Hampir sepanjang hidup, saya habiskan tinggal di rumah yang langsung bersebelahan dengan jalan provinsi. Setiap membuka pintu rumah di pagi hari, mata yang belum sadar benar akan langsung disuguhi dengan pemandangan jalan raya. Lengkap dengan pohon-pohon besar yang ditanam di pinggirnya. Tentu saja, ada banyak pengalaman menarik yang sudah saya lalui selama hidup bersama jalan raya ini. Mulai dari rumah yang mendadak jadi rest house untuk pengguna jalan yang kebelet, sampai melihat tetangga sendiri kecelakaan.
Selain itu, ada banyak keterampilan yang saya dapatkan dari pengalaman tinggal di seberang jalan. Salah satunya, keterampilan menyeberang. Sejak kecil saya diajarkan keterampilan menyeberang oleh orang tua. Berbagai gaya menyeberang pun saya kuasai. Mulai dari lari ngacir, meliuk lincah, sampai menyeberang dengan kalem. Suatu keterampilan yang ternyata sangat berguna dan saya butuhkan ketika saya berkuliah di Jakarta.
Namun, selain pengalaman-pengalaman dan keterampilan tersebut, tentu saja ada pula keresahan-keresahan yang saya rasakan selama tinggal di pinggir jalan provinsi ini. Berikut saya bagikan beberapa keresahan saya.
#1 Suara bising yang tidak terhindarkan
Paling pertama, tentu suara bising dari aktivitas-aktivitas di jalan raya. Kalau sekadar suara bising kendaraan lewat sudah tidak mengganggu bagi saya. Sudah biasalah.
Namun, suara bising yang mengganggu ini datang dari kejadian yang lain. Pernah ada beberapa momen seorang pengguna motor singgah buat angkat telpon. Tapi pas telponan, suaranya teramat sangat tidak kalem.
Belum lagi biasanya ada event dangdut koplo dadakan yang bersumber dari speaker tape mobil angkutan penumpang. Ada juga heboh teriakan tetangga kalau ada yang kecelakaan. Sampai yang paling ultimate, suara ban truk tronton meleduk. Satu rumah bisa terbangun gara-gara suara ini.
Pengalaman-pengalaman seperti ini akan banyak terjadi jika kalian tinggal di pinggir jalan raya. Untung saja manusia punya kemampuan beradaptasi, kalau tidak, mungkin saya tidak akan bisa tidur lelap setiap malam.
#2 Susah buat order online
Semasa ngekos dan kuliah di Jakarta, sangat mudah bagi saya untuk belanja online. Di sini, susah minta ampun. Kendalanya bukan cuman ongkir yang biasanya jauh lebih mahal dari harga barang yang dipesan. Namun, karena alamat yang membingungkan.
Di sini tidak ada RT ataupun RW. Kemudian tidak ada penanda juga kalau ini jalan kilometer berapa. Bahkan jujur-jujuran saja, nama jalannya pun saya tidak tahu. Ini menyebabkan problematika dilematis yang amat besar ketika hendak memesan barang secara online. Sudah mahal, tak tahu pula mau dikirim ke mana.
#3 Kena pelebaran jalan
Kalau yang ini, ya apa boleh buat. Rasa-rasanya setiap tahun pelebaran jalan terus dilakukan menyusul volume kendaraan yang lalu-lalang makin banyak. Perlahan dari tahun ke tahun, halaman rumah juga makin mengecil. Syukurnya, pelebaran ini sebenarnya tidak terlalu ekstrem. Jadi, tidak langsung caplok sampai satu meter. Namun, tetap saja sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Kata pepatah, sih, begitu.
#4 Membuat Overthinking
Khusus yang satu ini adalah yang paling bikin susah. Di malam-malam sunyi, jenuh karena tugas yang belum selesai, dan belum bisa tidur. Saya biasanya duduk bersantai sejenak di ruang tamu. Risiko punya rumah di sebelah jalan provinsi, ruang tamu langsung berhadapan langsung ke arah jalan.
Semakin lama saya melihat ke jalan, banyak hal yang saya jadi pikirkan. Kadang, saya melihat seorang yang mengendarai motor sendirian di tengah malam pukul satu. Otak saya perlahan memunculkan berbagai pertanyaan. Dari mana orang ini? Sedang ke mana? Apa tujuannya? Kenapa hidup sekeras ini? Kenapa malam yang merupakan waktu istirahat harus dihabiskan di jalan raya? Apakah saya nanti juga harus menghabiskan malam-malam panjang di jalan. Wah, kacau.
Berbagai keresahan yang sudah sampaikan di atas memang terdengar menyulitkan. Meskipun demikian, saya teramat mensyukuri kehidupan di daerah kecil yang masih amat sederhana ini. Bersyukur juga masih punya tempat tinggal yang nyaman.
Kalau disuruh memilih, tinggal di pinggir jalan provinsi, atau tinggal di Jakarta tapi harus berteman dengan kesibukan rush hour-nya yang tidak tertolong itu? Jelas masih lebih baik mendengar event dangdut koplo dadakan dari mobil angkutan yang mencari penumpang di tengah siang.
BACA JUGA Romantisnya Rute Jogja-Purworejo-Kebumen yang Penuh Jalan Berlubang Sana-sini atau tulisan Muhammad Harits Hikmawan lainnya.