Keratabasa makanan yang beredar ini mulai jadi hal lucu sekaligus ironis: bagaimana bisa orang membagikan sesuatu tanpa dicek terlebih dahulu?
Gara-gara ramai perkara kemiri adalah hazelnut yang tempo hari sempat mencuat—seperti yang sempat saya tulis di sini—ingatan kemudian membawa saya balik ke broadcast guyonan beberapa tahun lalu tentang kepanjangan-kepanjangan dari nama-nama makanan.
Celakanya, entah bagaimana bercandaan itu kemudian diperlakukan bak informasi sahih dan terus disebarluaskan. Hingga kini, kadang ada saja cuitan di Twitter, atau konten-konten di media sosial lain, yang menyerukan keterkejutan bahwa, waw, ternyata perkedel adalah singkatan dari persatuan kentang dan telur!
Keratabasa
Perkedel tentu hanya satu dari sekian banyak makanan, atau frasa secara umum, yang menjadi korban keratabasa. Keratabasa, atau dalam bahasa Inggris disebut backronym. Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai “perihal menerangkan arti kata dengan memperlakukannya sebagai singkatan, biasanya untuk lelucon”.
Pada pengertian kedua, KBBI merekam bahwa secara singkat, keratabasa adalah “etimologi rakyat”, atau dengan kata lain, cocoklogi.
Tidak hanya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa daerah seperti bahasa Jawa dan Sunda juga mengenal istilah yang sepadan dengan keratabasa. Masing-masing menyebutnya jarwa dhosok dan kiratabasa. Sehingga, akronim lucu-lucuan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan asing di tiap kebudayaan.
Hanya saja, entah bagaimana, antara informasi terkait terdengar sangat meyakinkan atau sang pendengar lupa untuk skeptis. Jadilah sesuatu yang mulanya guyonan ini justru dibagikan dan dipercaya sebagai sesuatu yang benar.
Baca halaman selanjutnya