Kenapa ya Nontonin Penjual Nasi Goreng Lagi Masak Lebih Nikmat ketimbang Makan Nasgornya

Nontonin Penjual Nasi Goreng Lebih Nikmat ketimbang Makannya (Unsplash.com)

Nontonin Penjual Nasi Goreng Lebih Nikmat ketimbang Makannya (Unsplash.com)

Sering terjadi, di kala tengah malam dan tiba-tiba kelaparan, otak akan langsung merumuskan satu tujuan: makan nasi goreng. Seakan-akan menu nasi goreng berada dalam barisan pertama di otak kita pada saat malam hari. Enggak ada tuh inisiatif dari otak untuk memilih mie ayam, bakso, atau bebek goreng.

Saya sih kayak gitu banget. Sekitar 5 malam yang lalu, setelah futsal dengan kawan-kawan, saya tidak langsung pulang. Saya memutuskan melipir ke warung nasi goreng gerobakan di pinggir jalan. Selepas banyak mengeluarkan keringat, paling nikmat ya mengisi energi kembali. Biar tidur nyenyak tanpa diganggu oleh hal-hal non-teknis.

Warung nasi goreng yang saya tuju cukup ramai. Penjualnya orang Madura. Irit suara. Kalau berbicara palingan hanya menanyakan pesanan. Ada 6 orang termasuk saya yang menunggu pesanan datang. Saya mengambil bangku untuk duduk. Berjejer dengan seorang laki-laki sepantaran saya yang memakai sarung dan kopiah. Mungkin anak pondok pesantren, pikir saya.

Tak berselang lama setelah duduk, saya baru menyadari ada hal yang aneh. Ternyata kelima orang selain saya tengah memperhatikan penjual nasi goreng sedang memasak. Bukan apa-apa, ya. Tapi apa istimewanya menonton bapak-bapak umur 40 tahunan yang sibuk menggoreng nasi?

Padahal saya yakin kelima orang tersebut pasti pernah mempunyai pengalaman menggoreng nasi sendiri. Tapi mengapa orang lain yang melakukannya harus ditonton? Seolah itu adalah aktivitas langka yang dilakukan setahun sekali. Kan masih ada aktivitas selingan lain sembari menunggu pesanan siap. Mengamati orang berkendara lalu-lalang misalnya. Atau memainkan gadget bisa menjadi alternatif.

Saya yang penasaran bagaimana rasanya menonton orang yang menggoreng nasi akhirnya ikut-ikutan. Kretek saya nyalakan sambil mulai memperhatikan penjual nasi goreng. Sepuluh detik. Dua puluh detik. Kok mulai nyaman. Hingga satu menit berjalan, ternyata seru juga. Saya pun hanyut dalam setiap gerakan bapak penjual nasi goreng. Eits, tapi saya ada aktivitas lain lo ya, yaitu menghisap kretek. Bukan seperti kelima pelanggan lain.

Satu lagi yang aneh. Setelah semuanya siap dan para pembeli tinggal menunggu nasi goreng hadir di hadapan, ada 2 pembeli yang pura-pura membuka gadget sesaat sebelum si bapak mengantarkan pesanan. Nah ini nih yang patut dicurigai. 

Ada 2 asumsi yang ada di pikiran saya. Antara 2 pembeli tersebut malu jika ketahuan si bapak karena sedari tadi menontonnya memasak atau mereka berdua benar-benar ada sesuatu yang penting di gadgetnya.

Dugaan saya sih yang pertama. Hal ini sama dengan kasus ketika kita bertamu ke rumah seseorang dan si empunya rumah membawa makanan, kita pura-pura tidak melihat kemudian pura-pura terkejut ketika makanan sudah ada di depan mata.

Keanehan tidak berhenti sampai di situ. Setelah nasi goreng datang, kedua orang tersebut kompak menyingkirkan gadgetnya. Seolah gadget tersebut tidak penting lagi hadir di dunia. Maksudnya begini lo, kalau di gadget Anda tidak ada apa-apa dan tidak ada hal penting, ya jangan pura-pura dibuka. Eh ini giliran nasi goreng sudah datang, hilang sudah ingatan perihal gadgetnya.

Kalau saya sih karena dari awal saya penasaran bagaimana sensasi menonton penjual nasi goreng memasak, ya saya tetap memperhatikan ketika si bapak “plating” sampai dihidangkan. Enggak peduli saya ketika raut wajah si bapak yang sedikit terkejut karena terus saya lihatin. Mungkin si bapak juga merasa aneh. “Nih orang kenapa ya kok ngeliatin terus. Jangan-jangan jatuh cinta?”

Nah, mungkin alasan mengapa Chef Juna menjadi orang yang pemarah ialah karena dahulu dia kalau masak sering diliatin orang. Karena tidak nyaman dan tidak percaya diri, dia malah murka. Nahasnya terbawa sampai sekarang. Jadi jangan heran kalau Chef Juna tiba-tiba melemparkan makanan yang tidak enak. Trauma masa lalu benar-benar bisa mengubah karakter seseorang.

Dalam pikiran saya kemudian timbul satu pertanyaan lagi: apakah di daerah lain mempunyai kebiasaan yang sama saat membeli makanan? Saya membuka Youtube, menonton konten kreator street food. Banyak tuh yang saya tonton. Mulai dari Street Foods Village, Tarjo Kucingan, KUBILER, hingga Nex Carlos. Eh, ternyata juga sama. Mereka sama-sama menonton penjual memasak/meracik makanan.

Bahkan di salah satu konten Street Foods Village, ada satu video yang menunjukkan seorang pembeli yang tidak mencopot helmnya demi melihat penjualnya memasak. Bukan apa-apa sih. Tapi kan pakai helm cukup lama dalam situasi yang terus berdiri kan kepala panas ya. Maksudnya tuh mbok dilepas dulu helmnya sehingga kalau nonton orang memasak tuh lebih nyaman. Lagian nggak ada cegatan polisi di warung nasi goreng, kan.

Sepertinya menonton penjual makanan yang sedang memasak sudah menjadi budaya. Sesuatu yang diwariskan turun-temurun secara tidak langsung melalui perilaku. Coba perhatikan saat membeli nasi goreng atau menu lainnya. Pasti kebanyakan pelanggan akan menonton sang penjual memasak.

Pesan dari saya, kalau ada pelanggan yang tidak menonton penjual nasi goreng yang sedang memasak, coba ajakin menonton deh. Pasti akan menikmati. Lebih-lebih dia mungkin ketagihan.

Ada satu lagi yang bikin heran. Kadang, jauh lebih nikmat nonton bapak-bapak masak nasi goreng ketimbang makan masakannya. Apalagi kalau ternyata nasgor di warung atau gerobakan keliling itu rasanya nggak enak, yang jadi enak karena kita terlalu lapar aja.

Penulis: Rizky Hadi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 4 Dosa Saat Masak Nasi Goreng yang Nggak Disadari Banyak Orang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version