinkan saya bercerita sedikit soal diri saya. Saya adalah anak kelima sekaligus bungsu yang lahir pada pertengahan 2003. Walau saya lahir pada tahun tersebut, tapi saya nggak langsung dibuatkan akta kelahiran. Entah karena apa dan bagaimana, saya baru dibuatkan akta pada 2011 di mana umur saya sudah menginjak delapan tahun, yang kebetulan pada saat itu ada program pembuatan akta kelahiran gratis yang diselenggarakan oleh Dinas Dukcapil.
Awalnya saya nggak paham dan nggak ambil pusing soal akta saya. Entah soal akta saya yang baru diterbitkan delapan tahun kemudian ataupun soal isi dari akta tersebut. Ya gimana, wong saya masih bocil. Tentu saja saya nggak ngerti sepenting apa data saya dan keluarga. Setelah usia saya sudah sebanyak ini, akhirnya saya baru merasa betapa ribetnya menghadapi berbagai masalah dan kesalahpahaman yang timbul akibat isi dari akta kelahiran saya yang agak unik tersebut.
Jadi begini, isi akta lahir saya itu tanpa nama bapak dan hanya tercantum nama ibu. Iya, jadi di akta, saya terlihat seperti anak yatim dan ibu saya terlihat seperti single parent. Huhu, sedih, deh. Padahal, alhamdulillah bapak saya masih sehat hingga hari ini. Daripada bingung, sini saya ceritain kenapa bisa begitu. Ibu saya bercerita waktu pembuatan akta, bapak saya sedang nggak di rumah, alias bekerja di luar kota.
Nah, kebetulan, buku nikah orang tua saya itu sudah lama hilang karena banjir yang bikin buku nikah blio kendang ke antah-berantah. Ditambah faktor keterlambatan pembuatan akta untuk saya, di mana waktu itu saya sudah masuk sekolah dasar, daripada ribet mengurus buku nikah baru yang mana bapak ibu saya harus menyelenggarakan pernikahan secara negara kembali yang tentu saja memerlukan waktu lebih lama, pihak Dinas Dukcapil memberi tawaran.
Tawaran tersebut adalah nama bapak saya nggak perlu dicantumkan di akta lahir saya, dan hanya mencantumkan nama ibu. Jadilah akta kelahiran saya yang sekarang, yang sering menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang paling sering saya alami adalah ketika mengurus data pendidikan saya ataupun keperluan lain yang memerlukan akta kelahiran. Nggak jarang saya dikira anak yatim.
Masih mending kalau dianggap yatim. Bahkan yang paling parah, pernah ada orang yang baru kenal saya karena suatu urusan pekerjaan, lantas melihat akta lahir saya, kemudian curiga saya bukan anak sah alias anak hasil hubungan gelap. Duh Gusti, sedih banget, tapi agak lucu juga. Tentu saja blio nggak ngomong langsung. Hanya saja tersirat dari raut wajah dan pertanyaan yang terdengar menjurus ke kecurigaan tersebut.
Saya mengerti sih, kecurigaan tersebut memang bukan tanpa alasan. Wong nama ayah saya memang nggak ada tercantum kok. Kalau sudah begitu, ya saya tersenyum saja. Pun teman-teman saya yang tahu fakta tersebut juga awalnya melontarkan kalimat keheranan. “Kok bisa gitu, ya?” kata mereka.
Dan keribetan yang lain adalah tentu saja, perihal ijazah dan data saya di Data Pokok Pendidikan alias Dapodik. Dari apa yang saya tahu, data pelajar di Dapodik itu penting banget, walau banyak juga data pelajar yang masih salah. Nah, ketika di penghujung tahun ajaran begini, pemutakhiran data hampir pasti dilakukan oleh pihak sekolah. Maka, dimulai lagi keribetan yang bikin saya perlu bolak-balik fotokopi data ini-itu untuk keperluan sinkronisasi data Dapodik.
Baru-baru ini, saya dibuat tersenyum maklum ketika guru saya kebingungan melihat data orang tua saya yang adalah data ibu. Bahkan di ijazah saya sekalipun menggunakan nama ibu. Padahal, murid-murid lain menggunakan nama ayah. Lantas, dengan sedikit canggung, guru ini bertanya kenapa data saya menggunakan data ibu dan meminta data ayah saya, yang diakhiri dengan kata maaf.
Mungkin blio mengira data tersebut berkaitan dengan hal sensitif, dan blio nggak mau nyenggol hal yang barangkali jadi menyakitkan bagi saya. Saya bisa menebak perkiraan blio. Barangkali blio kira saya adalah produk buatan pabrik broken home yang saking bencinya ibu saya, sampai nggak sudi naruh nama ayah saya di akta kelahiran saya.
Padahal sungguh, itu semua murni karena buku nikah bapak ibu saya yang seenaknya berenang saat banjir dan nggak mau pulang lagi. Hadeeeh.
BACA JUGA Segera Keluar dari Lingkaran Pertemanan Toxic Sebelum Kamu yang Dianggap Toxic dan tulisan Vivi Wasriani lainnya.