Budaya membicarakan orang di belakang alias gosip di Indonesia atau bahkan di dunia lumayan digemari khalayak ramai. Sampai-sampai, budaya tersebut memiliki sebutan bermacam-macam; “rumpi”, “gibah”, “gibah syari’ah”, dan banyak lagi sebutannya.
Namun, bagaimanapun penyebutannya, intinya sama saja, semua sebutan itu berarti membicarakan sisi negatif suatu kelompok atau seseorang dari belakang untuk tujuan tertentu, entah itu menyudutkan, menjatuhkan, ataupun mengevaluasi.
Oke, merujuk pada tujuan gosip yang sederhana itu, tentu banyak dari kita yang pernah gosip. Minimal pernah membicarakan teman satu kelas yang pintar tapi pelit jawaban saat ujian, membicarakan guru yang galak di sekolah, atau membicarakan dosen yang killer (merobek lembar jawaban kalau ketahuan nyontek) saat mengawas ujian–pasti salah satu dari beberapa contoh itu pernah kalian lakukan.
Tapi, kenapa gosip itu hanya dilekatkan kepada ibu-ibu, padahal kalian bisa jadi lebih layak dinobatkan sebagai dewa gosip tingkat kos-kosan, warung kopi, kelas, jurusan, fakultas, universitas, atau bahkan se-Indonesia.
Jadi, mari dihilangkan anggapan tentang tukang gosip itu hanya ibu-ibu. Dan mari kita bahas lebih jauh, alasan-alasan gosip digemari khalayak ramai.
Informatif tapi manipulatif
Menurut McAndrew, Bell & Garcia (2007), gosip adalah kegiatan memanipulasi reputasi orang lain dengan menyuguhkan informasi negatif mengenai orang tersebut. Informasi yang dicari biasanya informasi yang berdampak pada keberadaan seseorang di lingkungan sosial.
Berangkat dari pengertian di atas, kendati negatif, gosip bisa dikatakan sebagai kegiatan yang produktif, karena isi pesannya yang sangat informatif. Hal ini membuat kegiatan ini menjadi sangat ditunggu-tunggu oleh khalayak ramai.
Tak hanya itu, karena informasi yang disuguhkan berupa informasi negatif dan manipulatif, hal itu menjadi sesuatu yang baru, jarang didengar, ditemukan, atau bahkan di luar dugaan, sehingga menyita perhatian khalayak.
Dan penyampai, biasanya menggunakan bahasa-bahasa yang ringan dan menghidupkan tawa, seperti bahasa yang sering digunakan Bung Valentino Jebret saat menjadi komentator bola di kejuaraan sepak bola Indonesia.
Di samping itu, yang namanya memanipulasi bukan suatu pekerjaan gampang, hanya orang-orang berbakat dan berpengalaman yang bisa melakukannya. Itulah mengapa penyampai biasanya menyampaikan isi pesan gosipnya dengan model pidato monolog, dan minim dialog.
Orator itu juga biasanya diikuti, ditokohkan, dicari-cari, dan dikagumi oleh orang-orang di sekitarnya, karena kemampuannya memanipulasi informasi tentang orang lain.
Seperti penelitian yang dilakukan Hartung dan Renner (2013), menunjukkan bahwa kegiatan ini menjadi ajang untuk membandingkan kelebihan diri mereka sendiri dengan kekurangan orang lain, atas dasar iri dan dengki karena persaingan.
Inilah alasan gosip digemari khalayak ramai, informatif tapi manipulatif.
Evaluatif tapi pencitraan
Menurut Wert dan Salovey (2004), “gosip adalah percakapan evaluatif mengenai sesuatu yang negatif dan bersifat informal mengenai permasalahan suatu kelompok atau seseorang yang tidak hadir atau di belakang dalam suatu lingkungan sosial.”
Nah, percakapan evaluatif ini merupakan sisi terang dari gosip, karena arah dari percakapannya tentu akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi sebagai solusi masalah bagi pihak-pihak terkait yang menjadi topik.
Disebabkan sifatnya yang informal, konsep pelaksanaan gosip model evaluatif ini berbentuk dialog bebas. Setiap orang dalam percakapan itu membawa informasi negatifnya masing-masing, sesuai dengan apa yang ditemukan, didengar, dilihat, dan dirasakan. Dan pastinya dalam model evaluatif ini, tidak ada orator tunggal.
Sifat “sok pahlawan” dalam focus gosip discussion—istilah yang penulis gunakan untuk menyebut gosip evaluatif ini—kadang muncul tiba-tiba. Para peserta focus gosip discussion ini kerap kali menceritakan sisi negatif suatu kelompok atau orang lain yang diketahuinya, atas dasar mencari solusi—entah pura-pura atau tulus.
Namun, dalam sebuah studi tahun 2015 yang dipublikasi dalam Social Neuroscience, para ilmuwan mengatakan bahwa otak pria dan wanita saat mendengar kabar negatif tentang diri mereka sendiri, sahabat, dan fans mereka, akan memunculkan reaksi pencitraan.
Oleh karena itu, gosip pada dasarnya hanyalah bertujuan memenuhi keinginan manusia (khalayak ramai) untuk dilihat secara positif oleh orang lain dan cocok secara sosial, terlepas dari apakah ini mencerminkan apa yang sebenarnya sedang dirasakan.
BACA JUGA Acara Gosip: Sudah Miskin Moral, Kini Miskin Kreativitas